KONTRAK POLITIK DALAM TINJAUAN ISLAM


KONTRAK POLITIK DALAM TINJAUAN ISLAM

*Hammis Syafaq

Pendahuluan

Dalam kehidupan berbangsa, manusia tidak lepas dari masalah politik. Dalam berpolitik, yang dikedepankan adalah kepentingan. Ketika kepentingan menjadi pemicu bagi sebuah gerakan politik, maka kepentingan pragmatis tidak dapat dihindarkan.

Kontrak politik adalah salah cara yang biasa digunakan oleh gerakan politik untuk memuluskan langkahnya dalam mencapai tujuan politiknya.

Dalam Islam, kontrak politik sudah pernah dikenalkan oleh Nabi. Hanya saja, masih banyak yang belum memahami bagaimana sesungguhnya kontrak politik yang pernah terjadi dalam sejarah Islam.

Oleh karena itu, dalam makalah singkat ini akan dijelaskan beberapa hal terkait dengan kontrak politik dalam Islam.


Kontrak Politik dalam Tinjauan Islam

Dalam ilmu politik, dikenal adanya kontrak sosial atau kontrak politik, sebuah teori yang menyatakan bahwa seseorang atau sekelompok manusia menyerahkan hak kekuasaan dirinya kepada seseorang atau lembaga yang disepakati, sehingga sumber kedaulatan Negara berasal dari rakyat dan memperoleh legitimasi melalui kontrak sosial antara dua pihak.[1]

Menurut Taha Huseyn, istilah kontrak politik dalam Islam sama dengan mubaya'ah yang ada dalam Islam, di mana di dalam Islam, pendirian Negara (nash'at al dawlah al islamiyyah) dan pengangkatan pemimpinnya, bergantung pada kontrak yang terjadi antara pemimpin (al hakim/al khalifah) dan rakyatnya (al mahkumin) melalui proses sosial yang disebut dengan bay'at dalam bentuk mubaya'ah.[2]

Ungkapan ini dibenarkan oleh Yusuf Musa dengan mengatakan bahwa dalam Islam hubungan antara penguasa dan rakyat didasarkan pada kontrak sosial yang disebut bay'at, yang berarti sumpah setia sebagai sumber legitimasi. Menurut Yusuf Musa, dengan menerima bay'at, penguasa dalam Islam itu demokratis sejauh ia memerintah dan mengeluarkan kebijakan yang selaras dengan hukum Islam seperti yang terkandung dalam al-Qur'an dan Hadith Nabi.[3]

Istilah mubaya'ah berasal dari kata ba'a, yang secara etimologis berarti menjual sesuatu, dan bermakna leksikal "memberikan sesuatu kepada orang lain dengan imbalan harga". Bay'at mengandung makna perjanjian; janji setia atau saling berjanji dan setia. Dalam pelaksanaan bay'at selalu melibatkan dua pihak secara suka rela, sehingga bay'at juga berarti berjabat tangan untuk bersedia menjawab akad transksi barang atau hak dan kewajiban, saling setia dan taat.[4]

Jadi bay'at secara istilah adalah ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang dimilikinya dan menyerahkan dirinya serta kesetiaannya kepada pihak kedua secara ikhlas dalam hal urusannya. Artinya dalam bay'at terjadi penyerahan hak dan pernyataan ketaatan atau kewajiban pihak pertama secara sukarela kepada pihak kedua. Pihak kedua juga punya hak dan kewajiban atas hak pihak pertama yang diterimanya. Jadi pelaksanaan hak dan kewajiban antara dua pihak berlangsung secara timbal balik.[5]

Istilah mubaya'ah adalah bentuk masdar dari kata baya'a – yubayi'u – mubaya'at, yang memiliki makna mengadakan perjanjian kepemimpinan. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa bay'at adalah perjanjian atas dasar kesetiaan, bahwa yang berbai'at menerima seseorang yang terpilih menjadi kepada Negara sebagai pemimpinnya dalam melaksanakan urusannya[6]

Bay'at adalah kontrak atau perjanjian berupa pengakuan atau sumpah setia kepada seorang khalifah, penguasa, raja atau pemimpin. Sumpah ini biasanya diberikan atas nama rakyat oleh tokoh suku, marga atau klan. Ketika wakil-wakil suku ini membuat perjanjian dengan penguasa, mereka melakukan hal itu dengan pengertian bahwa sepanjang penguasa bertanggung jawab atas rakyatnya, mereka setia kepadanya. Para wakil itu jika dalam Islam umumnya adalah ulama', pemimpin politik, dan terkadang ketua marga.[7]

Mubaya'ah dalam Islam berfungsi ganda. Pertama, sebagai proses pembentukan dan sebagai faktor dalam pengembangan kelompok sosial, kedua, sebagai faktor bagi karakteristik hubungan struktural dalam kelompok.

Secara normatif, mubaya'ah dalam Islam ditemukan dalam Surat al-Mumtahanah, ayat 12 yang berbunyi :"Ya ayyuha-l-nabiyyu, idha ja'aka al mu'minatu yubayi'naka 'ala an la yushrikna bi-llahi shay'an, wa la yasriqna, wa la yaznina, wa la yaqtulna awladahunna, wa la ya'tina bibuhtani yaftarinahu bayna aydihinna wa arjulihinna wa la ya'sinaka fi ma'rufi, fa bayi'hunna wa istaghfirlahuna-llah, inna-llaha ghafurun rahimun".[8]

Secara teologis, bay'a didasarkan pada keyakinan bahwa hidup bermasyarakat bagi manusia adalah suatu keharusan, karena manusia mempunyai tabi'at sosial, yang dalam istilah modern disebut dengan civilisasi.

Secara histories bay'at dalam Islam merujuk pada peristiwa bay'at yang terjadi pada periode Nabi tahun 621 dan 622 M, yaitu bay'at antara Nabi dengan penduduk Madinah, di mana pada tahun 621 penduduk Madinah menyatakan masuk Islam dan membai'at Nabi. Mereka berikrar bahwa mereka tidak akan menyembah selain Allah, akan meninggalkan segala perbuatan jahat dan akan mentaati RasulNya dalam segala hal yang benar. Peristiwa itu disebut dengan bay'at 'aqabah pertama pada tahun 622, terjadi kontak sosial lagi antara Nabi dengan penduduk Madinah untuk yang kedua kalinya. Penduduk Madinah berjanji akan melindungi Nabi sebagaiman mereka melindungi keluarga mereka dan akan mentatai Nabi sebagai pemimpin mereka. Nabi pun berjanji kepada penduduk Madinah untuk hidup semati bersama mereka.[9] Dari kesepakatan yang dibuat oleh Nabi bersama penduduk Madinah itulah, Nabi kemudian memiliki kekuatan sosial politik. Pada tahun-tahun berikutnya, peristiwa bay'at juga terjadi antara Nabi dengan penduduk Makkah ketika kota itu ditaklukkan. Pada masa khulafa' al-Rashidin, peristiwa bay'at juga terjadi dalam rangka pemilihan seorang khalifah, mereka dipilih oleh umat Islam dengan cara bay'at dalam memposisikan diri mereka sebagai khalifah.[10]

Fakta di atas menunjukkan bahwa antara Nabi dan penduduk Madinah telah terjadi "fakta persekutuan", karena kedua pihak mencapai kesepakatan supaya saling menjaga dan melindungi keselamatan bersama. Dalam bay'at kedua tergambar adanya penyerahan hak kekuasaan diri dari peserta bay'at kepada Nabi yang mereka akui sebagai pemimpin mereka.

Fakta-fakta sejarah tersebut di atas menunjukkan, bahwa praktek kontrak sosial telah dilakukan oleh umat Islam generasi pertama. Peristiwa bay'at ini kemudian dijadikan oleh para ahli fiqh dari kalangan Sunni sebagai salah satu prinsip umum teori pemikiran politik Islam dalam pengangkatan seorang pemimpin.

Karena teori ini melibatkan orang banyak, dan memunculkan kesepakatan bersama, maka seorang pemimpin dipilih langsung oleh rakyat, dan menjalankan kepemimpinannya berdasarkan pada kesepakatan rakyat, dan demi kepentingan rakyat, sehingga rakyat berhak untuk melepaskan jabatan kepemimpinannya kapan saja jika dikehendaki jika sang pemimpin melanggar kesepakatan kontrak.[11]

Dengan begitu dalam pemerintahan Islam, seorang pemimpin bukan sebagai sumber kekuasaan, akan tetapi hanya sebagai pemegang mandat yang dibebankan kepadanya oleh rakyat untuk menjalankan program Negara. Di sini kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, dan pemimpin selalu berada di bawah pengawasan rakyat.[12] Jadi umat sebagai sumber kekuasaan dan hubungan antar rakyat dengan penguasa dilakukan dengan kontrak yang disebut dengan mubaya'ah, [13]

Dalam teori mubaya'ah ini rakyat harus patuh kepada kesepakatan yang dihasilkan dalam mubaya'ah. Pelanggaran terhadap hasil mubaya'ah sama hukumnya dengan memberontak kepada pemerintahan yang sah, sehingga pelakunya boleh diperangi, karena dianggap sebagai provokator, yang bisa memecah belah kesatuan umat.[14]

Dalam menetapkan seorang pemimpin melalui proses bay'at, dalam Islam dilakukan oleh ahlu al hall wa al 'aqd, sebagai wakil umat. Mereka mengadakan kontrak sosial dengan kepada Negara terpilih atas dasar kesetiaan dan ketaatan kepadanya selama pemimpin tadi tidak melakukan maksiat. Karena itu, kepala Negara yang terpilih melalui kontrak sosial harus melaksanakan haknya dalam menjalankan undang-undang dan kewajiban-kewajibannya untuk mewujudkan keadilan sesuai dengan ketentutan al-Qu'ran dan Sunnah Nabi.[15]

Ahl al hall wa al 'aqd adalah istilah yang dirumuskan oleh ulama' fiqh untuk sebutan bagi orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat Islam untuk menyuarakan hati nurani mereka.[16] Tugasnya adalah memilih khalifah, imam, Kepala Negara secara langsung. Karena itu, ahl al hall wa al ' a'qd oleh al-Mawardi disebut juga dengan ahl al ikhtiyar.[17]

Paradigma pemikiran ulama fiqh merumuskan istilah ahl al hall wa al 'aqd didasarkan pada system pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan oleh para tokoh Sahabat yang mewakili dua golongan, Ansar dan Muhajirin. Mereka ini oleh ulama fiqh diklaim sebagai ahl al hall wa al 'aqd yang bertindah sebagai wakil umat. Walaupun pemilihan pada masa Abu Bakar dan Ali bersifat spontan atas dasar tanggung jawab umum terhadap kelangsungan keutuhan umat dan agama, namun kedua tokoh ini mendapat pengakuan dari umat.[18]

Jadi ahl al hall wa al 'aqd adalah orang-orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena ikhlas, konsekuen, takwa, adil, dan memiliki pemikiran yang cemerlang serta gigih di dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

Dalam substansi dan pokoknya, bay'at merupakan suatu perjanjian di antara dua golongan. Yaitu pemimpin atau imam yang dicalonkan untuk memimpin Negara dan rakyat. Adapun sang pemimpin di bay'at untuk memerintah berdasarkan al Qur'an dan Sunnah, serta nasehat atau Kontrol dari kaum muslimin. Sedangkan rakyat yang membai'at bersedia ta'at dalam batas-batas ketaatan kepada Allah dan RasulNya.

Ketika 'Ali bin Abi Talib dibai'at untuk menjadi khalifah, ia berkata: Aku bersumpah dan berjanji dengan Nama Allah, serta mengikatkan diri dengan perjanjian yang diterima para Nabi, bahwa aku sunguh-sungguh akan melaksanakan hak-hak kalian dengan berpegang pada al-Qur'an dan Sunnah Nabi semampuku dan kekuatan pikiranku.

Jadi itulah bentuk kontrak politik yang pernah terjadi di masa awal Islam. Yang secara umum dapat dikatakan bahwa kontrak politik dalam Islam merupakan suatu transaksi perjanjian antara pemimpin dan umat Islam dalam mendirikan sebuah pemerintahan sesuai dengan al-Qur'an dan hadith Nabi Saw. Dengan kata lain kontrak politik dalam Islam merupakan perjanjian atas kepemimpinan berdasarkan sistem politik Islam.

Di mana kontrak politik ini, sebagaimana dijelaskan di atas, pernah terjadi beberapa kali pada masa Rasulullah Saw, antara lain, bay'at 'aqabah pertama yang merupakan kontrak social dan janji setia untuk berprilaku Islami. Di dalamnya juga terdapat ramb-rambu bagi masyarakat Islam. Adapun pada bay'at 'aqabah kedua, merupakan kontrak politik antara umat Islam dan pemimpin. Dua bay'at itu merupakan proto sosial politik untuk hijrah ke Madinah dan dasar dalam pembinaa Negara Islam yang pertama di waktu itu.

Selain bay'at 'aqabah, Rasulullah juga pernah dibai'at oleh kaum Muslimin yang mernyertai beliau dalam perjalanan ke Makkah untuk Umrah tahun 6 Hijrah yang disebut kemudian dengan bay'at ridwan. Pada saat penaklukkan kota Makkah Rasulullah juga pernah dibai'at oleh penduduk Makkah. Setelah Rasulullah wafat, bay'at juga terjadi pada saat pemilihan khulafa' al-rashidin.

Maka jika kita lihat dari proses bay'at (kontrak politik), kita temukan adanya tiga unsur pokok: (1) pihak yang mengambil bay'at; (2) pihak yang memberi bay'at kepada orang yang menjadi pemimpin, dalam Islam biasanya diwakilkan kepada ahl al hall wa al 'aqd atau oleh masyoritas umat Islam secara umum; (3) topik bay'at (kontrak) disesuaikan dengan ajaran al-Qur'an dan Sunnah Rasul Saw. Jadi proses dan topic yang dilakukan dalam melakukan kontrak sosial atau kontrak politik dalam Islam tidak boleh bertentangan dengan ajaran al-Qur'an dan Sunnah Nabi.

Dalam melakukan kontrak politik dengan calon pemimpin, wakil yang dipecaya rakyat untuk menetapkan calon pemimpin (ahl al hal wa al 'aqd) melakukan pemeriksaan atau studi kelayakan terhadap orang yang dicalonkan, sehingga jika sudah memenuhi persyaratan sesuai yang diharapkan oleh umat Islam, sang calon segera di bay'at. Jika terdapat dua calon, maka yang lebih layak untuk di bay'at atau diajak melakukan kontrak politik adalah yang sesuai dengan tuntutan kondisi di masa itu.[19]

Dalam melakukan kontrak politik, sama dengan transaksi-transaksi lainnya, yaitu berdasarkan pada asas penyerahan dari pihak pertama dan penerimaan dari pihak kedua. Jika sudah dilakukan kesepakatan kontrak politik antara calon pemimpin dan wakil rakyat, maka sebagai pelaksana eksekutif, pemimpin Negara mempunyai hak untuk ditaati oleh semua warga negaranya, tanpa mempedulikan adanya sekelompok atau seseorang yang tidak suka atau tidak setuju terhadap sementara kebijakannya di dalam menjalankan urusan Negara, kecuali jika dalam mengeluarkan undang-undang atau perintah ditemukan adanya penyimpangan dari syari'at Islam, maka boleh bagi rakyat untuk tidak menta'atinya, dan menjadi alas an untuk dibolehkannya mencabut kembali kesepakatan kontrak politik yang sudah dilaksanakan.[20]

Dalam istilah modern, kontrak politik yang dalam istilah tradisinal adalah bay'at, menggunakan istilah al tahaluf al siyasi (aliansi politik), atau kontrak politik antara dua partai atau lebih untuk membendung kekuatan partai lainnya. Al Tahaluf artinya perjanjian antara dua kaum atau lebih.[21] Dalam fakta historis, al Tahaluf ini pernah terjadi antara Rasulullah dengan Kaum Anshor dan Muhajirin.[22]

Dasar normatif dari perjanjian politik yang diajarkan oleh Rasulullah adalah ayat al-Qur'an yang berbunyi: Innallah ya'muru bi al 'adl wa al ihsan wa ita'i dhi al qurba wa yanha 'an al fakhsha' wa al munkar wa al baghy, ya'izukum la'allakum tadhakkarun.[23] Jadi ada unsur penegakan moral yang harus diperhatikan dalam melakukan kontrak politik atau perjanjian politik, seperti keadilan, menegakkan kebenaran dan mencegah kemunkaran.

Dari sisi fiqh, kontrak politik merupakan permalasahan yang masih wilayah ijtihad, antara yang melarang dan membolehkan. Perdebatan antara kedua kelompok yang membolehkan dan melarang sangat tajam, sehingga masalah kontrak politik (al tahaluf al siyasi) masuk dalam kategori masalah khilafiyah.[24]

Di antara beberapa permasalahan yang termasuk dalam kategori khilafiyah adalah kontrak politik antara kelompok muslim dengan non-muslim, sebagaimana yang terjadi pada masa sekarang ini, di mana banyak partai politik Islam dan calon pemimpin muslim melakukan kontrak politik dengan non-muslim untuk mencapai suara terbanyak. Hal semacam ini tidak ditemukan dalam teks-teks suci Islam, hanya di sebuah Hadits ditemukan bahwa Nabi Muhammad dan Abu Bakar pernah menyewa seorang lelaki dari Bani al-Dyl, seorag kafir Qurays, hanya saja ia berencana untuk masuk Islam.[25]

Hanya saja sudah ada kesepakatan di antara para ahli fiqh tentang kontrak politik yang diharamkan; yaitu kontrak politik yang dilakukan dengan kekuatan tertentu bertujuan untuk membendung gerakan dakwah Islam, kontrak dilakukan dengan kelompok yang jelas-jelas akan melakukan kemunkaran, kontrak dilakukan dengan kelompok yang diduga akan menyebarkan paham-paham atheis, kontrak politik yang berakibat pada perpecahan umat Islam.

Penutup

Jika disimpulkan dari paparan di atas, nampaknya kontrak politik yang terjadi pada periode modern sekarang ini adalah pengembangan dari system bay'at yang pernah terjadi dalam Islam, sehingga dalam mengkaji tentang kontrak politik, kita juga harus merujuk pada peristiwa bay'at yang pernah terjadi pada masa awal Islam.



[1] G.H. Sabine, A History of Political Thought (New York: Collier Books, 1959), 398.

[2] Taha Huseyn, al Fitnah al Kubra, Jilid I "Uthman" (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1951), 28-29.

[3] Bassam Tibi, "Otoritas dan Legitimasi", dalam John L. Esposito ed., The Oxford Encyclopdeia of the Modern Islamic Wolrd, Vol. IV, 218.

[4] Abdul Aziz Dahlan ed. "Baiat" dalam Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru, 2001), Vol. I, 179.

[5] Ibnu Manzur, Lisan al 'Arab (Beirut: Dar al-Sadir, 1968), Vol. VIII, 26.

[6] Ibnu Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 209.

[7] Emile A. Nakhleh, "Bai'at" dalam John L. Esposito ed., The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World (Oxford: oxford University Press, 1995), Vol. III, 243-244.

[8] Al-Mumtahanah, 12.

[9] Ibnu Hisyam, Sirat al Nabawiyyah (t.t.: Matba'ah Muhammad Ali Sabih,t.t), Jilid I, 266.

[10] Abu Zahroh, Tarikh al Madhahib al Islamiyyah fi al Siyasah wa al 'Aqidah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 91.

[11] Ibid., 117.

[12] Yusuf Musa, Nizam al Hukm fi al Islam (Kairo: Dar al-Kutub al-'Arabiyyah, 1963), 126.

[13] Isma'il al-Badawi, Nadariyyat al Dawlah (Kairo: Dar al-Nahdah al-'Arabiyyah, 1994), 116.

[14] 'Ali Yusuf, Nizam al Hukm al Idari (Kairo: 'Ain Sham Univesity Press, 1984), 132.

[15] Abu Zahroh, Tarikh al Madhahib al Islamiyyah fi al Siyasah wa al 'Aqidah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 91.

[16] Muhammad Diya'uddin al-Rais, Nazariyyat al Siyasah al Islamiyyah (Kairo: Matba'at Anglo al-Masriyyah, 1960), 167.

[17] Al-Mawardi, al Ahkam al Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1925), 6.

[18] Ibid., 7.

[19] Al-Mawardi, al Ahkam al Sultaniyyah, 5-6.

[20] Yusuf Musa, Nidam al Hukm fi al Islam, 170.

[21] Munir Muhammad Ghadban, al Tahaluf al Siyasi (Kairo: Dar al Salam, 1999), 8.

[22] Al Sahhah li al-Jawhari Jilid IV, 1346.

[23] Q.s: al-Nahl, 90.

[24] Munir Muhammad Ghadban, al Tahaluf al Siyasi, 165.

[25] Ibid.




0 Comments: