KONTRAK POLITIK DALAM TINJAUAN ISLAM

Selasa, 10 Februari 2009


KONTRAK POLITIK DALAM TINJAUAN ISLAM

*Hammis Syafaq

Pendahuluan

Dalam kehidupan berbangsa, manusia tidak lepas dari masalah politik. Dalam berpolitik, yang dikedepankan adalah kepentingan. Ketika kepentingan menjadi pemicu bagi sebuah gerakan politik, maka kepentingan pragmatis tidak dapat dihindarkan.

Kontrak politik adalah salah cara yang biasa digunakan oleh gerakan politik untuk memuluskan langkahnya dalam mencapai tujuan politiknya.

Dalam Islam, kontrak politik sudah pernah dikenalkan oleh Nabi. Hanya saja, masih banyak yang belum memahami bagaimana sesungguhnya kontrak politik yang pernah terjadi dalam sejarah Islam.

Oleh karena itu, dalam makalah singkat ini akan dijelaskan beberapa hal terkait dengan kontrak politik dalam Islam.


Kontrak Politik dalam Tinjauan Islam

Dalam ilmu politik, dikenal adanya kontrak sosial atau kontrak politik, sebuah teori yang menyatakan bahwa seseorang atau sekelompok manusia menyerahkan hak kekuasaan dirinya kepada seseorang atau lembaga yang disepakati, sehingga sumber kedaulatan Negara berasal dari rakyat dan memperoleh legitimasi melalui kontrak sosial antara dua pihak.[1]

Menurut Taha Huseyn, istilah kontrak politik dalam Islam sama dengan mubaya'ah yang ada dalam Islam, di mana di dalam Islam, pendirian Negara (nash'at al dawlah al islamiyyah) dan pengangkatan pemimpinnya, bergantung pada kontrak yang terjadi antara pemimpin (al hakim/al khalifah) dan rakyatnya (al mahkumin) melalui proses sosial yang disebut dengan bay'at dalam bentuk mubaya'ah.[2]

Ungkapan ini dibenarkan oleh Yusuf Musa dengan mengatakan bahwa dalam Islam hubungan antara penguasa dan rakyat didasarkan pada kontrak sosial yang disebut bay'at, yang berarti sumpah setia sebagai sumber legitimasi. Menurut Yusuf Musa, dengan menerima bay'at, penguasa dalam Islam itu demokratis sejauh ia memerintah dan mengeluarkan kebijakan yang selaras dengan hukum Islam seperti yang terkandung dalam al-Qur'an dan Hadith Nabi.[3]

Istilah mubaya'ah berasal dari kata ba'a, yang secara etimologis berarti menjual sesuatu, dan bermakna leksikal "memberikan sesuatu kepada orang lain dengan imbalan harga". Bay'at mengandung makna perjanjian; janji setia atau saling berjanji dan setia. Dalam pelaksanaan bay'at selalu melibatkan dua pihak secara suka rela, sehingga bay'at juga berarti berjabat tangan untuk bersedia menjawab akad transksi barang atau hak dan kewajiban, saling setia dan taat.[4]

Jadi bay'at secara istilah adalah ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang dimilikinya dan menyerahkan dirinya serta kesetiaannya kepada pihak kedua secara ikhlas dalam hal urusannya. Artinya dalam bay'at terjadi penyerahan hak dan pernyataan ketaatan atau kewajiban pihak pertama secara sukarela kepada pihak kedua. Pihak kedua juga punya hak dan kewajiban atas hak pihak pertama yang diterimanya. Jadi pelaksanaan hak dan kewajiban antara dua pihak berlangsung secara timbal balik.[5]

Istilah mubaya'ah adalah bentuk masdar dari kata baya'a – yubayi'u – mubaya'at, yang memiliki makna mengadakan perjanjian kepemimpinan. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa bay'at adalah perjanjian atas dasar kesetiaan, bahwa yang berbai'at menerima seseorang yang terpilih menjadi kepada Negara sebagai pemimpinnya dalam melaksanakan urusannya[6]

Bay'at adalah kontrak atau perjanjian berupa pengakuan atau sumpah setia kepada seorang khalifah, penguasa, raja atau pemimpin. Sumpah ini biasanya diberikan atas nama rakyat oleh tokoh suku, marga atau klan. Ketika wakil-wakil suku ini membuat perjanjian dengan penguasa, mereka melakukan hal itu dengan pengertian bahwa sepanjang penguasa bertanggung jawab atas rakyatnya, mereka setia kepadanya. Para wakil itu jika dalam Islam umumnya adalah ulama', pemimpin politik, dan terkadang ketua marga.[7]

Mubaya'ah dalam Islam berfungsi ganda. Pertama, sebagai proses pembentukan dan sebagai faktor dalam pengembangan kelompok sosial, kedua, sebagai faktor bagi karakteristik hubungan struktural dalam kelompok.

Secara normatif, mubaya'ah dalam Islam ditemukan dalam Surat al-Mumtahanah, ayat 12 yang berbunyi :"Ya ayyuha-l-nabiyyu, idha ja'aka al mu'minatu yubayi'naka 'ala an la yushrikna bi-llahi shay'an, wa la yasriqna, wa la yaznina, wa la yaqtulna awladahunna, wa la ya'tina bibuhtani yaftarinahu bayna aydihinna wa arjulihinna wa la ya'sinaka fi ma'rufi, fa bayi'hunna wa istaghfirlahuna-llah, inna-llaha ghafurun rahimun".[8]

Secara teologis, bay'a didasarkan pada keyakinan bahwa hidup bermasyarakat bagi manusia adalah suatu keharusan, karena manusia mempunyai tabi'at sosial, yang dalam istilah modern disebut dengan civilisasi.

Secara histories bay'at dalam Islam merujuk pada peristiwa bay'at yang terjadi pada periode Nabi tahun 621 dan 622 M, yaitu bay'at antara Nabi dengan penduduk Madinah, di mana pada tahun 621 penduduk Madinah menyatakan masuk Islam dan membai'at Nabi. Mereka berikrar bahwa mereka tidak akan menyembah selain Allah, akan meninggalkan segala perbuatan jahat dan akan mentaati RasulNya dalam segala hal yang benar. Peristiwa itu disebut dengan bay'at 'aqabah pertama pada tahun 622, terjadi kontak sosial lagi antara Nabi dengan penduduk Madinah untuk yang kedua kalinya. Penduduk Madinah berjanji akan melindungi Nabi sebagaiman mereka melindungi keluarga mereka dan akan mentatai Nabi sebagai pemimpin mereka. Nabi pun berjanji kepada penduduk Madinah untuk hidup semati bersama mereka.[9] Dari kesepakatan yang dibuat oleh Nabi bersama penduduk Madinah itulah, Nabi kemudian memiliki kekuatan sosial politik. Pada tahun-tahun berikutnya, peristiwa bay'at juga terjadi antara Nabi dengan penduduk Makkah ketika kota itu ditaklukkan. Pada masa khulafa' al-Rashidin, peristiwa bay'at juga terjadi dalam rangka pemilihan seorang khalifah, mereka dipilih oleh umat Islam dengan cara bay'at dalam memposisikan diri mereka sebagai khalifah.[10]

Fakta di atas menunjukkan bahwa antara Nabi dan penduduk Madinah telah terjadi "fakta persekutuan", karena kedua pihak mencapai kesepakatan supaya saling menjaga dan melindungi keselamatan bersama. Dalam bay'at kedua tergambar adanya penyerahan hak kekuasaan diri dari peserta bay'at kepada Nabi yang mereka akui sebagai pemimpin mereka.

Fakta-fakta sejarah tersebut di atas menunjukkan, bahwa praktek kontrak sosial telah dilakukan oleh umat Islam generasi pertama. Peristiwa bay'at ini kemudian dijadikan oleh para ahli fiqh dari kalangan Sunni sebagai salah satu prinsip umum teori pemikiran politik Islam dalam pengangkatan seorang pemimpin.

Karena teori ini melibatkan orang banyak, dan memunculkan kesepakatan bersama, maka seorang pemimpin dipilih langsung oleh rakyat, dan menjalankan kepemimpinannya berdasarkan pada kesepakatan rakyat, dan demi kepentingan rakyat, sehingga rakyat berhak untuk melepaskan jabatan kepemimpinannya kapan saja jika dikehendaki jika sang pemimpin melanggar kesepakatan kontrak.[11]

Dengan begitu dalam pemerintahan Islam, seorang pemimpin bukan sebagai sumber kekuasaan, akan tetapi hanya sebagai pemegang mandat yang dibebankan kepadanya oleh rakyat untuk menjalankan program Negara. Di sini kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, dan pemimpin selalu berada di bawah pengawasan rakyat.[12] Jadi umat sebagai sumber kekuasaan dan hubungan antar rakyat dengan penguasa dilakukan dengan kontrak yang disebut dengan mubaya'ah, [13]

Dalam teori mubaya'ah ini rakyat harus patuh kepada kesepakatan yang dihasilkan dalam mubaya'ah. Pelanggaran terhadap hasil mubaya'ah sama hukumnya dengan memberontak kepada pemerintahan yang sah, sehingga pelakunya boleh diperangi, karena dianggap sebagai provokator, yang bisa memecah belah kesatuan umat.[14]

Dalam menetapkan seorang pemimpin melalui proses bay'at, dalam Islam dilakukan oleh ahlu al hall wa al 'aqd, sebagai wakil umat. Mereka mengadakan kontrak sosial dengan kepada Negara terpilih atas dasar kesetiaan dan ketaatan kepadanya selama pemimpin tadi tidak melakukan maksiat. Karena itu, kepala Negara yang terpilih melalui kontrak sosial harus melaksanakan haknya dalam menjalankan undang-undang dan kewajiban-kewajibannya untuk mewujudkan keadilan sesuai dengan ketentutan al-Qu'ran dan Sunnah Nabi.[15]

Ahl al hall wa al 'aqd adalah istilah yang dirumuskan oleh ulama' fiqh untuk sebutan bagi orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat Islam untuk menyuarakan hati nurani mereka.[16] Tugasnya adalah memilih khalifah, imam, Kepala Negara secara langsung. Karena itu, ahl al hall wa al ' a'qd oleh al-Mawardi disebut juga dengan ahl al ikhtiyar.[17]

Paradigma pemikiran ulama fiqh merumuskan istilah ahl al hall wa al 'aqd didasarkan pada system pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan oleh para tokoh Sahabat yang mewakili dua golongan, Ansar dan Muhajirin. Mereka ini oleh ulama fiqh diklaim sebagai ahl al hall wa al 'aqd yang bertindah sebagai wakil umat. Walaupun pemilihan pada masa Abu Bakar dan Ali bersifat spontan atas dasar tanggung jawab umum terhadap kelangsungan keutuhan umat dan agama, namun kedua tokoh ini mendapat pengakuan dari umat.[18]

Jadi ahl al hall wa al 'aqd adalah orang-orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena ikhlas, konsekuen, takwa, adil, dan memiliki pemikiran yang cemerlang serta gigih di dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

Dalam substansi dan pokoknya, bay'at merupakan suatu perjanjian di antara dua golongan. Yaitu pemimpin atau imam yang dicalonkan untuk memimpin Negara dan rakyat. Adapun sang pemimpin di bay'at untuk memerintah berdasarkan al Qur'an dan Sunnah, serta nasehat atau Kontrol dari kaum muslimin. Sedangkan rakyat yang membai'at bersedia ta'at dalam batas-batas ketaatan kepada Allah dan RasulNya.

Ketika 'Ali bin Abi Talib dibai'at untuk menjadi khalifah, ia berkata: Aku bersumpah dan berjanji dengan Nama Allah, serta mengikatkan diri dengan perjanjian yang diterima para Nabi, bahwa aku sunguh-sungguh akan melaksanakan hak-hak kalian dengan berpegang pada al-Qur'an dan Sunnah Nabi semampuku dan kekuatan pikiranku.

Jadi itulah bentuk kontrak politik yang pernah terjadi di masa awal Islam. Yang secara umum dapat dikatakan bahwa kontrak politik dalam Islam merupakan suatu transaksi perjanjian antara pemimpin dan umat Islam dalam mendirikan sebuah pemerintahan sesuai dengan al-Qur'an dan hadith Nabi Saw. Dengan kata lain kontrak politik dalam Islam merupakan perjanjian atas kepemimpinan berdasarkan sistem politik Islam.

Di mana kontrak politik ini, sebagaimana dijelaskan di atas, pernah terjadi beberapa kali pada masa Rasulullah Saw, antara lain, bay'at 'aqabah pertama yang merupakan kontrak social dan janji setia untuk berprilaku Islami. Di dalamnya juga terdapat ramb-rambu bagi masyarakat Islam. Adapun pada bay'at 'aqabah kedua, merupakan kontrak politik antara umat Islam dan pemimpin. Dua bay'at itu merupakan proto sosial politik untuk hijrah ke Madinah dan dasar dalam pembinaa Negara Islam yang pertama di waktu itu.

Selain bay'at 'aqabah, Rasulullah juga pernah dibai'at oleh kaum Muslimin yang mernyertai beliau dalam perjalanan ke Makkah untuk Umrah tahun 6 Hijrah yang disebut kemudian dengan bay'at ridwan. Pada saat penaklukkan kota Makkah Rasulullah juga pernah dibai'at oleh penduduk Makkah. Setelah Rasulullah wafat, bay'at juga terjadi pada saat pemilihan khulafa' al-rashidin.

Maka jika kita lihat dari proses bay'at (kontrak politik), kita temukan adanya tiga unsur pokok: (1) pihak yang mengambil bay'at; (2) pihak yang memberi bay'at kepada orang yang menjadi pemimpin, dalam Islam biasanya diwakilkan kepada ahl al hall wa al 'aqd atau oleh masyoritas umat Islam secara umum; (3) topik bay'at (kontrak) disesuaikan dengan ajaran al-Qur'an dan Sunnah Rasul Saw. Jadi proses dan topic yang dilakukan dalam melakukan kontrak sosial atau kontrak politik dalam Islam tidak boleh bertentangan dengan ajaran al-Qur'an dan Sunnah Nabi.

Dalam melakukan kontrak politik dengan calon pemimpin, wakil yang dipecaya rakyat untuk menetapkan calon pemimpin (ahl al hal wa al 'aqd) melakukan pemeriksaan atau studi kelayakan terhadap orang yang dicalonkan, sehingga jika sudah memenuhi persyaratan sesuai yang diharapkan oleh umat Islam, sang calon segera di bay'at. Jika terdapat dua calon, maka yang lebih layak untuk di bay'at atau diajak melakukan kontrak politik adalah yang sesuai dengan tuntutan kondisi di masa itu.[19]

Dalam melakukan kontrak politik, sama dengan transaksi-transaksi lainnya, yaitu berdasarkan pada asas penyerahan dari pihak pertama dan penerimaan dari pihak kedua. Jika sudah dilakukan kesepakatan kontrak politik antara calon pemimpin dan wakil rakyat, maka sebagai pelaksana eksekutif, pemimpin Negara mempunyai hak untuk ditaati oleh semua warga negaranya, tanpa mempedulikan adanya sekelompok atau seseorang yang tidak suka atau tidak setuju terhadap sementara kebijakannya di dalam menjalankan urusan Negara, kecuali jika dalam mengeluarkan undang-undang atau perintah ditemukan adanya penyimpangan dari syari'at Islam, maka boleh bagi rakyat untuk tidak menta'atinya, dan menjadi alas an untuk dibolehkannya mencabut kembali kesepakatan kontrak politik yang sudah dilaksanakan.[20]

Dalam istilah modern, kontrak politik yang dalam istilah tradisinal adalah bay'at, menggunakan istilah al tahaluf al siyasi (aliansi politik), atau kontrak politik antara dua partai atau lebih untuk membendung kekuatan partai lainnya. Al Tahaluf artinya perjanjian antara dua kaum atau lebih.[21] Dalam fakta historis, al Tahaluf ini pernah terjadi antara Rasulullah dengan Kaum Anshor dan Muhajirin.[22]

Dasar normatif dari perjanjian politik yang diajarkan oleh Rasulullah adalah ayat al-Qur'an yang berbunyi: Innallah ya'muru bi al 'adl wa al ihsan wa ita'i dhi al qurba wa yanha 'an al fakhsha' wa al munkar wa al baghy, ya'izukum la'allakum tadhakkarun.[23] Jadi ada unsur penegakan moral yang harus diperhatikan dalam melakukan kontrak politik atau perjanjian politik, seperti keadilan, menegakkan kebenaran dan mencegah kemunkaran.

Dari sisi fiqh, kontrak politik merupakan permalasahan yang masih wilayah ijtihad, antara yang melarang dan membolehkan. Perdebatan antara kedua kelompok yang membolehkan dan melarang sangat tajam, sehingga masalah kontrak politik (al tahaluf al siyasi) masuk dalam kategori masalah khilafiyah.[24]

Di antara beberapa permasalahan yang termasuk dalam kategori khilafiyah adalah kontrak politik antara kelompok muslim dengan non-muslim, sebagaimana yang terjadi pada masa sekarang ini, di mana banyak partai politik Islam dan calon pemimpin muslim melakukan kontrak politik dengan non-muslim untuk mencapai suara terbanyak. Hal semacam ini tidak ditemukan dalam teks-teks suci Islam, hanya di sebuah Hadits ditemukan bahwa Nabi Muhammad dan Abu Bakar pernah menyewa seorang lelaki dari Bani al-Dyl, seorag kafir Qurays, hanya saja ia berencana untuk masuk Islam.[25]

Hanya saja sudah ada kesepakatan di antara para ahli fiqh tentang kontrak politik yang diharamkan; yaitu kontrak politik yang dilakukan dengan kekuatan tertentu bertujuan untuk membendung gerakan dakwah Islam, kontrak dilakukan dengan kelompok yang jelas-jelas akan melakukan kemunkaran, kontrak dilakukan dengan kelompok yang diduga akan menyebarkan paham-paham atheis, kontrak politik yang berakibat pada perpecahan umat Islam.

Penutup

Jika disimpulkan dari paparan di atas, nampaknya kontrak politik yang terjadi pada periode modern sekarang ini adalah pengembangan dari system bay'at yang pernah terjadi dalam Islam, sehingga dalam mengkaji tentang kontrak politik, kita juga harus merujuk pada peristiwa bay'at yang pernah terjadi pada masa awal Islam.



[1] G.H. Sabine, A History of Political Thought (New York: Collier Books, 1959), 398.

[2] Taha Huseyn, al Fitnah al Kubra, Jilid I "Uthman" (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1951), 28-29.

[3] Bassam Tibi, "Otoritas dan Legitimasi", dalam John L. Esposito ed., The Oxford Encyclopdeia of the Modern Islamic Wolrd, Vol. IV, 218.

[4] Abdul Aziz Dahlan ed. "Baiat" dalam Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru, 2001), Vol. I, 179.

[5] Ibnu Manzur, Lisan al 'Arab (Beirut: Dar al-Sadir, 1968), Vol. VIII, 26.

[6] Ibnu Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 209.

[7] Emile A. Nakhleh, "Bai'at" dalam John L. Esposito ed., The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World (Oxford: oxford University Press, 1995), Vol. III, 243-244.

[8] Al-Mumtahanah, 12.

[9] Ibnu Hisyam, Sirat al Nabawiyyah (t.t.: Matba'ah Muhammad Ali Sabih,t.t), Jilid I, 266.

[10] Abu Zahroh, Tarikh al Madhahib al Islamiyyah fi al Siyasah wa al 'Aqidah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 91.

[11] Ibid., 117.

[12] Yusuf Musa, Nizam al Hukm fi al Islam (Kairo: Dar al-Kutub al-'Arabiyyah, 1963), 126.

[13] Isma'il al-Badawi, Nadariyyat al Dawlah (Kairo: Dar al-Nahdah al-'Arabiyyah, 1994), 116.

[14] 'Ali Yusuf, Nizam al Hukm al Idari (Kairo: 'Ain Sham Univesity Press, 1984), 132.

[15] Abu Zahroh, Tarikh al Madhahib al Islamiyyah fi al Siyasah wa al 'Aqidah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 91.

[16] Muhammad Diya'uddin al-Rais, Nazariyyat al Siyasah al Islamiyyah (Kairo: Matba'at Anglo al-Masriyyah, 1960), 167.

[17] Al-Mawardi, al Ahkam al Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1925), 6.

[18] Ibid., 7.

[19] Al-Mawardi, al Ahkam al Sultaniyyah, 5-6.

[20] Yusuf Musa, Nidam al Hukm fi al Islam, 170.

[21] Munir Muhammad Ghadban, al Tahaluf al Siyasi (Kairo: Dar al Salam, 1999), 8.

[22] Al Sahhah li al-Jawhari Jilid IV, 1346.

[23] Q.s: al-Nahl, 90.

[24] Munir Muhammad Ghadban, al Tahaluf al Siyasi, 165.

[25] Ibid.




Read More......

Hak Asasi Manusia: Diskursus Agama dan Demokrasi


Hak Asasi Manusia: Diskursus Agama dan Demokrasi

Abdul Kadir Riyadi*

Dalam mengkaji dan mendalami ilmu-ilmu agama, seseorang tidak akan dapat menghindari adanya perbedaan yang nyata antara agama per se dan ilmu agama. Namun ia juga tidak dapat melupakan adanya hubungan yang erat antara keduanya sebab beberapa nilai dasar agama seperti menghargai dan melindungi Hak Asasi Agama (HAM), keadilan, kemanusiaan, kemaslahatan umum dan lain sebagainya adalah bersifat integral dengan nilai-nilai non-agama. Ini artinya bahwa sebuah argumentasi tentang HAM umpamanya harus menggabungkan antara argumentasi yang rasional dan religious. Sebuah argumentasi yang murni religious –yaitu yang hanya berdasarkan pada text-text agama saja- hanya akan berakhir pada tautology. Untuk itu, mempertimbangkan kaidah-kaidah rasional dalam mengutarakan berbagai argumentasi tentang berbagai macam persoalan –sekalipun persoalan itu bersifat religious- adalah suatu keniscayaan. Adalah rasio –bukan agama- yang mendefinisikan kebenaran, keadilan, kemanusian dan nilai-nilai agama lainnya. Mungkin ini sedikit bersifat paradox; bagaimana nilai-nilai agama ditentukan oleh rasio dan bukan oleh agama sendiri.


Agama hanya concern kepada nilai-nilai yang bersifat universal saja, sedang pemahaman, penafsiran dan aplikasi nilai-nilai universal itu murni menjadi hak prerogatif rasio. Dalam soal penegakan HAM, ini berarti bahwa rasio-lah yang memiliki wewenang untuk melakukannya. Bahwa agama peduli terhadap penegakan HAM adalah benar, namun pra-kondisi terhadap terwujudnya hal itu berupa terciptanya kondisi yang kondusif di mana HAM dapat ditegakkan, adalah tugas rasio untuk melakukannya.

Dalam ungkapan lain, nilai-nilai Islam yang universal harus diolah terlebih dahulu melalui proses historisasi sebelum diaplikasikan. Sejak dulu, para tokoh Islam telah melakukan proses historisasi ini tidak hanya terhadap nilai-nilai universal saja tapi juga terhadap hukum-hukum agama sekalipun. Contoh hukum agama yang telah dihistorisasi oleh para tokoh pemikir agama adalah masalah perbudakan. Islam tidak pernah melarang perbudakan padahal perbudakan nyata-nyata melanggar dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang paling mendasar. Sekelompok besar pemikir Islam menolak perbudakan, namun dalam rangka mengakomodir pandangan al-Qur’an, mereka melakukan proses historisasi terhadap text Kitab Suci itu yang kemudian menghasilkan sebuah pemahaman bahwa perbudakan diperbolehkan hanya pada fase sejarah tertentu saja sedang pada fase lain, tidak diperbolehkan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam yang paling mendasar tentang persamaan status manusia.

Dalam kerangka ini pemahaman tentang penegakan HAM dalam Islam haruslah dilandasi oleh semangat untuk menterjemahkan ajaran-ajaran al-Qur’an sesuai dengan semangat zaman yang terus berkembang. Harus diakui bahwa banyak di dalam al-Qur’an statemen-statemen mengenai persamaan hak yang harus dipahami secara lebih jeli. Jika kebanyakan pemikir Muslim terdahulu memandang seorang non-Muslim umpamanya, memiliki hak secondary sebagai ahl al-zimmah dalam sebuah Negara Islam, maka pemikir Muslim kontemporer seperti Fahmi Huwaidi tidak demikian. Baginya, hak semua warga dalam sebuah negara adalah sama terlepas dari agama yang dianutnya. Pandangan seperti ini sulit ditemui dalam literatur Islam kuno yang rata-rata memposisikan non-Muslim secara diskriminatif sebagai warga negara kelas dua dengan hak-hak yang terbatas dan kewajiban yang lebih berat.

Perlu digarisbawahi bahwa sebenarnya masalah HAM bukanlah persoalan yang berada dalam ranah Syari’ah, tapi berada di bawah payung filsafat. Ini penting untuk disebutkan karena akan membawa implikasi pada cara pandang kita tentang HAM dalam Islam. Jika kita mengatakan masalah HAM berada di dalam ranah Syari’ah, maka implikasinya adalah bahwa kita tidak akan lagi memandang masalah itu sebagai persoalan spekulatif namun sudah merupakan masalah “iya” dan “tidak”, “boleh” dan “tidak boleh”. Padalah seperti persoalan-persoalan yang serupa termasuk objektifitas nilai-nilai etika, masalah kebebasan, keberadaan Tuhan, dan kenabian, masalah HAM berada di luar domain agama, walau –sekali lagi- HAM pada dirinya merupakan nilai yang bersifat religious. Apakah seseorang akan setuju dengan pandangan ini atau tidak, yang jelas diskursus pemikiran Islam kontemporer –berbeda dengan klasik- tentang HAM dan berbagai persoalan yang serupa berada dalam wilayah extra-religious dan bukan intra-religious.

Kebenaran agama tidak hanya diukur secara metafisik dan teologis, tapi juga secara sosial, logis dan etis. Jika selama ini kesempurnaan Islam hanya dipahami dari sudut pandang metafisik dan teologis, maka sejatinya kesempurnaan Islam itu juga terletak pada sisi social, logis dan etis. Itulah sebabnya belakang ini pemahaman Islam lebih banyak dititik beratikan pada ketiga aspek terakhir itu, dan bukan pada dua aspek pertama. Bukan karena aspek metafisik dan teologis tidak lagi relefan, tapi karena dimensi sosial dan sebagainya lebih menentukan apakah sebuah agama dalam era moderen ini mampu memperlihatkan dinamikanya apa tidak.

Sebuah masyarakat yang mengaku mengenal dan berpegang pada nilai-nilai agama haruslah sadar bahwa untuk memelihara dimensi “dalam” dan “luar” agama yang mereka anut, mereka harus melakukan upaya-upaya kongkret menyuguhkan agama itu dalam bentuk yang damai dan sejuk. Masyarakat agama –karena sifatnya yang agamis- sepatutnya tidak puas dengan “kesempurnaan” internal agamanya, tapi juga harus membuktikan kesempurnaan agamanya itu secara empirik, pragmatik, dan praktis. Sesungguhnya tidak ada salahnya jika kita katakan bahwa kebenaran –dan tidak hanya kesempurnaan- sebuah agama tergantung pada kemampuannya menterjemahkan ajaran-ajarannya ke dalam kontek sosial. Hampir semua masyarakat bersifat multi-ethnik, multi-religious dan seterusnya. Agama dituntut untuk memahami karakter ini dan kemudian merumuskan langkah-langkah strategik dalam rangka mengimplementasikan ajaran-ajarannya sesuai dengan kondisi sosial itu. Menghargai ciri khas sebuah entitas sosial, dan melindungi hak-hak asasi manusia yang ada di dalamnya merupakan inti dari ajaran agama yang tidak hanya akan menjamin kestabilan sebuah masyarakat, tapi juga akan mempertahankan karakter religiositasnya. Jika sebagian orang berasusmi bahwa keutuhan dan “keselamatan” sebuah agama hanya dapat dipertahankan melalui formalisasi ajarannya, maka sejatinya hal itu merupakan upaya mereduksi agama yang jauh lebih luas dari sekedar formalisasi.

Sebagai poin terakhir, saya ingin mengatakan bahwa belakangan ini ada semacam asumsi bahwa sensitifitas terhadap isu HAM merupakan ketertundukan terhadap liberalisme relatifistik. Ini asumsi yang tidak benar dan muncul semata-mata karena pemahaman yang salah terhadap liberalisme relatifistik. Pada sisi lain, ini justru merupakan pelecehan terhadap agama karena merupakan pengakuan terhadap peran penting liberalisme relatifistik –dan penolakan terhadap peran agama- dalam hal penegakan HAM.

Memang benar, bahwa HAM dalam bentuk dan formatnya yang moderen diformulasikan oleh para tokoh Enlightenment yang liberal tanpa adanya keterikatan apapun terhadap agama, keyakinan kepada Tuhan, atau pengakuan terhadap agama sebagai sumber kebenaran dan pembenaran. Benar pula bahwa pemikir agama terlalu terlambat merespon isu HAM yang diusung oleh para tokoh Enlightenment ini. Namun harus pula diingat bahwa keterlambatan para pemikir agama bukan tanpa sebab. Setidaknya ada dua sebab kenapa itu terjadi. Pertama, karena para pemikir agama merasa bahwa mereka sudah memiliki khazanah pemikiran yang cukup mengenai etika, hak asasi manusia, dan sejenisnya sehingga tidak perlu adanya pengayaan lebih lanjut. Akibatnya, para pemikir agama tidak terpanggil untuk bergabung dengan pemikir Barat dalam rangka urun rembuk membahas masalah HAM dan yang sejenisnya.

Kedua, karena bahasa agama dan bahasa hukum agama adalah bahasa kewajiban, dan bukan bahasa hak. Akibatnya, kaum beragama tidak terlalu peduli pada hak ketimbang pada kewajiban. Mereka lebih memperhatikan perintah agama dari pada apa yang dapat mereka peroleh dari agama sebagai hak. Lebih tepatnya lagi, kaum beragama lebih tertarik untuk menjalankan kewajiban agama dalam rangka mencari hak ketimbang sebaliknya.

Ini semua bukan berarti bahwa agama adalah anti dan bertentangan dengan konsep moderen tentang HAM. Justru sebaliknya, ini merupakan masukan bagi mazhab-mazhab pemikiran Barat seperti liberalisme yang justru selama ini memonopoli diskursus tentang HAM, sebuah diskursus yang secara politis praktis banyak diterjemahkan dalam sebuah pesta disebut demokrasi.

*Abdul Kadir Riyadi adalah dosen Filsafat Islam, IAIN Sunan Ampel Surabaya.




Read More......

ISLAM POPULER

Senin, 09 Februari 2009


ISLAM POPULER

(Studi tentang Makna Upacara Siklus Kehidupan dan Ziarah Makam Wali Bagi Masyarakat NU di Waru Sidoarjo Jawa Timur Indonesia)

Oleh Hammis Syafaq

ABSTRAK

Dalam beberapa kajian tentang modernisasi ditemukan teori bahwa modernisasi berimplikasi pada purifikasi. Secara teoritik, bertahannya upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali di tengah masyarakat modern mengandung banyak arti. Pertama, modernisasi tidak selalu mendorong purifikasi. Kedua, jika modernisasi mendorong purifikasi, apa yang dilakukan oleh masyarakat NU di Indonesia dalam bentuk upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali adalah memang diyakini sebagai bagian dari ajaran Islam.

Merujuk latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk memahami makna upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali bagi masyarakat NU di Indonesia dan faktor yang melatar belakangi pemaknaan tersebut.


Dari beberapa data yang dihimpun, penelitian ini menyimpulkan bahwa upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali oleh masyarakat NU di Indonesia dimaknai secara beragam, sesuai dengan tiga varian yang ada. Pertama, varian NU-reformis memaknai upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali sebagai bagian dari praktik bid‘ah yang dilarang oleh agama, sehingga lebih baik ditinggalkan. Meskipun demikian, mereka tetap hadir dalam acara upacara siklus kehidupan jika diundang oleh tetangga sebagai upaya untuk menjaga keharmonisan bertetangga. Pemaknaan mereka yang demikian, dipengaruhi oleh faktor pendidikan modern, lingkungan kerja dan keluarga. Varian ini, oleh masyarakat setempat, disebut dengan istilah orang NU setengah hati atau NU murtad. Kedua, varian NU-tradisionalis normatif memaknai upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali sebagai tradisi yang memiliki landasan normatif dari ajaran Islam, sehingga tidak termasuk dalam kategori bid‘ah. Mereka melakukannya sesuai dengan yang diterima dari ulama NU, kitab kuning, penafsiran terhadap teks-teks al-Qur’a>n, H}adi>th atau A>tha>r Sah}abat. Pemaknaan mereka yang demikian dipengaruhi oleh faktor pendidikan pesantren tradisional atau lingkungan keluarga yang santri. Varian ini disebut dengan istilah orang NU sejati. Ketiga, varian NU-tradisionalis sinkretis memaknai upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali sebagai tradisi nenek moyang yang harus dilaksanakan. Mereka melakukannya dengan disertai beberapa unsur sinkretisme. Mereka tidak pernah mengkaitkannya dengan konsep bid‘ah. Pemaknaan mereka yang demikian dipengaruhi oleh faktor tingkat pendidikan agama yang rendah, lingkungan keluarga yang abangan. Varian ini disebut dengan istilah orang NU abangan.

Latar Belakang Masalah

Setelah Nabi Muh}ammad saw wafat dan Islam mulai melakukan kontak dengan dunia luar, ajaran Islam kemudian ditafsirkan oleh pemeluknya secara berbeda akibat perbedaan kehidupan sosialnya. Penafsiran yang berbeda itu melahirkan keragaman pemahaman di bidang fikih dan teologi, terutama terkait dengan persoalan yang belum pernah muncul pada masa Nabi Muh}ammad saw, di antaranya tentang praktik keagamaan yang disebut dengan istilah Islam populer.[1] Perdebatan ulama dalam menyikapi praktik keagamaan populer kemudian menjadi salah satu tema dalam studi Islam.[2] Di antara praktik keagamaan populer dalam masyarakat Islam yang menjadi perhatian ulama dan para peneliti adalah upacara siklus kehidupan dan ziarah makam tokoh yang diyakini sebagai wali Allah[3] untuk mendapatkan berkah (barakah/ the sacred emanation).[4]

Banyak penelitian tentang praktik keagamaan populer dalam masyarakat Islam yang telah dilakukan. Para peneliti dalam menyebut praktik keagamaan populer itu cukup beragam, antara lain adalah sebagai berikut; Islam lokal (local Islam) lawan dari Islam universal (universal Islam),[5] Islam praktis (practical Islam) lawan dari Islam tekstual (textual Islam),[6] Islam rakyat (folk Islam) lawan dari Islam ulama (scholarly Islam),[7] Islam simbolik (symbolic Islam) lawan dari Islam normatif (normative Islam),[8] Islam populer (popular Islam) lawan dari Islam ofisial (official Islam),[9] tradisi kecil (little tradition) lawan dari tradisi besar (great tradition),[10] Islam nyata (lived Islam) lawan dari Islam normatif (normative Islam).[11]

Dalam menyikapi praktik keagamaan populer, sebagian umat Islam bersikap menerima dan sebagian yang lain menolaknya karena diyakini bukan bagian dari ajaran Islam. Kecenderungan untuk menolak praktik keagamaan populer memunculkan gerakan purifikasi agama.[12] Argumentasi yang dijadikan alasan dalam upaya melakukan penolakan terhadap praktik keagamaan populer adalah bid‘ah.[13]

Di antara tokoh yang menggunakan konsep bid‘ah untuk menolak praktik keagamaan populer adalah Ibn Taymi>yah (w. 1328 M). Dalam Majmu>‘ Fata>wa> Ibn Taymi>yah menyebut beberapa praktik keagamaan populer yang termasuk dalam kategori bid‘ah, yaitu peringatan maulid Nabi Muh}ammad saw[14] dan kunjungan ke makam tokoh yang diyakini sebagai wali Allah. Menurutnya, praktik semacam itu tidak pernah ada pada masa awal Islam dan tidak ditemukan landasan normatifnya dalam al-Qur’a>n dan H}adi>th, tetapi merupakan warisan dari ajaran agama sebelum Islam.[15]

Selain Ibn Taymi>yah adalah Muh}ammad bin ‘Abd al-Wahha>b (w. 1791 M), pendiri paham Wahha>bi>yah di Najd (Saudi Arabia), yang juga mengecam keras praktik keagamaan populer, seperti praktik pemujaan terhadap makam tokoh suci. Respon itu dilakukan dengan menghancurkan makam H}usyn (w. 680 M), cucu Nabi Muh}ammad saw, di Irak pada tahun 1801 M.[16] Konsep bid‘ah Ibn Taymi>yah dan Muh}ammad bin ‘Abd al-Wahha>b itu kemudian menjadi inspirasi bagi beberapa gerakan purifikasi Islam di belahan bumi lainnya, termasuk di Indonesia.[17]

Landasan normatif konsep bidah, di antaranya adalah H}adi>th Nabi yang diriwayatkan oleh Abu> Da>wud (w. 888 M) dari al-‘Irba>d} bin Sa>riyah, yaitu:

عَنِ العِرْبَاضِ بْنُ سَارِيَة قَالَ: صَلَّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَاالْعُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَاالْقُلُوْبُ, فَقَالَ قَائِلٌ: يَارَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّ هذِهِ مَوْعِظَة مُوَدَّع فَمَاذَا تَعْهدَ اِلَيْنَا؟ فَقَالَ:أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ لِوُلاَةِ الأَمْرِ وَاِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَاِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اِخْتِلافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الّرَاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِاالنَّوَاجِذِ وَاِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَات الأُمُوْرِ فَاِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٍ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلََة. (رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدْ).[18]

(al-‘Irba>d} bin Sa>riyah berkata: suatu hari Rasu>lullah> saw salat bersama kami kemudian menyampaikan nasihatnya. Di antara kami kemudian ada yang bertanya: wahai Rasu>lulla>h, seakan-akan ini adalah nasihat anda yang terakhir. Apa sesungguhnya yang hendak engkau sampaikan kepada kami? Rasu>lulla>h menjawab: saya berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah swt dan mentaati pemimpin meskipun ia seorang hamba dari H}abashah, karena sesungguhnya siapa di antara kalian yang hidup sesudahku akan menemukan banyak perbedaan. Maka hendaklah kalian mengikuti Sunnahku dan Sunnah para khulafa>’ al ra>shidi>n sesudahku. Berpegang teguhlah kalian kepada keduanya dan jauhilah sesuatu hal baru yang diada-adakan (muh}dath), karena setiap hal baru yang diada-adakan (muh}dath) adalah bid‘ah, dan setiap yang bid‘ah adalah sesat).

Pada beberapa H}adi>th tentang bid‘ah, tidak ditemukan penjelasan rinci dari Nabi Muh}ammad saw tentang makna bid‘ah yang dimaksudkan. Hanya dinyatakan bahwa sesuatu hal baru (muh}dath) yang diada-adakan atau tidak dicontohkan oleh Nabi Muh}ammad saw adalah bid‘ah. Sementara itu, pada saat ‘Umar bin al-Khat}t}a>b (w. 644 M) menjadi khali>fah, ia melakukan pembaruan di bidang salat Tarawih, dengan melaksanakannya secara berjamaah. Praktik salat Tarawih} secara berjamaah yang dilakukan oleh ‘Umar itu tidak ditemukan pada masa Nabi Muh}ammad saw. Ketika ‘Umar ditanya tentang pembaruan yang dilakukannya, ia menjawab bahwa bid‘ah yang dilakukannya adalah baik (ni‘mat al bid‘ah).[19]

Tidak didapatkannya penjelasan secara rinci tentang makna bid‘ah pada beberapa H}adi>th di atas dan ditemukannya kasus pembaruan praktik salat Tarawih oleh ‘Umar, para ulama kemudian berselisih pendapat dalam memahami makna bid‘ah.

Indonesia, terutama Jawa, adalah salah satu wilayah yang sarat dengan praktik keagamaan populer. Di antara masyarakat Indonesia yang mengakomodasi praktik keagamaan populer adalah masyarakat Islam tradisional.[20]

Dalam beberapa penelitian[21] disebutkan bahwa masyarakat Islam tradisional di Indonesia identik dengan organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keagamaan yang mempunyai wawasan, pandangan, sikap, tata cara, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam ahl al Sunnah wa al jama>‘ah.[22]

Pemahaman Nahdlatul Ulama (NU) terhadap ajaran ahl Sunnah wa al jama>‘ah mempengaruhi para pengikutnya untuk berpegang teguh pada mata rantai sejarah serta pemikiran ulama terdahulu dalam perilaku keagamaannya.[23] Jika diuraikan adalah sebagai berikut, di bidang fikih menganut salah satu ajaran dari empat madhhab, yaitu pendapat Abu> H}ani>fah (w. 767 M), Ma>lik bin Anas (w. 795 M), al-Sha>fi‘i> (w. 820 M) dan Ah}mad bin H}anbal (w. 855 M). Di bidang tauhid menganut ajaran Abu> H}asan al-Ash‘ari> (w. 935 M) dan Abu> Mans}u>r al-Ma>turi>di> (w. 944 M). Di bidang tasawuf menganut ajaran Abu> Qa>sim al-Junayd al-Baghda>di> (w. 910 M) dan Abu> H}a>mid al-Ghaza>li> (w. 1111 M),[24] meskipun dalam kenyataannya madhhab fikih al-Sha>fi‘i> dan teologi al-Ash‘ari> lebih diunggulkan.[25]

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, terkait dengan konsep keagamaan masyarakat Islam pelaku tradisi keagamaan populer, ditemukan adanya tipologi; Islam yang bercorak sinkretis,[26] akulturatif,[27] lokal,[28] kolaboratif[29] dan Islam kreatif.[30]

Meskipun terdapat perbedaan, setidaknya tipologi di atas memberikan kesimpulan bahwa praktik keagamaan populer yang dilakukan oleh masyarakat NU di Indonesia adalah bukan murni dari ajaran Islam, tetapi merupakan praktik keagamaan lokal yang diberi muatan Islam atau hasil perpaduan antara praktik keagamaan lokal dengan ajaran Islam. Untuk itu, beberapa kecenderungan paradigmatik di atas akan diuji dengan cara mendengarkan pendapat masyarakat NU, sebagai pelaku praktik keagamaan populer, tentang makna upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali.

Masyarakat NU yang didengar pendapatnya dalam penelitian ini adalah masyarakat NU yang tinggal di Waru, sebuah wilayah kecamatan yang berada di ujung utara kabupaten Sidoarjo dan berbatasan langsung dengan kotamadya Surabaya (ibukota propinsi Jawa Timur). Jaraknya dari pusat kota Sidoarjo sekitar 19 km dengan jumlah penduduk mencapai sekitar 159.755 jiwa, 79.545 laki-laki dan 80.208 perempuan.[31] Kecamatan Waru terbelah menjadi dua, dipisah oleh jalan raya yang menghubungkan antara Sidoarjo dan Surabaya.

Di wilayah ini terdapat pusat industri logam dan sandal. Industri itu merubah pola kehidupan masyarakat dari petani menjadi pedagang, buruh pabrik, pengusaha (sandal dan logam) meskipun masih terdapat beberapa warganya yang tetap sebagai petani. Jumlah produksi sandal pertahun lebih dari 352.800 kodi dengan nilai di atas Rp. 10.564.000.000. Ekspor pertahun 70.560 kodi dengan nilai Rp. 2.116.800.000 dengan negara tujuan Spanyol, Polandia, Panama, Dubai, Iran dan Swiss. Industri logam menghasilkan produksi komponen PLN, telephone, alat-alat atau komponen konstruksi bangunan, jembatan, irigasi, komponen kendaraan bermotor, alat-alat pertanian, alat-alat rumah tangga, kantor, komponen sepeda, becak dan komponen alat-alat kerja atau mesin produksi.

Sejak tahun 1990-an, Waru telah mengalami modernisasi dalam bentuk pembangunan perumahan (real estate), industrialisasi, urbanisasi, penggunaan teknologi modern sebagai alternatif, perkembangan lembaga pendidikan modern, menjamurnya pembangunan swalayan, hotel, tempat hiburan, seperti warung internet, gedung bioskop, cafe, tempat bermain billiard, tempat bermain video game dan play station, masuknya beberapa produk multi nasional, perubahan gaya hidup, di mana kalangan muda sudah memakai pakaian jeans, pergaulan antara lelaki dan perempuan yang semakin longgar, pergi ke diskotik, meminum minuman beralkohol, orientasi pendidikan yang mementingkan dunia kerja, perubahan sistem kerja dari masyarakat petani menjadi buruh pabrik, pedagang, pegawai kantor, politisi, pembatasan jumlah anak, pemberian nama untuk anak yang baru lahir, bentuk rumah dengan gaya arsitek modern, masyarakatnya yang individualistik, semua diatur oleh waktu dan kepentingan pragmatis.[32]

Penilaian di atas merujuk pada konsep Berger tentang lima pilar modernisasi, yaitu abstraction, bahwa gaya hidup berbentuk birokrasi dan teknologi, futurity, bahwa masa depan menjadi orientasi pokok dalam beraktivitas dan berimajinasi dan gaya hidup diatur oleh waktu, individuation, yaitu terjadi pemisahan antara individu dengan entitas kolektif, liberation, di mana pandangan hidup didominasi oleh pilihan bukan pada kebutuhan. Segala sesuatu yang di luar kebutuhan mampu diwujudkan dan secularization, yaitu terjadinya kemerosotan di bidang keyakinan keagamaan.[33]

Dalam model penelitian Geertz ditemukan bahwa struktur sosial dari mekanisme pasar di kota yang rasional akan menentukan seseorang untuk berpartisipasi dalam kelompok Islam murni atau akan meninggalkan praktik keagamaan populer.[34] Teori serupa juga ditemukan dalam model penelitian Riaz Hassan, bahwa semakin modern kehidupan seseorang semakin jauh dari praktik keagamaan populer.[35] Tetapi, modernisasi di Waru tidak menghilangkan praktik keagamaan populer masyarakatnya. Upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali tetap marak dilakukan oleh masyarakat NU di Waru, sama seperti temuan Mulkhan di Jember tentang partisipasi masyarakat petani ke dalam Muhammadiyah yang tetap melakukan tradisi tahlilan.[36]

Secara teoritik, bertahannya upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali di tengah masyarakat modern mengandung banyak arti. Pertama, modernisasi tidak selalu mendorong purifikasi, seperti tesis Hassan,[37] dan masyarakat NU, sebagai pelaku upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali tidak memahami konsep bid‘ah. Kedua, jika modernisasi mendorong purifikasi, apa yang dilakukan oleh masyarakat NU di Waru dalam bentuk upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali adalah memang diyakini sebagai tradisi besar Islam, berbeda dengan tesis Mulder,[38] Beatty,[39] Gellner,[40] Jandra,[41] Waardenburg,[42] Redfield,[43] Moller,[44] sehingga tipologi Islam sinkretis, akulturatif, lokal, kolaboratif dan Islam kreatif untuk konsep keagamaan masyarakat pelaku tradisi keagamaan populer perlu dikaji ulang.

Untuk sementara peneliti mengikuti tesis Weberian (Rasionalisasi Weber) tentang pemurnian Islam yang berlangsung searah perubahan masyarakat menjadi semakin modern[45] dan model penelitian Geertz yang menghubungkan antara struktur sosial dari mekanisme pasar di kota yang rasional dengan partisipasinya dalam kelompok Islam murni,[46] serta tesis Hassan yang menghubungkan antara modernisasi dengan penolakan praktik keagamaan lokal.[47] Artinya, modernisasi di Waru mendorong purifikasi, sehingga dapat diasumsikan bahwa masyarakat NU di Waru, sebagai pelaku upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali, memiliki pemahaman tersendiri tentang konsep bid‘ah.

Dengan demikian, kenyataan tetap ditemukannya upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali di Waru yang modern merupakan indikator bahwa praktik keagamaan itu oleh pelakunya memang diyakini sebagai praktik keagamaan resmi dalam Islam. Setidaknya, terdapat alasan normatif dari upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali yang dilakukan oleh masyarakat NU di Waru yang hidup di tengah arus modernisasi, sebagaimana konsepsi Denny tentang alasan di balik semaraknya praktik keagamaan populer oleh masyarakat Islam, yaitu keyakinan bahwa praktik keagamaan itu merupakan bagian dari ajaran agama yang harus dilaksanakan,[48] sehingga upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali, dalam pandangan masyarakat NU di Waru tidak termasuk dalam kategori bid‘ah yang dilarang oleh agama.

Asumsi inilah yang dijadikan sebagai konsep dasar dalam penelitian ini untuk memahami makna upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali bagi masyarakat NU di Waru terkait dengan pemahaman mereka terhadap konsep bid‘ah, dengan berpijak pada konsepsi Geertz yang melihat agama sebagai pola bagi tindakan (pattern for behaviour),[49] di mana dalam konsepsinya, Geertz menyebut adanya motif asli (because motive) yang mendasari dan mendorong seseorang untuk melakukan suatu praktik keagamaan. Motif asli (because motive) itu adalah keyakinan ajaran agama.[50] Agama merupakan pedoman yang dijadikan sebagai kerangka interpretasi tindakan manusia. Dengan berpijak pada konsepsi Geertz di atas, setidaknya dapat ditemukan landasan normatif dari upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali yang dilakukan oleh masyarakat NU di Waru.

Tentu saja, penafsiran masyarakat NU di Waru terhadap upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali di Waru dapat berbeda antara satu individu dengan individu lainnya, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya perbedaan pemahaman di antara masyarakat NU di Waru tentang makna upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali, karena perbedaan struktur sosial akan melahirkan perbedaan pemahaman tentang upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali, sebagaimana tesis Mulkhan tentang peran lingkungan kerja dan pendidikan dalam menentukan pola pemahaman dan perilaku keagamaan seseorang.[51] Artinya, terdapat kemungkinan ditemukannya tipologi masyarakat NU di Waru yang beragam terkait dengan pelaksanaan upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali.

Terdapat kemungkinan, di antara masyarakat NU di Waru, dalam melaksanakan upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali, tetap mencampurinya dengan unsur-unsur sinkretisme. Kemungkinan itu bisa terjadi karena mayoritas masyarakat NU di Waru menggantungkan hidupnya dari hasil penjualan sandal dan logam, yang sangat terpengaruh oleh mekanisme pasar, yaitu tergantung pada banyaknya konsumen atau pembeli yang datang. Untuk mengundang minat pembeli para pedagang di Waru banyak yang bergantug pada jasa dukun atau kiai, sehingga mekanisme pasar di Waru mirip dengan mekanisme alam menurut para petani. Sementara dalam penelitian Mulkhan ditemukan bahwa masyarakat petani yang sangat bergantung pada alam identik dengan tradisi sinkretis meskipun mereka telah masuk ke dalam kelompok Islam murni.[52]

Selain kemungkinan di atas, juga tidak tertutup kemungkinan terdapatnya masyarakat NU di Waru yang tidak setuju dengan upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali. Kemungkinan itu bisa terjadi karena di Waru telah terjadi modernisasi yang mendorong rasionalisasi.

Makna Upacara Siklus Kehidupan dan Ziarah Makam Wali Bagi Masyarakat NU di Waru

Berdasarkan data tentang perbedaan masyarakat NU di Waru dalam memaknai upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali, telah ditemukan adanya tiga varian masyarakat NU; pertama, mereka yang tidak melakukan tradisi upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali kecuali untuk menghadiri undangan atau menjaga harmonisasi, kedua, mereka yang melakukan tradisi upacara siklus kehidupan berdasarkan pada pemahaman normatif terhadap teks-teks keagamaan, dan ketiga adalah mereka yang melakukannya berdasarkan pada keyakinan nenek moyang.

Merujuk tiga variasi pemahaman tersebut dan beberapa istilah untuk menyebut kelompok keagamaan, sebagaimana diuraikan di atas. Maka ketiga varian masyarakat NU di Waru, yang memaknai upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali secara berbeda, dapat dijelaskan melalui beberapa istilah berikut; NU-reformis, NU-tradisionalis normatif dan NU-tradisionalis sinkretis.[53]

1. NU-reformis

Jika melihat pada temuan yang dihasilkan dari penelitian ini, terkait dengan pelaksanaan upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali oleh masyarakat NU, maka secara kultural, yang tergolong ke dalam varian NU-reformis adalah mereka yang menyatakan dirinya sebagai orang NU, dan melakukan sesuatu yang biasa dilakukan oleh orang NU dalam ibadah mah}d}ah, seperti salat Subuh dengan membaca qunu>t, salat Tarawih dengan bilangan dua puluh rakaat dan membaca dhikr dengan suara keras setelah s}alat berjamaah. Akan tetapi mereka bersikap toleran dalam mengamalkan ajaran itu dan disesuaikan dengan kondisi yang terjadi.

Maksudnya, mereka bisa saja salat Subuh tanpa membaca doa qunu>t, salat Tarawih dengan bilangan delapan rakaat dan membaca dhikr dengan suara pelan setelah s}alat berjamaah. Semua itu tergantung pada lingkungan di mana mereka sedang berada. Mereka juga terkadang melakukan s}alat Jumat di masjid kalangan modernis, dan semua itu dilakukan tanpa masalah. Mereka juga sering melakukan interaksi dengan kalangan urban yang tinggal di wilayah perumahan (real estate) untuk bedialog tentang Islam sehingga wawasan mereka lebih terbuka dan menerima perbedaan.

Terkait dengan upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali, kelompok ini hanya melakukan upacara ‘aqiqah, khitan dan walimah pernikahan. Mereka tidak sepakat dengan upacara siklus kehidupan selain tiga upacara tersebut. Mereka juga tidak meyakini adanya manfaat dari pelaksanaan upacara siklus kehidupan, terutama terkait dengan upacara kelahiran dan kematian. Mendoakan orang tua mereka lakukan pada setiap habis salat atau dengan mengunjungi makamnya, tidak dengan mengadakan upacara tahlil. Mereka juga kurang yakin dengan istilah barakah pada makam wali. Meskipun demikian, mereka tetap menghadiri undangan upacara siklus kehidupan dan ikut dalam rombongan ziarah makam wali jika ada masyarakat sekitar yang mengajaknya. Hal itu mereka lakukan sebagai sikap penghormatan kepada yang lainnya agar tetap terjaga harmonisasi atau kerukunan bertetangga.

Penolakan mereka terhadap upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali didasari oleh keyakinan mereka bahwa praktik upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali adalah termasuk dalam kategori bid‘ah. Dalam memahami konsep bid‘ah, mereka tidak menyandarkan pada pendapat ulama NU, tetapi pada H}adi>th yang berbicara tentang bid‘ah.

Kehadiran mereka pada acara upacara siklus kehidupan memiliki tujuan untuk menghormati tetangga agat tetap terjaga keharmonisan dan kerukunan bertetangga. Menurut mereka, kehadiran dengan niat demikian itu tidak termasuk dalam kategori bidah.

Sikap semacam ini bisa dipahami, karena seseorang jika memiliki tujuan dan kebutuhan yang bisa diperoleh dari sebuah masyarakat, ia akan memilih untuk menetap dengan mengikuti arus. Ia kemudian menggantikan identitas pribadi untuk tujuan dan tindakan kelompok. Gejala semacam ini merupakan bagian dari dampak sosial terhadap psikologi seseorang, di mana seseorang yang hidup bermasyarakat akan ditekan oleh masyarakatnya untuk menentukan di antara dua pilihan; tetap bergabung dengan kelompok yang ada di sekitarnya dengan mengikuti arus atau dengan keluar dari kelompok tetapi melawan arus.

Dilihat dari latar belakang pendidikan keagamaan, mereka yang tergolong dalam varian ini pernah belajar di lembaga pendidikan modern atau pendidikan pesantren modern. Pendidikan pesantren tradisional kurang begitu diminati karena dianggap sudah tidak relevan dengan tuntutan zaman. Mereka juga kurang berminat untuk membaca kitab-kitab kuning klasik yang biasa dijadikan rujukan oleh kalangan tradisionalis di pesantren-pesantren. Wawasan tentang Islam lebih banyak mereka peroleh dari dialog intensif dengan kalangan urban yang tinggal di wilayah perumahan. Mereka kurang suka dengan acara kajian kitab kuning yang diadakan di masjid perkampungan karena tidak ada sesi dialog.

Secara ideologis, mereka yang tergolong ke dalam kelompok ini dapat dibagi ke dalam dua kategori; pertama, mereka yang sebelum masuk ke dalam organisasi NU adalah termasuk penganut paham keagamaan reformis. Hanya saja, karena mereka saat ini menetap di tengah masyarakat NU, mereka memilih untuk mengikuti arus dengan masuk ke dalam organisasi NU dan melakukan beberapa praktik keagamaan yang menjadi ciri khas orang NU. Kedua, mereka yang sejak kecil sudah menjadi anggota NU, karena orang tua mereka adalah orang NU, tetapi setelah mengecam pendidikan di lembaga pendidikan modern, mereka kemudian memiliki paham keagamaan yang berbeda dengan paham keagamaan orang NU kebanyakan.

Mereka yang tergolong ke dalam NU-reformis ini oleh masyarakat NU di Waru disebut dengan istilah orang NU setengah hati atau NU murtad. NU setengah hati adalah mereka yang sebelum masuk ke dalam organisasi NU termasuk penganut paham keagamaan reformis, hanya saja karena menetap di tengah masyarakat NU, mereka memilih untuk mengikuti arus dengan masuk ke dalam organisasi NU dan melakukan beberapa praktik keagamaan yang menjadi ciri khas orang NU. Sementara NU murtad adalah mereka yang sejak kecil sudah menjadi anggota NU, karena orang tua mereka adalah orang NU, tetapi setelah mengecam pendidikan di lembaga pendidikan modern, mereka kemudian memiliki paham keagamaan yang berbeda dengan paham keagamaan orang NU kebanyakan.

2. NU-tradisionalis normatif

Dari hasil penelitian, mereka yang termasuk dalam varian ini adalah mereka yang konsisten dalam mengamalkan ajaran Islam tradisional secara ketat, penuh disiplin dan tanpa kompromi. S}ala>t Subuh dilakukan dengan membaca qunu>t, jika tidak membaca qunu>t mereka menggantinya dengan sujud sahwi>. Mereka melakukan salat Tarawih dengan bilangan dua puluh rakaat, membaca dhikr sehabis s}alat dengan mengeraskan suara, serta melakukan ritual dhikr dan doa yang biasa disebut dengan istigha>thah. Salat Jumat di masjid NU dan menolak pelaksanaan salat I>d di lapangan.

Mereka melakukan upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali secara normatif, bahkan mengatakan bahwa menolak tahlil adalah kafir karena sama dengan menolak membaca kalimat tauhid la> ila>ha illalla>h. Mereka meyakini bahwa kekuasaan Tuhan sangat dominan dalam kehidupan ini, sehingga upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali merupakan salah satu sarana untuk merayu Tuhan agar memberikan berkahnya kepada hambaNya.

Dalam pelaksanaan upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali, mereka menyesuaikan dengan pendapat ulama NU, atau dengan merujuk pada beberapa teks keagamaan, seperti al-Qur’a>n, H}adi>th, kitab-kitab yang membahas tentang praktik upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali secara normatif. Mereka berusaha menghindar dari pemahaman nenek moyang yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Mereka juga tidak lagi menggunakan istilah slametan untuk upacara siklus, tetapi menggunakan istilah wali>mah. Tingkeban, mereka sebut dengan istilah wali>mat al h}aml, pasaran, mereka sebut dengan istilah wali>mat al tasmi>yah, akekah, mereka sebut dengan istilah wali>mat al ‘aqi>qah, sunatan, mereka sebut dengan istilah wali>mat al khita>n, pernikahan, mereka sebut dengan istilah wali>mat al ‘aru>sh.

Dalam pelaksanaan upacara tingkeban misalnya, mereka tidak memilih bulan ketujuh, tetapi bulan keempat dari masa kehamilan, sesuai dengan penjelasan al-Qur’a>n dan H}adi>th yang berbicara tentang proses penciptaan manusia, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn Kathi>r (w. 1373 M) dalam tafsirnya, yang merujuk pada H}adi>th yang diriwayatkan oleh al-Bukha>ri> (w. 870 M), tentang proses pembentukan segumpal darah dari air mani adalah empat puluh hari. Dari segumpal darah menjadi segumpal daging juga empat puluh hari. Dari segumpal daging itu kemudian membentuk suatu wujud manusia selama empat puluh hari pula. Pada saat inilah malaikat diutus oleh Allah untuk meniupkan ruh ke dalam tubuh calon bayi sambil menetapkan rezeki, ajal, akhlaq, jenis kelamin. Semua itu berjumlah 120 hari (bulan keempat), bukan pada bulan ketiga atau ketujuh.

Terkait dengan makanan yang disediakan, mereka tidak menjadikan rujak dari sabut kelapa sebagai jenis makanan yang wajib dihidangkan. Rujak dimaknai sebagai tradisi yang dilakukan secara turun temurun. Rujak dibuat dalam rangka menghormati orang tua dan juga sebagai simbol untuk menjelaskan kepada para hadirin bahwa acara yang berlangsung adalah tingkeban. Artinya, rujak boleh ada dan boleh tidak ada, karena hanya sebagai tradisi (a>da>t).

Dalam melakukan upacara pasca kelahiran, mereka lebih memilih beberapa upacara yang sangat dianjurkan oleh Islam, seperti ‘aqi>qah yang digabung dengan pemberian nama dan khitan. Mereka kurang berminat untuk melakukan upacara babaran.

Ketika hendak memberi nama untuk anak yang baru lahir, mereka merujuk pada nama-nama Islam, dengan berkonsultasi kepada tokoh agama atau mencari dalam kitab-kitab keagamaan. Pada umumnya, mereka mencari nama yang diambil dari bahasa Arab. Meskipun telah menggunakan kosa kata Arab modern, tetapi nuansa doanya masih kentara.

Mereka juga tidak mengkaitkan hari khitan dengan tanggal kelahiran. Semua hari, menurut mereka, adalah baik. Mereka juga cenderung menggabungkan antara upacara pemberian nama, akikah dan khitan. Di samping lebih menghemat biaya, juga merujuk pada yang pernah dilakukan oleh Nabi terhadap cucunya H}asan dan H}usyn.

Mereka juga melakukan upacara perkawinan dan kematian sesuai dengan siklusnya, tujuh hari dari kematian, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari. Dalam melakukan upacara tahlil, yang terpenting adalah doa, bukan makanan yang disajikan. Mereka juga melakukan praktik ziarah makam wali dengan niat mendoakan wali yang dikunjungi, mengambil pelajaran tentang jasa perjuangan wali dalam menyebarkan ajaran Islam, mengingat kematian dan bertawassul. Dalam melakukan tawassul, mereka tetap berpegang pada ajaran yang diterima dari para ulama NU, tidak meminta kepada wali, tetapi kepada Allah.

Terkait dengan konsep bid’ah, mereka meyakini bahwa praktik upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali tidak termasuk dalam kategori bid‘ah. Dalam memahami konsep bid‘ah, mereka merujuk pada beberapa pemikiran ulama tradisionalis.

Dilihat dari latar belakang pendidikan, mereka yang tergolong dalam varian ini adalah para alumnus pondok pesantren tradisional yang diasuh oleh ulama NU. Mereka sangat menyukai kajian kitab fikih dan tasawuf, menghormati kiai dan ulama.

Mereka yang tergolong ke dalam kelompok NU-tradisionalis normatif ini oleh masyarakat NU di Waru disebut dengan istilah orang NU sejati.

3. NU-tradisionalis sinkretis

Mereka yang tergolong ke dalam kelompok ini secara ideologis sama seperti kelompok kedua. Hanya saja, dalam bidang akidah atau keyakinan, mereka masih dipenuhi oleh kepercayaan yang bersifat khura>fa>t. Jika menggunakan pendekatan taksonomi Geertz tentang santri, priyayi dan abangan, kelompok ini lebih dekat kepada abangan, karena mempercayai beberapa hal yang merupakan peninggalan dari kepercayaan nenek moyang.

Dalam pelaksanaan upacara kehamilan (tingkeban), mereka memilih bulan ketujuh sebagaimana para pendahulunya. seperti meyakini bahayanya membunuh binatang ketika istri sedang hamil, pentingnya rujak untuk hidangan yang harus disajikan pada saat upacara tingkeban.

Mereka juga meyakini adanya hubungan antara kedalaman tempat menyimpan ari-ari dengan masa tumbuhnya gigi. Mereka sangat menghindari proses khitan yang bertepatan dengan hari kelahiran, karena diyakini dapat mendatangkan bahaya bagi yang dikhitan. Meyakini pentingnya penanggalan Jawa untuk menetapkan hari pernikahan. Mereka juga meyakini adanya hubungan antara mandinya pengantin di pagi hari dengan turunnya hujan di malam resepsi pernikahan. Mereka juga meyakini khasiat dari darah yang keluar dari hubungan suami istri pada malam pertama untuk obat anak yang sakit.

Dalam pelaksanaan upacara kematian, mereka sangat menekankan model makanan yang disajikan, seperti apem. Dalam melakukan tradisi ziarah makam wali, mereka cenderung untuk meminta kepada wali yang bersangkutan. Meyakini keutamaan dari wali yang dapat mendatangkan kekayaan, seperti Sunan Bungkul yang diyakini dapat mendatangkan rezeki. Mereka juga meyakini bahwa dalam melakukan ziarah makam wali, jika tidak mampir ke Sunan Bungkul akan mendapatkan celana di tengah perjalanan.

Jadi, mereka yang tergolong ke dalam varian NU-tradisionalis sinkretis ini cenderung melakukan upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali dengan disertai oleh keyakinan yang didapat dari nenek moyang. Semua itu disebabkan oleh minimnya pemahaman mereka terhadap ajaran normatif Islam, sehingga tidak dapat memahami mana yang Islami mana yang tidak. Mana yang benar-benar memiliki landasan normatif dan mana yang tidak.

Dari hasil penelitian, mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah mereka yang tidak berpendidikan agama formal (pesantren atau madrasah). Mereka juga tidak aktif dalam kegiatan pengajian di masjid. Pemahaman agama yang minim itulah membuat mereka tidak bisa menduduki jabatan struktural NU di Waru.

Mereka menjadi anggota NU karena faktor keturunan dan lingkungan. Faktor keluarga yang bependidikan agama rendah membuat perilaku keagamaannya didasarkan pada keyakinan orang tua, bukan pada pemahaman keagamaan. Kelompok ini mudah terlibat dalam kegiatan yang bersifat sinkretis, percaya kepada jasa dukun dan kekuatan gaib lainnya.

Mereka yang tergolong ke dalam kelompok ini oleh masyarakat NU di Waru disebut dengan istilah NU abangan.

Kesimpulan

Dalam kajian tentang praktik keagamaan yang tidak memiliki landasan normatif Islam (al-Qur’a>n, H}adi>th, maupun Ar para sahabat Nabi), ditemukan beberapa istilah, di antaranya adalah Islam lokal lawan dari Islam universal, Islam praktis lawan dari Islam tekstual, Islam rakyat lawan dari Islam ulama, Islam simbolik lawan dari Islam normatif, Islam populer lawan dari Islam ofisial, tradisi kecil lawan dari tradisi besar dan Islam nyata lawan dari Islam normatif.

Dalam menyikapi praktik keagamaan populer, sebagian umat Islam bersikap menerima dan sebagian yang lain menolaknya. Kecenderungan untuk menolak praktik keagamaan populer memunculkan gerakan purifikasi agama dan pengikutnya disebut dengan istilah Islam puritan. Argumentasi yang dijadikan alasan dalam upaya melakukan penolakan terhadap praktik keagamaan populer adalah bid‘ah. Di antara tokoh yang menggunakan konsep bid‘ah untuk menyoroti praktik keagamaan populer adalah Ibn Taymi>yah (w. 1328) dan Muh}ammad bin ‘Abd al-Wahha>b (w. 1791).

Meskipun mendapat serangan hebat dari Ibn Taymi>yah dan Muh}ammad bin ‘Abd al-Wahha>b, beberapa praktik keagamaan yang diistilahkan dengan sebutan Islam populer tetap saja semarak dilakukan oleh beberapa umat Islam, termasuk oleh masyarakat NU di Waru.

Dari beberapa penelitian terkait dengan konsep keagamaan masyarakat Islam pelaku tradisi keagamaan populer, ditemukan adanya tipologi, yaitu Islam yang bercorak sinkretis, akulturatif, lokal, kolaboratif, dan Islam kreatif. Lima tipologi di atas setidaknya memberikan kesimpulan bahwa praktik keagamaan populer yang dilakukan oleh masyarakat NU di Waru bukan murni tradisi Islam, akan tetapi merupakan tradisi lokal yang diberi muatan Islam atau hasil perpaduan antara tradisi lokal dengan tradisi Islam.

Menurut teori, tradisi keagamaan populer tersebut akan semakin berkurang bahkan hilang sama-sekali jika terjadi modernisasi dalam sebuah masyarakat, pembangunan sekolah, peningkatan budaya baca dan tulis serta peningkatan pola hidup rasional. Artinya ada hubungan yang erat antara modernisasi dengan penolakan tradisi keagamaan lokal. Akan tetapi, kajian praktik keagamaan populer dalam penelitian ini menghasilkan sebuah temuan bahwa praktik keagamaan populer tetap saja dilakukan oleh masyarakat NU yang hidup di tengah arus modernisasi. Dalam tradisi itu ditemukan banyak unsur yang merujuk pada sumber tekstual, seperti al-Qur’a>n, H}adi>th, A>tha>r sahabat atau pendapat ulama yang tertuang dalam karya-karya mereka. Jika tidak secara tekstual, tradisi itu dilakukan atas dasar hasil interpretasi terhadap al-Qur’a>n atau H}adi>th. Mereka pun tidak mengabaikan kajian tentang bid‘ah untuk melihat sebuah tradisi keagamaan.

Jika mengikuti teori tentang modernisasi yang mendorong purifikasi, apa yang dilakukan oleh masyarakat NU di Waru dalam bentuk tradisi upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali adalah memang diyakini sebagai tradisi besar Islam atau Islam normatif, berbeda dengan tesis Mulder, Beatty, Gellner, Jandra, Waardenburg, Redfield, Moller, sehingga tipologi Islam sinkretis, akulturatif, lokal, kolaboratif dan Islam kreatif untuk konsep keagamaan masyarakat NU tidak relevan. Jika ditemukan unsur sinkretisme dalam pelaksanaan tradisi upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali oleh beberapa masyarakat NU adalah karena kelemahan pelaku praktik keagamaan dalam memahami landasan normatif dari beberapa tradisi terkait. Dengan demikian, yang lebih tepat untuk dikritisi bukanlah praktik upacara siklus kehidupan dan ziarah makam wali, akan tetapi beberapa kepercayaan yang mengarah pada perbuatan shirk.

Maka, penempatan tradisi Islam populer berlawanan dengan Islam ofisial harus dikritisi, karena memberikan arti bahwa beberapa praktik keagamaan yang diistilahkan dengan sebutan Islam populer adalah bukan merupakan tradisi Islam, sementara itu para pelakunya meyakini bahwa tradisi yang mereka lakukan adalah bagian dari tradisi Islam. Kedua tradisi tersebut (Islam ofisial dan Islam populer) dapat ditempatkan pada tingkat yang sama dengan sebutan apa saja tanpa mengkritisi yang lainnya, sehingga tidak ada yang dianggap paling Islami atau lebih dekat dengan Islam sejati. Versi-versi Islam sebagaimana telah disebutkan di atas, dapat disebut dengan sebutan apa saja tanpa mengkritisi yang lainnya, karena Islam populer atau Islam rakyat adalah wujud dari upaya masyarakat muslim dalam memahami Kitab suci dan H}adi>th Nabi. Tradisi keagamaan populer yang berkembang di kalangan umat Islam adalah bentuk dari hasil penafsiran khusus atas tradisi tekstual dalam merumuskan ibadah naratif, ritual dan sosial. Suatu tradisi keagamaan populer yang dilakukan dengan cara kedua itu dapat disebut dengan Islam ofisial (official Islam), karena hasil interpretasi terhadap teks-teks keagamaan merupakan bagian dari landasan normatif Islam.

Penulis sepakat dengan Adams yang menawarkan dua pendekatan untuk digunakan dalam melakukan kajian tradisi keagamaan. Dua pendekatan itu adalah pengalaman batin (inward experience) dan perilaku eksternal (outward behaviour). Inward experience adalah dimensi batin dalam agama, suatu wilayah kesadaran, perasaan dan tanggung jawab yang besifat personal atau tidak dapat dikomunikasikan. Area ini hanya dapat diakses secara parsial oleh seseorang dan sering tidak dapat diakses keseluruhannya. Sementara outward behaviour adalah manifestasi eksternal agama yang dapat diamati dan dikomunikasikan. Dua pendekatan yang ditawarkan oleh Adams ini oleh Streng disebut dengan istilah pengalaman objektif (objective experience) untuk outward behaviour dan pengalaman subjektif (subjective experience) untuk inward experience. Menurutnya, hakekat agama terletak pada pengalaman keagamaan seseorang, sehingga agama dipahami secara berbeda oleh masing-masing pemeluknya sesuai dengan perasaan terdalam (deepest personal feelings).

Maka penelitian tentang Islam, terutama terkait dengan suatu praktik keagamaan, perlu dilakukan dari dua sudut, yaitu sudut normatif dan sudut nyata. Untuk meneliti masyarakat Islam dari sudut normatif saja tidaklah cukup, sebab apa yang dikemukakan oleh agama secara normatif dengan apa yang dilakukan oleh umat beragama, tidak pasti identik. Dengan kata lain, perlu memperhatikan Islam nyata, dengan melibatkan diri dalam lapangan kerja berkelanjutan.

Secara teoritik, penelitian ini menyimpulkan bahwa peran struktur sosial, lingkungan kerja dan pendidikan menentukan pola pemahaman dan perilaku keagamaan seseorang. Ada hubungan erat antara kadar pendidikan agama tinggi dan menghilangnya praktik keagamaan populer. Semakin tinggi tingkat pendidikan agama seseorang, semakin menjauh dari praktik kegamaan populer yang tidak memiliki landasan normatif dari ajaran Islam. Artinya, pendidikan agama tinggi mendorong purifikasi.

Penelitian yang dilakukan di Waru ini menggambarkan bagaimana masyarakat NU di Waru yang berpendidikan agama tinggi melakukan upacara kelahiran dan kematian secara normatif dan tidak melakukan praktik yang dilakukan oleh mereka yang abangan. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa masyarakat NU di Waru yang berpendidikan agama tinggi terbagi menjadi dua: tradisionalis dan reformis. Mereka ini sama-sama memahami praktik keagamaan populer melalui teks-teks keagamaan normatif.

Daftar Pustaka

al-Asqala>ni>, Ibn H}ajar. Fath} al Ba>ri>, vol. 17. Kairo: Da>r Abi> H}ayya>n, 1996.

al-Kha>lidi> (tah}qi>q), Sunan Abi> Da>wud, vol. 3. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1996.

al-Kha>t}ibi>, Muh}ammad Khali>l. Khut}bat al Rasu>l. Kairo: Da>r al-Fa>d}ilah, t.t.

Al-Nasa>’i>, Sunan, vol. 3. Beirut: Da>r al-Basha>’ir al-Isla>mi>yah, t.t.

al-Sha>t}ibi>. al I‘tis}a>m. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiah, 1991.

Apter, David E. The Politics of Modernization. Chicago: Chicago University Press, 1965.

Asror, Ahidul. Islam dalam Tradisi Lokal. Disertasi, Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2006.

Beatty, Andrew. Variasi Agama di Jawa, ter. Achmad Fedyani Saefuddin. Jakarta: Raja Grafindo, 2001.

Bendix, Reinhart. Nation Building and Citizenship. Garden City: Anchor Book, 1964.

Berger, Peter. Facing Up to Modernity; Excursions in Society, Politics, and Religion. New York : Basic Book, 1977.

Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 1. Jakarta: Ichtiar Baru van Hove, 1996.

Fealy, dan Barton, Greg. Tradisionalisme Radikal. NU-Negara. Yogyakarta: LKiS, 1997.

Fealy, Greg. Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia. Clayton: Monach University, 1996.

Fuad, Muh}ammad (tah}qi>q), Sunan Ibn Ma>jah, vol. 1. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, t.t.

Geertz, Clifford. Santri, Priyayi, Abangan dalam Masyarakat Jawa, ter. Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1981.

________. The Interpretation of Culture. London: Sage Publication, 1970.

Gellner, Ernest. Muslim Society. Cambridge: Cambridge University Press, 1981.

Hakim, Lukman. Perlawanan Islam Kultural. Surabaya: Pustaka Eureka, 2004.

Halpen, Manfred. “Toward Further Modernization of the Study of New Nations” dalam World Politics, Vol. 17. Oktober 1996.

Hassan, Riaz. Islam dari Konservatisme sampai Fundamentalisme. Jakarta: Rajawali, 1985.

Hourani, Albert. A History of the Arab People. Cambridge: The Belknap Press, 1991.

Ibn al-H}ajj. al Madkhal, vol. 2. Kairo: al-Mat}ba’ah al-Mis}riyah bi al Azhar, 1929.

Ibn al-Jawzi>. Mana>qib Ami>r al Mu’mini>n ‘Umar bin al-Khat}t}a>b. Beirut: t.p., t.t.

________. Tabli>s Ibli>s. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiah, 1994.

Ibn Taymi>yah. Majmu>‘ Fata>wa>, vol. 1. Kairo: t.p., t.t.

Isma’il, Faisal. Islamic Traditionalism in Indonesia. Jakarta: PPPKHUB Puslitbang DEPAG RI, t.t.

________. Pijar-pijar Islam. Pergumulan Kultur dan Struktur. Yogyakarta: LESFI, 2003.

Jainuri, Ahmad. Orientasi Ideologi Gerakan Islam. Surabaya: LPAM, 2004.

Jandra, Mifedwill. “Islam dan Budaya Lokal”, Profetika, 2 (2000).

Lukens-Bull, Ronald Alan. Jihad ala Pesantren. Yogyakarta: Gama Media, 2004.

Marijan, Kacung. Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992.

Martin, Richard C. (ed.) Approaches to Islam in Religious Studies. USA: Arizona State University, 1985.

Minhaji, Akh. Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958). Yogyakarta: Kurnia Salam Semesta Press, 2001.

Moller, Andre. Ramadan di Jawa, ter. Salomo Simanungkalit. Jakarta: Nalar, 2005.

Mughni, Syafiq A. “Konsep Wali dalam Islam”, Jurnal IAIN Sunan Ampel Surabaya, 14. Desember 1998 – Februari 1999.

Muhaimin. The Islamic Tradition of Cirebon: Ibadat and Adat Among Javanese Muslims. Jakarta: RRDT, 2004.

Muktad, Asep Saeful. Komunikasi Politik NU. Yogyakarta: LP3ES, 2004.

Mulder, Niels. Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.

________. Mistisisme Jawa, Ideologi Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2001.

Mulkhan, Munir. Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000.

________. Runtuhnya Mitos Politik Santri. Yogyakarta: SI Press, 1994.

Nasr, Seyyed Hossein. Traditional Islam in the Modern World. London: Kegan Paul International, 1987.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1996.

Nur Syam. Tradisi Islam Lokal dalam Masyarakat Palang Tuban Jawa Timur. Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, 2002.

Qomar, Mujamil. NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam. Bandung: IKAPI, 2002.

Redfield, Robert. Peasant Society and Culture: An Anthropological Approach to Civilization. Chicago: the University of Chicago Press, 1956.

S}ah}}i>h} Muslim. Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.

S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, vol. 3. Istanbul: al-Maktabah al-Isla>mi>yah, t.t.

Saleh, Fauzan. Teologi Pembaharuan. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004.

Siraj, Said Agil. Ahlussunah wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah. Yogyakarta: LKPSM, 1997.

Syafaq, Hammis. Masyarakat Islam Tradisional di Tengah Arus Modernisasi. Surabaya: Lembaga Penelitian IAIN Sunan Ampel, 2007.

van Bruinessen, Martin. NU, Tradisi, Relasi-relasi Kekuasaan. Yogyakarta: LKis, 1997.

Waardenburg, J. D. J. “Official and Popular Religion as a Problem in Islamic Studies” dalam Official and Popular Religion, ed. Pieter H. Vrijhof and Jacques Waardenburg. Paris: Mouton Publisher, 1979.

Woodward, Mark R. Islam Jawa, ter. Hairus Salim. Yogyakarta: UMI, 1985.

Zahro, Ahmad. Tradisi Intelektual NU. Yogyakarta: LKiS, 2004.

Zen, Fathurin. NU Politik: Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS, 2004.



[1] Islam populer adalah praktik keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Islam tetapi tidak memiliki landasan normatif hukum dari Islam. Lawan dari Islam populer adalah Islam ofisial, praktik keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Islam dan memiliki landasan normatif hukum dari Islam. J. D. J. Waardenburg, “Official and Popular Religion as a Problem in Islamic Studies” dalam Official and Popular Religion, ed. Pieter H. Vrijhof and Jacques Waardenburg (Paris: Mouton Publisher, 1979), 340-341.

[2] Approaches to Islam in Religious Studies, ed. Richard C. Martin (USA: Arizona State University, 1985), 61.

[3] Wali adalah orang yang begitu dekat dengan Allah atau mencintai Allah, sehingga Allah mencintainya. Karena mendapat cinta Allah, maka wali diberi beberapa kelebihan oleh Allah, di antaranya berupa kara>mah (kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada seorang wali di luar batas kemampuan manusia biasa). Untuk pembahasan lebih detail tentang wali, bisa merujuk pada tulisan Syafiq A. Mughni, “Konsep Wali dalam Islam”, Jurnal IAIN Sunan Ampel Surabaya, 14 (Desember 1998 – Februari 1999), 1-12.

[4] Frederick M. Denny, “Islamic Ritual, Perspective and Theories”, dalam Approaches to Islam in Religious Studies, ed. Richard C. Martin, 61.

[5] Niels Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999).

[6] Andrew Beatty, Variasi Agama di Jawa, ter. Achmad Fedyani Saefuddin (Jakarta: Raja Grafindo, 2001).

[7] Ernest Gellner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1981).

[8] Mifedwill Jandra, “Islam dan Budaya Lokal”, Profetika, 2 (2000).

[9] Waardenburg, Official and Popular Religion.

[10] Robert Redfield, Peasant Society and Culture: An Anthropological Approach to Civilization (Chicago: the University of Chicago Press, 1956).

[11] Uraian panjang lebar tentang istilah-istilah di atas, dapat dibaca dalam tulisan Andre Moller berjudul Ramadan di Jawa, ter. Salomo Simanungkalit (Jakarta: Nalar, 2005), 40-41.

[12] Pengikut gerakan ini disebut kaum puritan. Mereka menginginkan adanya pemurnian ajaran Islam dari unsur budaya lokal. Baca Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), 109; Kelompok puritan mengajak untuk kembali kepada al-Qur’a>n dan H}adi>th dalam melakukan praktik keagamaan, karena keduanya merupakan sumber pokok ajaran Islam dan mengikat untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, segala bentuk praktik keagamaan lokal yang tidak didapatkan sumbernya dari al-Qur’a>n dan H}adi>th harus ditolak, karena termasuk dalam kategori bid‘ah yang harus ditinggalkan. Ahmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam (Surabaya: LPAM, 2004), 73.

[13] Bid‘ah adalah sebuah konsep yang digunakan untuk menyebut segala bentuk inovasi dalam hal agama, mencakup ibadah, adat istiadat dan dogma, yang belum pernah dipraktikkan oleh Nabi Muh}ammad saw sebelumnya. Lihat Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 1 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hove, 1996), 217. Konsep bid‘ah masih dalam perdebatan di antara para ulama, dan di dalam disertasi ini konsep bid‘ah akan dibahas lebih jauh pada bab berikutnya.

[14] Selain Ibn Taymi>yah, ulama yang menolak tradisi maulid Nabi Muh}ammad saw dan menyebutnya sebagai bid‘ah adalah Ibn al-H}ajj. Dalam kitabnya, al Madkhal, ia mengecam peringatan maulid yang menurut pengamatannya selalu melibatkan aktifitas hiburan. Ibn al-H}ajj (w. 1864) menilai bahwa dengan memasukkan unsur hiburan ke dalam peringatan maulid, maka peringatan tersebut telah berubah fungsi dari media untuk mengagungkan Rasu>lulla>h saw menjadi media untuk melakukan perbuatan maksiat. Ibn al-H}ajj, al Madkhal, vol. 2 (Kairo: al-Mat}ba’ah al-Mis}riyah bi al Azhar, 1929), 11-13.

[15] Ibn Taymi>yah, Majmu>‘ Fata>wa>, vol. 1 (Kairo: t.p., t.t), 40.

[16] Albert Hourani, A History of the Arab People (Cambridge: The Belknap Press, 1991), 181.

[17] Munir Mulkhan dalam penelitiannya menyebut gerakan purifikasi agama (Islam) di Indonesia sebagai Islam Murni. Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000).

[18] al-Kha>lidi> (tah}qi>q), Sunan Abi> Da>wud, vol. 3 (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), 206; H}adi>th ini juga diriwayatkan oleh Ibn Ma>jah. Lihat Muh}ammad Fuad (tah}qi>q), Sunan Ibn Ma>jah, vol. 1 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, t.t.), 15; oleh Ah}mad, dengan nomor indeks 16380 dan oleh al-Nasa>’i> dengan nomor indeks 4981. Lihat juga al-Sha>t}ibi>, al I‘tis}a>m (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiah, 1991), 54; Ibn al-Jawzi>, Tabli>s Ibli>s. (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiah, 1994), 20 dan dalam Muh}ammad Khali>l al-Kha>t}ibi>, Khut}bat al Rasu>l (Kairo: Da>r al-Fa>d}ilah, t.t.), 92. Status H}adi>th ini adalah s}ah}i>h}. H}adi>th lain adalah yang diriwayatkan oleh Muslim (875 M) dari Ja>bir bin ‘Abdulla>h al-Ans}a>ri>, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa Rasu>lulla>h mengatakan: “sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah al-Qur’a>n, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muh}ammad. Seburuk-buruk perkara adalah hal baru yang diada-adakan, dan setiap bid‘ah adalah sesat”. S}ah}}i>h} Muslim, vol. 3 (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), 11; H}adi>th ini juga diriwayatkan oleh Ibn Ma>jah dalam Sunan. Lihat Ibn Ma>jah, Sunan, vol. 1, 17; oleh Abu> Da>wud. Lihat al-Kha>lidi>, Sunan Abi> Da>wud, vol. 3 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah, 1996), 206, oleh al-Nasa>’i> (w. 915 M) dengan redaksi yang sedikit berbeda. Al-Nasa>’i>, Sunan, vol. 3 (Beirut: Da>r al-Basha>’ir al-Isla>mi>yah, t.t.), 188 dan oleh al-Da>ra>mi>, dengan nomor indeks 208. Status H}adi>th ini adalah s}ah}i>h}. Selain dua H}adi>th di atas, adalah H}adi>th yang diriwayatkan oleh al-Bukha>ri> (w. 870 M) dari ‘A>ishah yang secara eksplisit menyatakan bahwa Rasu>lulla>h saw bersabda: “barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu hal baru dalam urusan agama, di mana yang diada-adakan itu tidak termasuk agama, maka hal baru itu ditolak”. S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, vol. 3 (Istanbul: al-Maktabah al-Isla>mi>yah, t.t.), 167; lihat juga al-Sha>t}ibi>, al I‘tis}a>m, 52. H}adi>th ini juga dapat ditemukan dalam riwayat Abu> Da>wud. Lihat al-Kha>lidi>, Sunan Abi> Da>wud, vol. 3 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiah, 1996), 205, oleh Ibn Ma>jah, dengan nomor indeks 44, oleh Ah}mad, dengan nomor indeks 13815, oleh al-Da>rimi>, dengan nomor indeks 208. H}adi>th lain adalah yang diriwayatkan oleh Muslim (w. 875 M) dengan redaksi yang berbeda. S}ah}i>h} Muslim, vol. 5 (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), 132. H}adi>th yang diriwayatkan oleh Muslim itu juga dikutip oleh Ibn H}ajar al-Asqala>ni>, Fath} al Ba>ri>, vol. 17 (Kairo: Da>r Abi> H}ayya>n, 1996), 161. Status H}adi>th ini adalah s}ah}i>h}.

[19] Ibn al-Jawzi>, Mana>qib Ami>r al Mu’mini>n ‘Umar bin al-Khat}t}a>b (Beirut: t.p., t.t.), 65.

[20] Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi, 68; Greg Fealy, Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia (Clayton: Monach University, 1996), 165; Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996), 108; Faisal Isma’il, Pijar-pijar Islam. Pergumulan Kultur dan Struktur (Yogyakarta: LESFI, 2003), 159. Menurut kelompok tradisionalis, beberapa praktik keagamaan populer yang berkembang di masyarakat Islam Indonesia adalah masuk dalam kategori ‘urf yang diperbolehkan oleh agama. Jika tidak ditemukan dalam sumber otoritatif (al-Qur’a>n dan H}adi>th), masih dalam kategori bid‘ah h}asanah. Akh. Minhaji, Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958) (Yogyakarta: Kurnia Salam Semesta Press, 2001), 137.

[21] Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal. NU-Negara (Yogyakarta: LKiS, 1997); Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kekuasaan (Yogyakarta: LKis, 1997); Asep Saeful Muktad, Komunikasi Politik NU (Yogyakarta: LP3ES, 2004); Ronald Alan Lukens-Bull, Jihad ala Pesantren (Yogyakarta: Gama Media, 2004); Faisal Isma’il, Islamic Traditionalism in Indonesia (Jakarta: PPPKHUB Puslitbang DEPAG RI, t.t.).

[22] Lukman Hakim, Perlawanan Islam Kultural (Surabaya: Pustaka Eureka, 2004); K.H. Sahal Mahfudz, “Kata Pengantar”, dalam Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992); Fathurin Zen, NU Politik: Analisis Wacana (Yogyakarta: LKiS, 2004)., Mujamil Qomar, NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam (Bandung: IKAPI, 2002).

[23] Seyyed Hossein Nasr mencatat salah satu kriteria pola keagamaan tradisional adalah digunakannya konsep silisilah; mata rantai kehidupan dan pemikiran dalam dunia kaum tradisional untuk sampai pada sumber ajaran. Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World (London: Kegan Paul International, 1987), 13.

[24] Kacung Marijan, Quo Vadis NU, 22.

[25] Said Agil Siraj, Ahlussunah wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah (Yogyakarta: LKPSM, 1997). Ahmad Zahro dalam penelitiannya menyebutkan bahwa konsep ahl al sunnah wa al jama‘ah NU yang demikian itu mempengaruhi sikapnya untuk apresiatif terhadap budaya ziarah kubur para wali dan slametan. Lihat Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU (Yogyakarta: LKiS, 2004), 24-25.

[26] Di antara yang memunculkan konsep Islam sinkretis adalah Geertz, di mana ia mengatakan bahwa perilaku keagamaan masyarakat Islam Jawa lebih dekat kepada abangan dalam bentuk Islam sinkretis, yaitu sinkretisme antara budaya Jawa Islam dan Hindu/Budhisme. Clifford Geertz, Santri, Priyayi, Abangan dalam Masyarakat Jawa, ter. Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981). Selain Geertz adalah Beatty yang juga menyebut sinkretisme Islam masyarakat Jawa. Ia mengatakan, tradisi keagamaan masyarakat Islam Jawa yang tergambar dalam slametan adalah Islam sinkretis, atau tradisi keagamaan Hindu yang diislamkan. Baca Beatty, Variasi Agama di Jawa, ter. Achmad Fedyani Saefuddin (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).

[27] Menurut Woodward, tradisi keagamaan masyarakat Islam Jawa adalah tradisi Islami yang dipengaruhi oleh ajaran metafisika dan mistik sufi dalam bentuk Islam akulturatif, atau gabungan antara unsur lokal dan unsur Islam. Mark R. Woodward, Islam Jawa, ter. Hairus Salim (Yogyakarta: UMI, 1985). Sementara menurut Muhaimin, tradisi yang berkembang dalam masyarakat Islam Cirebon adalah sebagaimana tradisi keagamaan yang berkembang di belahan bumi masyarakat Islam lainnya, yaitu Islam yang sudah bersentuhan dengan budaya lokal. Muhaimin, The Islamic Tradition of Cirebon: Ibadat and Adat Among Javanese Muslims (Jakarta: RRDT, 2004).

[28] Menurut Mulder, Islam di Jawa adalah Islam lokal. Artinya, tradisi yang berkembang dalam masyarakat Jawa meskipun dari luar tampak Islam, tetapi hakikatnya adalah agama lokal Jawa. Niels Mulder, Mistisisme Jawa, Ideologi Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2001).

[29] Menurut Nur Syam, tradisi Islam lokal pada hakikatnya adalah hasil konstruksi kolaboratif di antara berbagai penggolongan sosio religius yang memang ada dan memiliki gerak dinamis seirama dengan perubahan-perubahan sosial yang terus terjadi. Nur Syam, Tradisi Islam Lokal dalam Masyarakat Palang Tuban Jawa Timur (Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, 2002).

[30] Ahidul Asror, Islam dalam Tradisi Lokal (Disertasi, Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2006).

[31] Data kantor kecamatan Waru.

[32] Dalam beberapa kajian tentang modernisasi disebutkan bahwa modernisasi, melibatkan transformasi semua sistem yang berlaku sebelumnya dalam masyarakat, baik sistem politik, sosial, ekonomi, intelektual dan keagamaan. Manfred Halpen, “Toward Further Modernization of the Study of New Nations” dalam World Politics, Vol. 17 (Oktober 1996), 173. David E. Apter, The Politics of Modernization (Chicago: Chicago University Press, 1965), 43-44., Reinhart Bendix, Nation Building and Citizenship (Garden City: Anchor Book, 1964), 6. Perubahan di bidang ekonomi dapat terjadi dalam bentuk industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi, munculnya kebutuhan-kebutuhan kapital dalam jumlah besar, pertumbuhan sains dan munculnya kelas-kelas baru dan mobilisasi sosial. Di bidang politik, perubahan ditandai dengan munculnya partai-partai politik, kesatuan-kesatuan atau kelompok-kelompok kepemudaan. Di bidang sosial, perubahan bisa dalam bentuk hubungan antar lawan jenis, komunikasi dan urbanisasi. Di bidang pemikiran keagamaan, perubahan bisa terjadi dalam bentuk difusi norma-norma keagamaan, sekularisasi dan rasionalisasi pemikiran keagamaan. Ahmed, Islam and Globalization, 6. Modernisasi juga dapat dilihat dari adanya pertumbuhan penduduk dan perpindahan dari kawasan pedesaan ke kawasan perkotaan (urbanisasi), pembagian kerja menjadi semakin rumit bersamaan dengan meningkatnya jumlah spesialisasi, di mana status cenderung berdasarkan pada prestasi, terjadi tuntutan untuk melakukan peningkatan status sosial wanita, gaya hidup dari model pedesaan menjadi gaya hidup orang kota, meningkatnya ketegangan hubungan antar anggota keluarga dan perubahan dari keluarga besar menjadi keluarga kecil dengan mengurangi jumlah anak. Gaya hidup keluarga semakin individualistik dan kesetiakawanan mulai berkurang, gemar mencari sesuatu sendiri, mempunyai kebutuhan untuk berprestasi dan gemar mencari sesuatu yang berbeda dari orang lain.

[33] Peter Berger, Facing Up to Modernity; Excursions in Society, Politics, and Religion (New York : Basic Book, 1977), 70-80.

[34] Clifford Geertz, Santri, Priyayi, Abangan dalam Masyarakat Jawa, ter. Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981).

[35] Riaz Hassan, Islam dari Konservatisme sampai Fundamentalisme (Jakarta: Rajawali, 1985).

[36] Mulkhan, Islam Murni, 9. Dalam tulisannya, Nur Syam juga mengungkap maraknya praktik keagamaan populer dalam masyarakat perkotaan. Nur Syam, Pergumulan Menemukan Identitas Islam di Tengah Tradisi Lokal dan Globalisasi (Makalah, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2004).

[37] Riaz Hassan, Islam dari Konservatisme sampai Fundamentalisme (Jakarta: Rajawali, 1985).

[38] Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari.

[39] Baca Beatty, Variasi Agama di Jawa, ter. Achmad Fedyani Saefuddin (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).

[40] Ernest Gellner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1981).

[41]Mifedwill Jandra, “Islam dan Budaya Lokal”, Profetika, 2 (2000).

[42] Waardenburg, Official and Popular Religion.

[43] Robert Redfield, Peasant Society and Culture: An Anthropological Approach to Civilization (Chicago: the University of Chicago Press, 1956).

[44] Andre Moller berjudul Ramadlan di Jawa, ter. Salomo Simanungkalit (Jakarta: Nalar, 2005).

[45] Mulkhan, Islam Murni, 2.

[46] Clifford Geertz, Santri, Priyayi, Abangan dalam Masyarakat Jawa, ter. Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981).

[47] Hassan, Islam dari Konservatisme.

[48] Denny, “Islamic Ritual, Perspectives and Theories”, 64.

[49] Geertz, The Interpretation of Culture (London: Sage Publication, 1970), 87.

[50] Ibid.

[51] Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri (Yogyakarta: SI Press, 1994), 11.

[52] Idem, Islam Murni.

[53] Penyebutan tiga varian ini tentunya terbatas pada pelaksanaan upacara siklus dan ziarah makam wali, karena dalam penelitian yang lain, yaitu tentang pemahaman masyarakat NU terhadap modernisasi, peneliti menemukan tiga varian yang berbeda dari masyarakat NU di Waru. Dalam memahami modernisasi, masyarakat NU dibagi menjadi tiga varian, NU-konservatif, NU-moderat dan NU-sekuler. Hammis Syafaq, Masyarakat Islam Tradisional di Tengah Arus Modernisasi (Surabaya: Lembaga Penelitian IAIN Sunan Ampel, 2007). Artinya, masyarakat NU tidak selamanya konservatif, karena ada yang progresif. Demikian juga dalam penelitian Ali Maschan Moesa, ditemukan tiga tipologi masyarakat NU dalam kaitannya dengan nasionalisme. Ada NU-fundamentalis, NU-moderat dan NU pragmatis. Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai (Yogyakarta: LKiS, 2007).






Read More......