CATATAN TENTANG METODE DA’WAH


Abdul Kadir Riyadi

Di samping sebagai lembaga pendidikan dan pembelajaran, pesantren juga merupakan lembaga da’wah. Sebagai lembaga da’wah, pesantren –baik yang tradisional, moderen maupun pesantren mahasiswa- memiliki fungsi dan tanggung jawab menjalankan misi da’wah sekaligus menciptakan generasi da’i yang kompeten. Nah, bicara kepada kaum santri yang merupakan komunitas da’i, saya merasa bahwa mengangkat topik da’wah tidak saja tepat tapi juga penting dan strategis. Ini karena da’wah merupakan ruh setiap pesantren dan juga tugas setiap santri yang harus dijalankannya.

Walau masalah da’wah sudah sering diangkat, saya tetap berharap tulisan ringan tentang metode da’wah ini dapat memberikan sedikit pencerahan. Semoga bermanfaat.

***

Setiap Muslim wajib menghiasi dirinya dengan akhlaq yang mulia seperti yang telah digariskan oleh Islam dalam al-Qur’an dan Sunnan Nabi Muhammad SAW. Ayat-ayat al-Qur’an dan Hadith Nabi yang bicara soal wajibnya seorang Muslim ber-akhlaq mulia tidak terhitung jumlahnya. Salah satu dari yang paling kita kenal adalah Hadith Nabi yang berbunyi bahwa “Tidaklah saya diutus (ke muka Bumi) kecuali untuk memperbaiki akhlaq yang mulia”. Hadith ini dengan explisit menjelaskan bahwa moralitas merupakan tujuan dan pilar bagi agama dan secara implisit menekankan pentingnya setiap Muslim untuk membungkus dirinya dengan akhaqul karimah.

Bagi setiap manusia baik yang Muslim maupun yang tidak, moralitas merupakan pegangan dan pondasi. Dikatakan dalam sebuah syair Arab bahwa “kelanggengan kehidupan sebuah masyarakat tergantung pada moralitas. Jika moralitas itu ada, maka masyarakat itupun akan ada, dan jika tidak maka masyarakat itu akan mati”. Kata mati di sini tentu berarti kematian yang maknawi. Secara fisik, bisa saja sebuah masyarakat yang tidak bermoral bertahan hidup bahkan berjaya melampaui masyarakat yang bermoral dari segi materi. Namun dari sudut pandang maknawi, masyarakat yang tidak bermoral itu dianggap mati karena moralitas sebagai nyawa dan esensi keberadaannya telah tiada.

Untuk itu mempertahan moralitas merupakan tujuan utama dari pada agama Islam. Islam amat sadar bahwa perkembangan agama ini dan kelanggengannya pada satu sisi, serta keselamatan ummat manusia pada sisi lain, amat tergantung pada moral. Betapa tidak, kerusakan dan bahkan kebinasaan manusia beserta segenap kemajuan yang telah dicapainya seringkali disebabkan oleh kemerosotan moral yang melanda sebagian ummat manusia di dunia ini. Contoh kecil dari itu adalah endemic kepribadian yang dialami oleh manusia Indonesia bernama kecurangan. Saya yakin, jika kecurangan tidak sedemikian parah, negeri ini sudah makmur karena baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang ada sudah lumayan memenuhi syarat untuk itu. Saya teringat oleh ungkapan Taufiq Isma’il yang pernah mengatakan bahwa di negeri ini, “setiap penguasa adalah penindas, setiap rakyat adalah perampas, setiap nyawa adalah penggilas dan penumpas”. Adalah tantangan bagi kita semua untuk memperbaiki kondisi parah ini dengan menyuguhkan Islam dan ajarannya melalui gerakan da’wah yang ramah, bijak dan tepat sasaran.

Bagaimanakah da’wah yang ramah, bijak dan tepat sasaran itu? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu tidak ada jalan lain bagi kita kecuali “mempelajari dan mencermati” cara-cara dan metode yang telah dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad SAW. Saya katakan “mempelajari dan mencermati” (dengan tanda kutip) karena saya ingin mengatakan bahwa dalam da’wah kita tidak harus “mencontoh” cara Nabi. Yang harus kita lakukan adalah sekali lagi “mempelajari dan mencermati” cara Nabi lalu menerapkannya pada kontek dan kondisi yang relefan. Saya memang percaya pada sisi lain, bahwa cara dan metode Nabi dalam berda’wah adalah bijak, arif dan bahkan sesuai untuk hampir semua zaman dan tempat. Tapi saya ingin tetap mengajak kita semua untuk tidak menjadikan cara Nabi itu sebagai dogma sehingga pada gilirannya kita akan kehilangan kreatifitas dalam berda’wah karena terlalu terpaku secara kaku pada cara yang telah dicontohkan oleh Nabi dan Tuntunan kita itu.

Baiklah akan kita coba untuk menguraikan cara-cara Nabi Muhammad dalam berda’wah. Saya yakin apa yang akan saya uraikan berikut ini tidak terlalu asing bagi kita terutama bagi yang secara khusus mendalami ilmu da’wah atau bahkan ilmu tafsir. Tapi saya berharap uraian saya ini dapat memberikan penekanan baru terhadap beberapa poin yang mungkin sebelumnya tidak disentuh, atau sudah disentuh tapi tidak secara empatik.

Poin pertama yang perlu kita sebutkan adalah bahwa dalam berda’wah, Nabi selalu melihat dan mempertimbangkan kondisi seseorang atau masyarakat tertentu. Ini mungkin dapat kita sebuat sebagai da’wah yang kontekstual. Contoh, ketika ditanya mengenai “perbuatan apa yang paling baik”, beliau menjawab dengan jawaban-jawaban yang berbeda tergantung kondisi orang yang bertanya. Kadang beliau menjawab bahwa “perbuatan yang paling baik adalah solat pada waktunya” dan kadang menjawab “bakti pada orang tua” dan lain sebagainya. Kedua jawaban itu disampaikan tergantung –dan sesuai dengan- kondisi indifidu orang yang sedang menanyakannya.

Demikian juga dalam mensikapi segala persoalan dan gejala yang terjadi dalam skala yang lebih makro. Kondisi indifidu (skala mikro) dan juga masyarakat (skala makro) selalu menjadi pertimbangan utama dalam menjalankan da’wah. Maka dalam berda’wah beliau –dalam rangka menyesuaikan dengan kondisi tersebut- menggunakan metode yang kita kenal dengan sebutan al-tadarruj (bertahap). Sesuatu yang nyata-nyata haram dalam Islam seperti minuman keras, tidak serta merta dikatakan haram karena menunggu saat yang tepat di mana kondisi psikologis indifidu dan masyarakat sudah sepenuhnya siap untuk menerima diharamkannya minuman keras tersebut.

Metode ini adalah metode yang bersumber dari al-Qur’an yang tentunya kemudian dilaksanakan oleh Nabi. Tapi itu tidak berarti bahwa Nabi sendiri tidak pernah memikirkan metode bertahap dalam berda’wah. Saya yakin, da’i besar sekaliber Nabi Muhammad sudah memiliki jurus-jurus ampuh dalam berda’wah seperti metode bertahap tersebut. Dan itu terlihat dalam pesan beliau umpamanya, yang beliau sampaikan kepada Mu’adh bin Jabal ketika hendak berangkat ke Yaman dalam misi da’wah.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Nabi tidak pernah tergesa-gesa dalam berda’wah sebagaimana beliau juga tidak pernah menggunakan cara-cara kekerasan atau paksaan. Ini sangat berbeda dengan kondisi kita sekarang ini di mana sebagian ummat Islam maupun ummat agama lain, sama-sama menggunakan cara-cara yang tidak procedural di dalam menyampaikan pesan-pesan agama mereka masing-masing. Dalam artikelnya yang terbaru yang dimuat di harian berbahasa Inggris, the Jakarta Post, Djoko Susilo seorang anggota DPR RI menulis bahwa Amerika kini dikuasai oleh kaum agama aliran kanan yang lumayan fundamentalis. Mereka tidak hanya membawa misi politik ke dalam Gedung Putih tapi juga misi keagamaan. Dengan segudang ambisi yang ada di benak mereka, mereka tidak jauh berbeda dengan Osama bin Ladin dalam mengeksekusi agenda politik dan agama mereka. Sangat mungkin bahwa invasi Amerika ke Irak adalah dalam rangka menjalankan dan mewujudkan misi agama mereka untuk meng-Kristenkan negeri Babilon itu. Sudah terdengar banyak kabar bahwa di Irak sekarang para misionaris amat gencar melakukan misi da’wah dengan di antaranya memberikan bantuan kemanusiaan dan membagi-bagikan Kitab Bibel dalam Bahasa Arab secara cuma-cuma.

Islam dan agama-agama lain tidak menghendaki kekerasan. Semua agama mengajarkan perdamaian, sebagaimana juga mengajarkan moralitas. Esensi agama –terutama Islam- adalah moralitas. Sungguh Islam adalah agama yang secara legal, teologis dan filosofis mengedepankan moralitas. Hampir keseluruhan dari tatanan keilmuwan dalam Islam ditujukan untuk membangun sebuah sistem moral yang komprehensif, holistik dan kondusif sehingga memungkinkan untuk terbentuknya sebuah masyarakat yang manusiawi dan peduli.

Kembali kepada metode da’wah Nabi, al-Qur’an menjelaskan bahwa ada tiga tahapan yang dapat diikuti oleh Nabi –dan dengan demikian oleh para da’i- dalam berda’wah. Tiga tahapan ini bersifat kronologis; artinya untuk kontek zaman Nabi saat itu, tiga tahapan itu sepatutnya dijalankan secara berurutan. Dalam Surah al-Jum’ah/2 Allah berfirman “Dialah yang mengutus kepada orang-orang yang buta huruf seorang Rasul dari antara mereka sendiri yang membacakan kepada mereka tanda-tanda kebesaran-Nya, membersihkan (hati) mereka dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah”.

Ayat ini menjelaskan tiga tahapan yang juga dapat dipahami sebagai fase-fase dalam berda’wah terutama kepada mereka yang oleh ayat itu sendiri disebut sebagai “orang-orang yang buta huruf”, yaitu orang-orang yang belum mengenal Islam baik dari kalangan Islam maupun non-Islam. Tiga tahapan itu adalah:

Pertama: membacakan atau menunjukkan kepada “orang-orang yang buta huruf” itu tanda-tanda kebesaran Tuhan. Da’wah cara ini dapat disebut sebagai da’wah pendekatan kosmologis, yaitu menggunakan alam dan jagad raya sebagai medianya, sebagai tanda bukti kebesaran Tuhan. Da’wah dengan cara ini tentu menuntut seorang da’i untuk paling tidak menguasai sedikit –syukur-syukur banyak- ilmu alam. Jika tidak, bisa saja seorang da’i menggali ilmu pengetahuan tentang alam dari al-Qur’an atau Hadith yang tentunya sedikit banyak bicara masalah alam. Namun akan sangat membantu jika teori-teori ilmiah moderen juga digunakan sehingga da’wah akan menjadi semakin menarik dan meyakinkan.

Yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa pada fase pertama ini, alam dijadikan sebagai media da’wah dan bukan text-text agama, walaupun text agama bisa saja digunakan sebagai media penopang. Di sini objek da’wah diajak untuk berfikir dan memasuki alam rasio guna mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah dalam jagad raya ini. Fase ini bersifat empirik, pragmatis dan rasionalis. Ini merupakan pengakuan al-Qur’an terhadap sifat manusia yang rasional. Bahwa fase rasional ini merupakan fase pertama yang mendahului fase-fase lainnya adalah persoalan yang menarik untuk dicermati. Secara langsung maupun tidak ini merupakan deklarasi al-Qur’an bahwa da’wah menggunakan alam raya sebagai dalil, lebih mengena ketimbang da’wah menggunakan ayat-ayat agama. Dalam ungkapan lain yang lebih moderat, da’wah yang kontekstual lebih baik ketimbang da’wah tekstual karena manusia ini hidup di alam nyata yang empirik –bukan di alam teks- sehingga da’wah empirik pun lebih mengenai sasaran dari pada da’wah yang lain.

Kedua: fase pensucian hati (tazkiyah). Fase ini berkaitan dengan hati sebagaimana fase pertama yang berkaitan dengan akal. Perlu dicermati bahwa al-Qur’an ternyata mendahulukan akal dari pada hati sebagai garapan atau objek da’wah. Ini dapat dimengerti karena bagi Islam, akal adalah punggawanya agama. Bahkan dalam sebuah hadith Qudsi disebutkan bahwa “yang pertama kali diciptakan oleh Tuhan adalah akal”. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa al-Qur’an terdiri dari banyak ayat yang menganjurkan manusia untuk berfikir. Tidak salah jika ada yang berpendapat bahwa Islam pada dasarnya adalah agama ilmu pengetahuan karena keseluruhan dari pada agama ini didasarkan pada ilmu pengetahuan. Bahkan Muhammad Abduh berpendapat bahwa Tauhid, yang merupakan akar dari pada Islam menjadi tidak bermakna jika tidak dilandasi ilmu pengetahuan. Iman harus didasari ilmu.

Namun demikian fase kedua ini tidak bisa dianggap remeh. Apalagi hati adalah kendali dari pada wujud manusia secara keseluruhan. Ada sebuah Hadith yang mengatakan bahwa “di dalam diri manusia ada segumpal darah yang kalau segumpal darah itu baik, maka seluruh organ tubuhnya akan baik…segumpal darah itu adalah hati”.

Ketiga: fase penyampaian dalil-dalil agama. Bahwa fase ini menempati fase terakhir adalah persoalan yang menarik untuk dipikirkan. Jika fase pertama berkaitan dengan akal, fase kedua dengan hati, maka fase ketiga ini berkaitan dengan –penafsiran saya- orang-orang yang telah secara resmi masuk ke dalam pangkuan Islam. Ayat-ayat agama digunakan dan disampaikan dalam rangka memperkokoh keimanan seorang Muslim dan barangkali memperluas wawasan keagamaannya. Menurut hemat saya, ayat-ayat agama tidak cocok untuk disuguhkan kepada orang-orang non-Muslim. Dan jika itu dilakukan saya yakin proses da’wah tidak dapat berjalan dengan efektif karena seorang non-Muslim di samping tidak dapat mengerti al-Qur’an, juga tidak siap menerimanya sebagai Kitab Suci. Ada semacam keengganan untuk begitu saja menerima agama lain dan juga kitab lain sebagai pengganti bagi agama dan kitab lamanya. Untuk itu yang perlu dilakukan pertama-tama adalah proses rasional, disusul kemudian dengan proses spiritual dan baru kemudian pemberian dalil-dalil agama.

Metode al-Qur’an yang baru saja kita jelaskan di atas berbeda dengan metode kebanyakan para da’i di tanah air maupun di tempat lain. Ada kecenderungan di kalangan para da’i di mana ayat-ayat agama dianggap sebagai tongkat ajaib yang seolah-olah dapat merubah atau memperkokoh keimanan seseorang. Ini salah. Ayat-ayat agama adalah penopang da’wah dan tepat jika digunakan kepada orang-orang yang telah tumbuh kesadaran beragamanya. Bagi yang belum tumbuh kesadaran beragamanya maka lebih baik terlebih dahulu dilakukan gesekan-gesekan rasional dan spiritual sampai akal dan hatinya betul-betul tersentuh sehingga mau secara kesadaran melaksanakan ajaran-ajaran agama.

Apa yang telah dianjurkan oleh al-Qur’an dan dijalankan oleh Nabi Muhammad berkaitan dengan metode da’wah di atas, patut kita pertimbangkan lalu kita ikuti. Menurut saya, metode di atas adalah relefan untuk kebanyakan –walau tidak semua- zaman. Setiap Muslim wajib untuk melakukan da’wah, sehingga ia harus setiap waktu mencari tata-cara da’wah yang tepat sehingga upaya-upaya da’wah yang ia lakukan tidak sia-sia belaka. Sebuah Hadith riwayat al-Bukhari mengatakan “sampaikan apa yang telah aku sampaikan walau satu pesan”. Al-Qur’an Surat al-Baqarah/159 mengisyaratkan bahwa berda’wah adalah wajib bagi setiap orang yang telah datang kepadanya kebenaran. Wallahu a’lam




0 Comments: