Charles J. Adams dan Metodologi Kajian Agama (Penjabaran dan Kritik)

Ika Yunia Fauzia

Beberapa tawaran tentang metodologi kajian agama pada umumnya dan kajian Islam pada khusunya telah banyak dilakukan oleh para ahli dewasa ini. Di antara tawaran-tawaran itu ada yang bersifat konstruktif dan ada pula yang sebaliknya. Tawaran yang diajukan oleh Charles J. Adams (selanjutnya dipanggil C. Adams) tidak dapat dipungkiri termasuk kategori yang pertama karena dua alasan. Pertama, karena pandangannya terhadap Islam yang tidak sinistik, dan kedua, karena cara pandangnya yang objektif. Mengenai objektifitas C. Adams ini akan kita buktikan secara pelan-pelan sejalan dengan mengalirnya argumentasi makalah ini.

Tawaran metodologi kajian Islam lain yang pernah muncul adalah yang terkumpul dalam buku Approaches to Islam in Religious Studies, yang diedit oleh Richard C Martin. Buku ini mengumpulkan makalah-makalah karya 10 ilmuan terkemuka dunia dalam bidang kajian Islam di antaranya adalah C. Adams sendiri, Fazrul Rahman, Andrew Rippin, William A Graham, Marilyn R Waldman, Richard M Eaton, dan Azim Nanji. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Zakiyuddin Baidhawy dan diterbitkan oleh penerbit Muhammadiyah tahun 2001.

Dari kumpulan 10 makalah itu terungkkap bahwa masalah dalam kajian Islam bukan terletak pada materinya namun pada metodologinya. Artinya, kajian tentang Islam sudah kaya dengan materti tapi miskin metodologi. Oleh karena itu, kajian keislaman seringkali terkesan membosankan karena materi yang kaya itu seringkali disampaikan dengan cara-cara yang sama.

Pada akhirnya metodologi dapat memperkaya variasi dan cara mengemas materi yang sama menjadi sesuatu yang menarik dan segar. Pendekatan sosiologis umpamnya dapat memberikan sentuhan yang berbeda terhadap kajian keislaman yang berbeda dengan pendekatan normatif walau materinya mungkin sama.

Dalam kontek ini, tulisan C. Adams tentang berbagai pendekatan kajian agama dapat dianggap sebagai upaya untuk mengingatkan dan mengajak para pengamat kajian keislaman akan pentingnya memberikan sentuhan yang berbeda terhadap materi-materi keislaman yang sudah kaya itu.

Tulisan C. Adams tentu tidak dimaksudkan untuk menjelaskan, mengelaborasi dan menjabarkan beberapa pendekatan kajian tentang agama. Saya tetap berkeyakinan bahwa C. Adams hanya ingin bermaksud mengingatkan akan pentinya beberapa tawaran metodologis. Tulisan itu sangat pendek sehingga masih sangat jauh untuk dapat dikatakan elaboratif dan penjabaran.

Oleh karena itu, pembahasan tentang tawaran C. Adams itu harus dilakukan untuk menjabarkan dan menjelaskan lebih lanjut bukan sekedar menterjemahkan atau meringkas. Tulisan C Adams yang terlalu ringkas itu akan sangat ironis kalau kemudian diringkas kembali.

Tulisan ini akan mencoba menjabarkan dan mengeloborasi pandangan C. Adams lebih lanjut. Namun karena keterbatasan, makalah ini hanya akan fokus pada dua pendekatan saja, yaitu pendekatan sosial dan fenomenologi. Pendekatan lain tidak akan dijabarkan, hanya akan disinggung secara singkat agar keutuhan kerangka tulisan C. Adams tetap terjaga. Agar lebih terarah dan sistematis, makalah ini akan menganalisa pandangan C. Adams dengan memetakan tawaran-tawaran metodologisnya ke dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok reduksionis dan anti-reduksionis.

Definisi Islam dan Agama

C. Adams berbicara mengenai 5 pendekatan, yaitu (1) pendekatan normatif atau agamis (2) pendekatan filologis (3) pendekatan sejarah (4) pendekatan sosial ilmiah dan (5) pendekatan fenomenologi.

Pendekatan normatif dapat dibagi lagi menjadi 3 jenis yaitu (1) pendekatan tradisional misonari (2) pendekatan Muslim apologetik dan (3) pendekatan irenik. Pengertian dan penjelasan singkat dari C. Adams mengenai pendekatan-pendekatan ini dapat diakses langsung dari tulisan yang bersangkutan, berjudul Islamic Religious Tradition.

C. Adams sebelum masuk pada perbincangan tentang pendekatan kajian agama, terlebih dahulu berbicara mengenai definisi Islam dan agama. Nampaknya ia sadar bahwa sebelum masuk pada topik yang sesungguhnya ia harus telebih dahulu mendudukkan masalah pengertian Islam dan agama secara benar dan proporsional.

Namun, pada saat yang sama mungkin ia tidak sadar bahwa pengertian dan definisinya tentang Islam dan agama justru lumayan ragu sehingga mengaburkan keseluruhan konsepsinya tentang dua istilah penting ini.

Keraguan itu berawal dari ucapanyya bahwa materi kajian keislaman tidak memiliki batasan-batasan yang jelas.[1] Ia dapat benar dengan statemen itu tapi pada saat yang sama secara metodologis juga salah. Ia benar karena memang kajian keislaman sekarang ini sudah sedemikian luas sehingga menjadi sangat sulit untuk mengidentifikasi mana saja batasan-batasan yang dimiliki oleh wilayah kajian ini. Apalagi dengan berkembanganya berbagai macam tawaran metodologis di dunia modern yang melihat agama dari berbagai sudut pandang, wilayah kajian keislaman menjadi semakin luas dan cenderung seperti arus lalu-lintas yang semrawut. Hal yang sama juga terjadi pada agama-agama lain dan bahkan pada bidang-bidang ilmu tertentu seperti Filsafat, yang sekarang terkesan sangat luas dan tanpa batas.

Namun adalah ironis jika suatu kajian ilmiah tidak memiliki batasan-batasan tertentu. Batasan itu diperlukan sebagai upaya metodologis untuk tidak “memasukkan semua bahan ke dalam kerangjang”. Jika semuanya masuk dalam keranjang maka yang akan terjadi adalah inkonsistensi dan ketidakteraturan. Dan itulah yang kita dapatkan dalam makalah C. Adams terutama dalam hal pengertian Islam dan agama.

Paling tidak ada empat pengertian yang ia sampaikan tentang Islam. Pengertian-pengertian itu mungkin mencuat secara sadar atau mungkin juga secara tidak sadar. Yang jelas, pembacaan yang seksama tentang definisi-definisi itu menunjukkan bahwa C. Adams tidak konsisten dan terkesan maju mundur.

Pengertian pertama adalah bahwa Islam merupakan “peradaban dan arahan hidup” (a civilisation and an orientation to the world).[2] Definisi ini berbau fenomenologis karena menurut C. Adams definisi itu adalah milik kaum Muslim sendiri.

Tidak ada salahnya dengan definisi itu. Bahkan sebagian besar kaum Muslim akan setuju dengannya karena sifatnya yang universal dan nampaknya mewakili berbagai aspek yang ada dalam agama Islam termasuk aspek teologis, sosial, politik, budaya dan ekonomi. Namun tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai definisi di atas, C. Adam kemudian secara tergesa-gesa menegaskan bahwa memahami Islam secara utuh adalah sulit. Baginya Islam berdasarkan pada komitmen keagamaan (religious commitment) dari mana semua hal yang terkait dengan agama ini berasal.[3] Karena itu, yaitu karena Islam berdasarkan pada komitmen keagamaan, maka menjadi sangat sulit bagi seorang pengamat untuk mengidentifikasi mana yang bersifat religious dan mana yang tidak. Ini mungkin –dan ini pendapat saya- karena komitmen religious seseorang berbeda dengan yang lain. Dan itu menjadikan komitment –dan juga pengalaman beragama- menjadi sangat subjektif.

Ambiguitas ucapan pendek ini terletak pada dua hal (1) pada diskontinuitas dengan ucapan sebelumnya yang cenderung mendefinisikan Islam sebagai peradaban dan arahan hidup. Dengan membaca definisi itu, seseorang seolah diberikan kesan bahwa Islam bukanlah agama yang sulit untuk didefinisikan. (2) Pada kata-kata komitmen keagamaan. Seseoang tidak perlu untuk menjadi pengamat untuk mengerti bahwa kata-kata ini sarat dengan pertanyaan dan ambiguitas. Apa yang dia maksud dengan komitmen keagamaan? Apa bedanya dengan istilah pengalaman keagamaan, yang juga ia gunakan dalam paragrap yang sama? Adalah sedikit dari pertanyaan yang muncul ketika seorang pembaca membaca tulisan C. Adams.

Apapun maksud C. Adams tentang kedua istilah ini, saya cenderung mengatakan bahwa komitment keagamaan seseorang tidak ada urusannya dengan cara dia memahami agamanya. Komitmen keagamaan bersifat praktis. Seseorang yang berkomitmen terhadap agamanya biasanya tidak terlalu risau dengan pengertian agamanya. Ia hanya akan menjalankan perintah agamanya tanpa harus dipusingkan dengan apa makna dari perintah yang sedang ia lakukan. Yang sering menjadi persoalan adalah pengalam keagamaan (religious experience) istilah yang juga digunakan oleh C. Adams. Dalam Islam, hal ini biasanya terkait dengan Tasawuf, sebuah pengalaman spiritual yang seringkali banyak mempengaruhi cara pandang sang Sufi terhadap pengertian Islam, Syari’ah dan pengertian aspek-aspek tertentu dalam agama ini.

Dengan Tasawuf, Islam seringkali menjadi sangat subjektif. Ukuran Tasawuf adalah pengalaman dan bukan komitmen. Karena pengalaman seseorang berbeda dengan yang lain, maka pandangan orang-orang yang berbeda itu tentang Islam pun secara otomatis akan berbeda. Islam menjadi sangat berwarna-warni dan tidak memiliki batasan yang permanen.

Bahwa Islam harus warna-warni memang dapat diterima. Tapi –meminjam istilah Adonis- Islam harus tetap memiliki aspek yang berubah-ubah dan juga aspek yang permanen dan tetap.

Dari komentar pendek di atas, saya cenderung menduga bahwa C. Adams tidak berhati-hati dalam menggunakan istilah komitmen keagamaan dan pengalaman keagamaan. Karena kedua istilah itu berbeda, dan bahkan secara konseptual membawa implikasi intelektual yang sangat berbeda, maka hendaknya keduanya harus dibedakan. Biasanya komitmen keagamaan adalah kosa-kata orang-orang yang Syari’ah-minded sementara pengalaman keagamaan adalah kosa-kata mereka yang Tasawuf-oriented. Maka kedua istilah itu jelas beda.

Definisi kedua tentang Islam adalah yang ia sebut sebagai definisi perspektif sejarah.[4] Nampaknya definisi ini tidak ada hubungannya dengan definisi yang pertama. Dan C. Adams sendiri tidak menjelaskan apa hubungan, perbedaan serta persamaan antara definisi yang kedua ini dengan definisi yang pertama. Dan itu menurut saya merupakan kesalahan metodologis yang serius. Bagaimana seorang pengamat bisa mendefinisikan sesuatu dengan pengertian yang berbeda-beda tanpa menjelaskan apa-apa kenapa definisi itu bisa berbeda, apa hubungannya dan apa pula persamaan serta perbedaannya.

Yang jelas definisi perspektif sejarah menegaskan bahwa sebagai agama, Islam harus dipahami sebagai sesuatu yang terus berubah, berkembang (evolve) dan sebagai respon oleh masyarakat Muslim yang mencerminkan visi mereka tentang realitas and pemahaman mereka tentang makna kehidupan.[5]

Pada satu sisi tidak ada yang salah dengan definisi ini. Dilihat dari sudut pandang yang positif, definisi ini mendorong kaum Muslim pada umumnya dan para peneliti pada khusunya untuk melakukan interpretasi terus-menerus terhadap Islam sebagai fenomena sosial yang terus berubah. Jika Islam dipandang sebagai sesuatu yang terus berubah, maka visi, pandangan dan pemahaman kita tentang Islam secara otomatis akan terus berubah, berkembang dan maju. Dan itu tentu akan dapat melahirkan ide-ide yang segar tentang agama yang oleh C. Adams dipandang sebagai agama yang sulit dipahami ini.[6]

Namun pada sisi lain, pengertian itu juga bukan tanpa masalah. Pertama, pengertian itu nampaknya dilandasi atas semangat yang berbeda dengan semangat definisi pertama. Jika pengertian pertama C Adams cenderung mengambil definisi orang Islam sendiri serambi mengatakan “for Muslims themselves” pada definisi kedua ini nampaknya dia “melupakan” orang Islam. Definisi pertama ia mempertimbangkan masukan orang Islam sementara yang kedua cenderung tidak. Yang pertama sosiologis dan fenomenologis, sedang yang kedua personal. Secara metodologis itu tentu tidak benar. Bagaimana dalam satu makalah seseorang memberikan definisi yang berbeda dengan pendekatan yang berbeda? Ketika seseorang mempersilahkan orang Islam untuk mendefinisikan sendiri pengertian mereka tentang agama yang meraka anut (definisi pertama), maka itu adalah pendekatan sosiologis dan fenomenologis. Tapi ketika seseorang memasukkan definisinya sendiri tentang sebuah agama yang dia sendiri tidak menganutnya (definisi kedua) maka itu adalah pendekatan personal yang objektifitasnya perlu dipertanyakan.

Apapun kesalahan metodologis yang ada dalam definisi itu, hal penting lain yang tidak kalah pentingnya untuk kita singgung adalah mengenai makna dan implikasi dari definisi itu sendiri. Jika Islam dipandang sebagai sesuatu yang hanya terjadi dalam sejarah dan bersifat berubah-ubah, maka itu jelas menafikan sisi lain dari Islam yang bersifat permanen. Islam adalah Akidah yang bersifat permanen, dan Syari’ah yang memiliki sisi-sisi tertentu yang tunduk pada hukum sejarah. Adoonis sendiri mengakui bahwa sebagai sebuah agama, Islam memiliki sisi-sisi yang tetap (thabit) dan berubah-ubah (mutaghayyir).

Adalah ironis melihat Islam dari satu sudut pandang saja. Islam yang mampu bertahan sekian lama justru karena aspek permanennya malah direduksi menjadi fenomena sejarah yang terus berubah-ubah. Melihat Islam dari sudut pandang permanennya saja pun salah karena menafikan sisi yang lain, yaitu sisi-sisi sosio-historis yang dibentuk oleh perputaran sejarah.

Definisi kedua C Adams ini menjadi lebih ironis ketika kita menemukan bahwa ternyata dalam definisinya yang ketiga, dia menolak sendiri definisinya yang kedua, tanpa sadar tentunya. Kita perhatikan bahwa dalam pemahamannya tentang agama secara umum –Islam termasuk- ia dengan mengikuti jejak WC Smith menyebutkan bahwa agama terdiri dari tradisi dan kepercayaan (faith). Tradisi merujuk pada aspek sosial dan sejarah (sejalan dengan definisi kedua) dan kepercayaan merujuk pada aspek internal, pribadi dan transenden (dilupakan dalam definisi kedua). C Adams lalu menulis:

“These two stand in a necessary and indissoluble relationship with one another, each pointing to the other and each incapable of existing independently”[7]

Paradoks yang sangat jelas sekali muncul dalam pengertian C. Adams tentang agama pada umumnya dan tentang Islam pada khususnya. Dengan demikian, ia dapat dikatakan telah gagal memahami Islam dan agama-agama secara umum secara baik dan proporsional.

Definisi ketiga menyebutkan bahwa agama –Islam termasuk- memiliki dua sisi, yaitu tradisi (baca aspek historis) dan kepercayaan (aspek internal). Ini bertentangan dengan definisi kedua yang hanya melihat agama sebagai produk dari sebuah proses sejarah saja dan melupakan aspek internal yang dalam Islam bersumber dari wahyu dan bersifat permanen, tidak tunduk pada hukum-hukum sejarah.

Definisi keempat tentang Islam menyebutkan bahwa Islam merupakan proses berkelanjutan dalam hal pengalaman (experience) beragama dan ekspresinya. Lagi-lagi, kita dipusingkan dengan definisi ini. Ada beberapa pertanyaan tentang definisi ini. Apa hubungannya dengan tiga definisi sebelumnya? Apa persamaan dan perbedaannya? Kenapa begitu cepat C. Adams pindah dari satu definisi ke definisi lain secara tergesa-gesa tanpa menjelaskan alasan di balik perpindahan itu?

Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang mungkin hanya C. Adams yang bisa menjawab. Sebagai pembaca, saya hanya bisa berspekulasi bahwa adanya empat definisi yang terkesan tidak saling tersambung itu menunjukkan bahwa C. Adams tidak konsisten dalam melihat Islam, apakah sebagai peradaban, arahan, produk sejarah, atau sebagai pengalaman beragama dan ekspresinya? Sebagai pembaca kita dibiarkan oleh C. Adams terombang-ambing dalam ketidakpastian karena dia sendiri ragu-ragu untuk memilih definisi mana yang ia anggap sebagai yang paling mewakili arah dan aliran pemikiran yang ia anut.

Benar bahwa sebuah definisi universal tentang Islam –juga tentang agama lain- tidak akan pernah bisa ditemukan. Tapi paling tidak untuk tujuan metodologis seorang penulis haruslah memilih salah satu definisi yang berputar di sekitarnya seluruh elaborari dan penjelasan tentang agama itu sendiri.

Menurut saya, Islam adalah interaksi; interaksi sosial antara orang dengan orang dan interaksi spiritual antara orang dengan Tuhannya. Ini berdasarkan pada penjelasan Muhammad sang Nabi bahwa “al-dinu mu’amalatun”, agama adalah interaksi.

Lagi-lagi definisi ini tidak universal. Dan saya sendiri tidak akan pernah mengklaim bahwa definisi itu bersifat universal walau berdasarkan pada hadith nabi. Namun paling tidak definisi itu menjelaskan bahwa Islam sebagai agama memiliki dua unsur penting, yaitu unsur sakral dan profan. Unsur sakral terwakili dalam interaksi spiritual sementara unsur profan terwakili dalam interakti sosial. Kedua unsur Islam ini –yang juga dimiliki oleh agama-agama lain- telah menjadi perhatian para pengamat dan teoretis ahli agama sepanjang era modern mulai dari Emile Durkheim hingga Mircea Eliade yang pokok-pokok pemikirannya akan kita coba untuk kita angkat pada makalah ini.

Pengertian agama sebagai sistem kepercayaan yang memiliki dua unsur tersebut telah pula menjadi perhatian khusus bagi para ahli kajian agama baik yang berada pada jalur reduksinois maupun pada jalur anti-reduksionis. Walau pada penjelasan mereka terdapat perbedaan yang amat tajam, namun ketika berbicara mengenai definisi agama nampaknya mereka mendekati sebuah kesepakatan bahwa setiap agama memiliki dua unsur itu.

Kita lihat saja definisi EB Taylor dan JG Frazer, yang walau terkenal sebagai reduksionis –yaitu yang lebih cenderung melihat agama dari aspek empirisnya saja- justru ketika memberikan pengertian agama mengakui bahwa agama memiliki muatan supernatural. Maka baginya agama adalah “kepercayaan terhadap wujud-wujud spiritual”.[8]

Seorang reduksionis lain yaitu Durkheim hampir mengambil posisi yang sama dengan koleganya sesama reduksionis. Walau secara kasat mata ada kesan seolah Durkheim memilih untuk menekankan aspek empiris sebuah agama, tapi ketika mendefinisikannya ia justru menegaskan bahwa “agama adalah sesuatu yang berkaitan dengan yang sakral”.[9]

Memang ada sisi lain dari definisi ini, yaitu bahwa Durkheim kemudian mengakui bahwa yang ia maksudkan dengan “yang sakral” adalah masyarakat (society) dan bukan Tuhan atau wujud-wujud spiritual lainnya seperti ruh atau spirit. Namun tetap saja dalam konsepsi Duerkehim masyarakat harus dianggap sebagai yang sakral karena dalam masyarakat manusia menemukan sebuah kerangka, komitmen, aturan main, tradisi dan bahkan mitos yang membentuk manusia sebagai wujud yang religius. Dalam pandangan Durkehim –seperti pandangan kaum sosiolog lainnya- untuk menjadi religius, manusia butuh kerangka dan pijakan. Kerangka dan pijakan itu dalam pandangannya adalah masyarakat. Di situ ia harus memberikan komitmen dan mentaati segala aturan yang ada dan hidup sesuai dengan mitos yang berlaku.

Bahkan dalam bukunya yang paling monumental yaitu The Elementary Forms of the Religious Life, Durkheim seolah secara gamblang mengakui –dan ini sepertinya bantahannya sendiri terhadap pandangan sebelumnya- bahwa agama mengandung unsur “kepercayaan” dan perilaku yang bersangkut paut dengan alam yang tidak tampak.[10]

Memang ada kontradiksi dalam pemaparan Durkehim tentang agama. Pada satu sisi ia hanya melihat dan membatasi agama pada wilayah empiris saja dan tidak mengakui ada unsur sakral di dalamnya. Tapi pada sisi lain justru ia mengatakan yang sebaliknya.

Ada dua hal yang bisa kita katakan mengenai hal ini. Pertama, mungkin itu merupakan perkembangan atau evolusi dari pemikiran seorang Durkheim. Kedua, mungkin juga itu merupakan ide-ide yang saling melengkapi. Atau bisa juga kontradiksi itu muncul karena objek kajian yang ia lakukan berbeda. Bisa jadi teori kedua muncul karena objek kajian yang dilakukan berbeda dengan teori yang pertama. Dan nampaknya itulah yang terjadi. Sebuah teori muncul dengan sentuhan dan muatan yang berbeda seringkali karena objek kajian yang dikaji memang berbeda.

Dalam kasus perbedaan teoretis yang dikemukakan oleh Durkheim ini perlu kiranya kita singgung bahwa buku The Elementary Forms di mana dicantumkan teorinya yang sekilas tidak reduksionis, membahas tentang struktur pengalaman beragama masyarakat Aborigin di Australia. Di situ Durkheim mengungkapkan bahwa titik awal dalam menjelaskan fenomena agama adalah kepercayaan, dan ritual-ritual yang dilakukan dalam rangka penyembahan terhadap wujud-wujud spiritual. Dalam kontek ini, seorang Durkehim tidak reduksionis karena mengakui adanya wujud-wujud yang spiritual di balik dunia empiris ini. Namun ternyata itu hanyalah awal dari sebuah pembahasan. Pada akhirnya Durkheim kembali lagi pada posisi awalnya yang reduksionis dengan mengungkapkan bahwa kepercayaan religius dan ritual keagamaan masyarakat Aborigin pada akhirnya dilakukan bukan untuk penyembahan terhadap Tuhan atau wujud-wujud spiritual lainnya melainkan untuk mengungkapkan komitmen sosial dan kesetiaan kultural kepada sukunya.

Dari sini bisa kita lihat bahwa Durkehim bisa kita petakan dalam kelompok reduksionis namun bisa juga dalam kelompok yang anti-reduksionis tergantung dari sudut pandang mana kita melihat. Makalah ini sendiri melihatnya sebagai seorang reduksionis karena memotretnya dari sudut pandang kongklusi argumentasinya dan bukan dari premis-premisnya.

Dua orang lain yang juga sangat reduksionis –seperti Durkheim- tidak bisa menafikan adanya unsur supernatural dari sebuah agama. Kedua orang itu adalah Sigmund Freud dan Karl Marx. Mereka ini meyakini secara sederhana bahwa agama adalah kepercayaan kepada Tuhan terutama Tuhan agama-agama monotheistik seperti Yahudi dan Kristen. Walau kemudian mereka juga menggarisbawahi bahwa kepercayaan kepada Tuhan itu adalah yang nampak dari permukaan sebuah agama. Yang tidak nampak dari setiap agama adalah obsessional neurosis -dalam ungkapan Freud- dan ketidakadilan ekonomi –dalam ungkapan Mark. Oleh karena Mark kemudian menilai agama sebagai opium masyarakat.[11]

Jadi lagi-lagi ada dua sisi dalam pengertian mereka tentang agama. Satu sisi yang menurut mereka merupakan sisi luar dari setiap agama menunjukkan adanya kepercayaan kepada wujud-wujud spiritual yang implikasinya bisa berupa perilaku dan watak manusia yang positif baik kepada Tuhan, ruh, spirit maupun kepada sesama manusia dan lingkungan. Tapi pada sisi lain ada unsur agama yang terpendam yang merupakan penyakit bagi manusia dan masyarakat.

Apapun yang mereka tawarkan, yang merupakan concern bagi makalah ini adalah terlepas dari kongklusi akhir yang mereka ambil, mereka pada tataran tertentu masih mengakui adanya sisi transendetal dari sebuah agama. Dan itu sejalan dengan definisi kitas di atas di mana agama kita lihat sebagai sesuatu yang memiliki dua unsur pada saat yang sama, yaitu unsur sakral dan unsur profan.

Di luar tiga tokoh reduksionis di atas, ada tokoh-tokoh lain yang menentang pandangan dan teori mereka dan memgambil posisi sebagai anti-reduksionis. Mereka antara lain Mircea Eliade, E.E Evans-Pritchard dan Clifford Geertz. Pandangan anti-reduksionis secara umum meyakini bahwa agama mempunyai dua unsur di atas. Walau orang seperti Geertz adalah agnostik yang tidak mempercayai agama dan Tuhan, namun metode antropologi dan fenomenologi yang dianutnya memaksanya untuk mempertimbangkan apa yang dikatakan oleh penganut agama. Seperti yang sudah layak diketahui, kedua metode itu menghendaki agar dalam melakukan penelitian, sang peneliti menulis apa adanya apa yang dikatakan oleh informan tanpa dikurangi dan ditambahi. Dan itu sudah dilakukan dengan baik oleh Geertz.

Teori-teori tentang Agama

Seperti yang sudah kita singgung di atas, makalah ini hanya akan menfokuskan diri pada teori-teori sosial ilmiah dan fenomenologi yang dibahas secara ringkas oleh C. Adams. Itu tidak terlepas dari keterbatasan tulisan pendek ini. Di samping itu, kita mempunyai alasan lain yang lebih substansial kenapa kita membatasi diri pada dua teori itu. Menurut C Adams:

“The emergence of the social sciences and their flowerring is unquestionably among the most important developments in intellectual life and in the organisation of the sciences in the universities in the present century”[12]

Jadi jelas bahwa ilmu-ilmu sosial –dan saya kira fenomenologi termasuk di dalamnya- merupakan salah satu fenomena akademik terpenting abad ini. Itu tidak terlepas dari peran para pioner ilmu ini dan karya-karya penting yang mereka telorkan. Konon, sebelum buku The Elementary Forms karya Durkheim diterbitkan, bidang ilmu sosiologi dan antropologi masih dianggap anak yatim dalam dunia akademik di Barat. Secara umum, bidang kajian itu dianggap tidak ada atau ada tapi di bawah bayang-bayang bidang ilmu lain terutama filsafat. Namun setelah lahirnya buku itu, dunia akademik semakin mengakui independensi bidang ilmu sosiologi dan antroplogi dan bahkan cenderung mengakui signifikansi keduanya. Sekarang dengan menjulangnya figur-figur pioner di bidang sosiologi dan antropologi seperti Robert Bella, Max Weber, Anthony Gidden dan yang lainnya, siapapun akan mengakui bahwa bidang kajian ilmu ini tidak bisa dianggap remeh apalagi diluapakan. Oleh karena itu, ada cukup alasan untuk menfokuskan diri pada bidang ilmu-ilmu sosial –termasuk fenomenologi- dan sementara waktu menangguhkan bidang atau pendekatan-pendekatan lain yang disebutkan oleh C. Adams.

Satu hal penting yang patut kita catat adalah bahwa pada awal-awal kemunculannya, teori-teori ilmu sosial tentang agama -atau yang lebih umum dikenal sebagai “the science of religion”- selalu bergandengan dengan keyakinan dan komitmen keagamaan. Salah satu tokoh awal yang memperkenalkan science ini adalah Friedrich Max Muller yang pada tahun 1870 pernah berdiri lantang dan menentang teori Darwin tentang Origin of Species. Dalam pandangannya kepercayaan dan keyakinan bisa digabungkan. Orang seperti Darwin berkeyakinan sebaliknya bahwa keduanya saling berseberangan dan tidak mungkin untuk digabungkan. Maka kemudian Muller memperkenalkan apa yang ia sebut sebagai the scientific study of religion yang ia maksudkan sebagai upaya atau metode untuk mendekati agama secara ilmiah dan rasional. Keseluruhan ajaran agama berikut ritual-ritual ia coba jabarkan secara ilmiah dan rasional.

Metode scientifik ini kemudian digunakan dan dikembangkan oleh banyak ahli kajian sosiologi dan agama. Intinya adalah bahwa agama harus dijelaskan secara ilmiah dan rasional. Mengenai bagaimana penjelasan ilmiah dan rasional itu, sangat tergantung pada selera dan rasa masing-masing peneliti.

Ini pada satu sisi memberikan keuntungan bagi para peneliti untuk menggunakan metodenya masing-masing dan memahai fenomena agama secara rasional dan ilmiah sesuai dengan pemahaman dan interpretasinya. Tapi pada sisi lain juga membuat kajian sosiologis tentang agama menjadi sangat luas dan terkesan tidak berpendirian. Dalam ungkapan C Adams, “adalah tidak mudah untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan “pendekatan sosial ilmiah” (social scientific approach).[13] Hal itu tidak terlepas dari kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh setiap peneliti untuk menggunakan dan mengembangkan metodenya sendiri dalam memahami agama. “Seorang sosiolog” catat C. Adams “akan menandai wilayah kajiannya sendiri dan kemudian mengembangkan metodenya sendiri untuk menggarap wilayah kajian itu”.[14]

Oleh karena menjadi sangat sulit untuk mendefinisikan apa itu pendekatan sosial ilmiah dan apa pula ilmu-ilmu sosial itu. Namun beruntung bahwa ternyata pada perkembangannya kajian-kajian sosial tentang agama dengan pendekatan sosial ilmiahnya tidak jauh-jauh dari pembahasan tentang kekuatan-kekuatan di luar manusia yang membentuk dan mendorong perilaku manusia. C. Adams benar sekali ketika mencatat bahwa pendekatan sosial ilmiah ingin membuktikan bahwa agama adalah tentang perilaku manusia di dunia profan. Tapi perilaku manusia itu -berikut segenap tatanan sosial-budaya yang ada di dalam lingkaran kehidupan manusia- tidak pernah bisa berdiri sendiri. Semua itu dikendalikan dan didorong oleh kekuatan di atas sana di luar kehendak dan kemampuan manusia. Dalam bahasa C. Adams:

“One of the factors in the outlook of at least a great number of social scientists is a conviction of the possibility and the need to objectify the forces that mold human behaviour.”[15]

Namun untuk bisa disebut ilmiah, sebuah metode sosial tidak hanya harus memperhatikan sisi-sisi transendental sebuah agama yang justru sering dianggap tidak scientifik oleh banyak komunitas Barat. Metode sosial baru bisa disebut ilmiah kalau, menurut C. Adams metode itu sudah melampaui titik kebiasaan dan mencapai titik universal yang secara umum sudah dapat diakui kebenarannya.[16] Ini kurang lebih dalam filsafat Thomas Kuhn menyerupai apa yang ia sebut sebagai paradigma.[17]

Mungkin akan ada yang keberatan dengan kategorisasi C. Adams mengenai kebenaran universal teori sosial ilmiah. Pertanyaannya adalah apakah akan ada kebenaran universal itu? C. Adams sendiri tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai apa itu kebenaran universal dan apa saja indikasi-indikasinya. Namun tidak ada salahnya jika kita berspekulai dan menafsirkan bahwa kira-kira kebenaran universal C. Adams adalah sesuatu yang mirip dengan konsep paradigmanya Kuhn.

Ucapan C. Adams tentang kebenaran universal itu masih harus dikaji lebih lanjut lebih-lebih ucapan itu sarat dengan kritik dan penolakan. Tugas kita selanjutnya adalah –bagi yang setuju dengan ucapan tersebut- mengembangkan kriteria-kriteria, indikator-indikator dan ukuran kongkret sehingga sebuah teori sosial dapat disebut sebagai lmiah. Pendek kata, pandangan bahwa kebenaran sebuah teori sosial bisa mencapai tingkat universal adalah pandangan yang problematik, paling bagi sebagian orang.

Tidak kalah problematiknya adalah statemen C. Adams bahwa kekuatan-kekuatan di luar dunia manusia yang membentuk dan mendorong dunia manusia dan perilakunya adalah bersifat objektif.[18] Bagi orang Muslim pandangan ini sangat dapat diterima. Tapi ketika dikonfrontirkan dengan masyarakat Barat yang rasional, pendapat itu rentan terhadap penolakan. Pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud dengan objektifitas di sini?

Jika ukurannya adalah standar normatif Islam, maka jelas objektifitas di sini kurang lebih maksudnya adalah bahwa wujud-wujud seperti Tuhan dan Malaikat itu ada. Dan sumber informasi tentang keberadaan wujud-wujud itu adalah wahyu. Wahyu menghendaki agar kita mempercayai wujud-wujud itu tanpa perlu adanya proses verifikasi dan pembuktian. Kepercayaan seringkali berjalan secara searah. Manusia hanya diwajibkan untuk percaya tanpa diwajibkan untuk membuktikan kebenaran kepercayaannya itu. Dalam teologi Asy’ariyyah, kita diwajibkan untuk mempercayai keberadaan Tuhan tanpa harus bertanya “kaifa”, bagaimana kita percaya dan bagaimana Tuhan itu bisa dipercayai.

Jika itu ukurannya, maka pandangan C. Adams di atas akan sangat mudah untuk diterima. Orang Muslim yang Asy’ari akan sangat dengan mudah menerima pandangan bahwa wujud-wujud spiritual dan kekuatan-kekuatan di atas sana adalah bersifat objektif. Keberadaannya memang benar adanya tanpa harus ada pembuktiaan lebih lanjut.

Tapi ketika hal itu dikatakan dalam kontek ilmu-ilmu sosial, maka persoalannya menjadi sangat lain. Di atas sudah kita singgung –dan ini termasuk pandangan C. Adams sendiri- bahwa sebuah teori sosial haruslah bersifat ilmiah dan rasional. Nah, kita ingin bertanya kemudian, di mana dan bagaimana prosuder pembuktian ilmiah dan rasional terhadap objektifitas keberadaan kekuatan-kekuatan itu? Ini kita pertanyakan bukan karena kita ragu akan objektifitas keberadaan wujud-wujud itu, melainkan karena kita ingin melihat konsistensi tawaran teoretis yang secara singkat ditawarkan oleh C. Adams itu. Jika C. Adams menuntut agar teori sosial bersifat ilmiah, maka pandangannya tentang objektifitas keberadaan wujud-wujud spiritual itu harus pula diilmiahkan. Dan ini tidak dilakukan olehnya.

Namun terlepas dari itu, pandangan-pandangan C. Adams yang disampaikan dalam tulisan pendeknya berjudul Islamic Religious Tradition ini dapat pula mengilhami seorang pembaca untuk lebih memahami apa yang oleh para ahli kajian sosial agama disebut sebagai struktur pengalaman beragama. C. Adams umpamanya menulis bahwa tugas pendekatan sosial ilmiah lainnya adalah memahami nilai-nilai yang menggerakkan kekuatan-kekuatan yang mengatur dunia manusia itu.[19] Nah ini pandangan yang menarik tapi sekaligus sulit untuk dianalisa lebih lanjut. Orang pasti akan bertanya, apa nilai-nilai yang dimaksudkan dalam statemen itu?

Lagi-lagi C. Adams tidak menjawab pertanyaan itu mungkin karena pendeknya makalah yang ia tulis. Tapi kira-kira dalam pandangan normatif Islam, nilai-nilai itu tidak lain adalah sifat-sifat Allah yang berjumlah 99. Bahkan dalam Tasawuf, sifat-sifat Allah tidak hanya dimiliki dan disimpan oleh-Nya saja melainkan dimanifestasikan ke dalam dunia nyata melalui ciptaan-ciptaan yang tiada henti. Lukisan Tuhan yang maha Indah dan Agung di muka bumi adalah gambaran (tajalli) dari sifat-sifat-Nya yang maha Suci.

Oleh karena itu, memahami dan menerima tawaran-tawaran C. Adams dengan kaca mata Islam akan jauh lebih mudah ketimbang menerimanya dengan kaca mata ilmu sosial. Lagi-lagi ilmu sosial –apalagi yang bernada reduksionis- akan serta merta menolak pandangan C. Adams termasuk yang berkaitan dengan objektifitas keberadaan wujud-wujud dan kekuatan-kekuatan spiritual dan nilai-nilai yang mendorong kekuatan-kekuatan itu. Sayang sekali C. Adams tidak menyempatkan diri untuk mengelaborasi tawaran-tawarannya itu sehingga lebih bisa ditangkap secara jelas baik oleh kalangan agama maupun oleh peneliti sosial. Mungkin karena C. Adams sendiri kurang menguasai persoalan-persoalan yang sedang dia bicarakan karena dia sendiri mengakui bahwa dalam bidang ini dia adalah –menggunakan istilah dia sendiri- “the uninstructed outsider” (orang luar yang tidak menerima instruksi).[20] Artinya tidak menguasai persoalan dengan baik.

Ini masalah. Bagaimana seorang penulis tidak menguasai persoalan yang sedang ia tulis. Ini bisa juga katastropik, layaknya seorang sopir yang tidak bisa mengemudi tapi memaksakan diri untuk mengemudi dan turun ke jalan raya. Akibatnya bisa dibayangkan sendiri.

Namun banyak pula sisi-sisi yang perlu kita apresiasi dari seorang C. Adams. Ia umpamnya mengakui bahwa salah satu tugas sosiologi adalah menjelaskan peran agama dalam kehidupan sosial bermasyarakat.[21] Ungkapan ini mengindikasikan bahwa agama memiliki peran sosial yang harus dijelaskan. Dan ini sangat berbeda dengan Frued yang menganggap agama hanya sebagai obsessional neurosis, atau Mark yang menganggap agama sebagai opium masyarakat.

C. Adams juga secara gamblang menolak pandangan yang reduksionis tentang agama. Menurutnya pandangan ini lahir karena seseorang melihat agama dari aspek-aspek empirisnya saja.[22] Bahanyanya adalah bahwa agama kemudian direduksikan hanya sebatas sebagai kelanjutan dari nilai-nilai sosial, atau sebagai mekanisme untuk menuju pada integrasi sosial dan sejenisnya. C. Adams tidak menerima pandangan ini. Seperti yang sudah kita jelaskan di atas, bagi C. Adams agama harus dipahami sebagai sesuatu yang terdiri dari unsur tradisi dan kepercayaan. Tradisi adalah sisi empiris dari agama, sementara kepercayaan adalah sisi transendentalnya.

Itu adalah salah satu posisi C. Adams, walau jika kita kaji lebih lanjut posisinya lain, terutama dengan merujuk kepada definisi keduanya tentang agama, kita bisa melihat C. Adams yang lain yang bukan C. Adams yang anti-reduksionis. Menurut definisi keduanya tentang agama C. Adams adalah sama reduksionisnya dengan kaum reduksionis lainnya karena melihat agama sebatas sebagai produk sejarah saja.

Lalu bagaimana kita memposisikan C. Adams? Ini yang problematik. Mungkin yang lebih aman adalah menjabarkan saja beberapa pokok pikirannya dan membiarkan C. Adams berbicara sendiri tentang siapa dirinya.

Reduksionis Melawan Anti-reduksionis

Mulai titik ini sampai akhir makalah, penulis tidak akan lagi menempatkan C. Adams pada posisi tertentu. Tidak seperti pada yang sudah-sudah di mana kadang kita meposisikannya pada posisi reduksionis kadang sebaliknya, mulai sekarang kita hanya akan mengomentari pandangannya dengan membandingkannya dengan pandangan para ahli lainnya.

Namun masalahnya adalah bahwa nampaknya dibandingkan dengan katakan Clifford Geertz dan Emile Durkheim, C. Adams bukanlah seorang ahli. Bahkan di kutipan di atas dia sendiri sudah mengakui bahwa dia adalah orang luar yang tidak pernah menerima instruksi. Nah, ini menjadi persoalan tersendiri. Namun akan kita siasati dengan menjabarkan beberapa penggalan pendapatnya dengan menggunakan masukan-masukan yang telah diberikan oleh para ahli di bidang kajian sosiologi.

Seperti yang sudah kita singgung di atas, ahli kajian sosiologi kita bagi menjadi dua, yaitu kaum reduksionis dan kaum anti-reduksionis. Yang pertama seperti EB Taylor, JG Frazer, Sigmund Freud, Emile Durkheim dan Karl Mark, sementara yang kedua seperti Mircea Eliade, EE Evans-Pritchard dan Clifford Geertz.

Arah pemikiran kaum reduksionis adalah menegasikan aspek transendetal dari setiap dan hanya melihat agama dari aspek historis dan empiris saja. Agama hanya dilihat sebatas sebagai produk budaya dan lain sejenisnya. Sementara itu, arah pemikiran kaum anti-reduksionis adalah dengan mengakui agama sebagai sesuatu yang memiliki dua unsur sekaligus yaitu unsur yang sakral, transendental dan berisfat di luar dunia manusia, dan unsur profan yang berada di alam manusia.

Kita sudah jelaskan sedikit di atas bahwa dalam definisi tentang agama kadang kaum reduksionis juga mengakui unsur trasendental agama. Tapi itu semua kemudian menghilang ketika mereka menjelaskan lebih lanjut tentang apa itu agama.

Kaum reduksionis juga secara umum meyakini bahwa agama –seperti peradaban- berevolusi dari satu tahapan ke tahapan berikutnya. Tahapan awal adalah masyarakat primitif. Maka tidak aneh jika kaum reduksionis hampir selalu menggunakan masyarakat primitif sebagai objek kajian. Mereka meyakini bahwa dengan memahami struktur keagamaan masyarakat primitif mereka bisa memahami struktur keagamaan masyarakat modern.

Kaum anti-reduksionis juga banyak melakukan kajian terhadap masyarakat primitif tapi bukan dalam kerangka evolutif melainkan semata-mata untuk memahami struktur pengalaman keagamaan mereka saja.

Kaum reduksionis tidak berhenti pada pengkerdilan agama saja dengan melihatnya sebatas sebagai produk budaya dan sejarah, tapi juga kadangkala meremahkan masyarakat primitif yang mereka kaji. Maka kita lihat kata-kata yang digunakan oleh Tylor dan Frazer seringkali terkesan melecehkan masyarakat primitif itu seperti kata-kata barbarik, terbelakang, kuno, dan bodoh. Ini agak berbeda dengan bahasa Clifford Geertz umpamanya yang ketika mengkaji peradaban, budaya dan agama Jawa tidak pernah terdengar menggunakan kata-kata yang kasar seperti itu.

Dalam ungkapan C. Adams biasanya ahli sosiolog yang apresiatif terhadap budaya atau agama yang dia kaji adalah sosiologi yang kebetulan juga seorang antropolog. Berbeda dengan sosiologi yang mengkaji struktur dan watak masyarakat, antropologi mengkaji struktur dan watak seseorang sebagai indifidu. Akibatnya antropolog tidak bisa menilai watak masyarakat karena yang ia nilai adalah watak indifidu. Nah, menjadi sulit kemudian bagi seorang antropolog untuk memberikan label kepada sebuah masyarakat sebagai masyarakat yang kolot umpamanya, karena ia tidak bisa mengenalisir watak indifidu kepada watak masyarakat.

Tapi secara historis, baik sosiologi dan antropologi sama-sama memiliki peran untuk menilai kelebihan dan kekurangan indifidu dan masyarakat yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh kaum kolonialis saat itu untuk menentukan kebijakannya. Walhasil, baik sosiologi maupun antropologi pernah sama-sama ditunggangi oleh pihak lain untuk tujuan-tujuan tertentu. Ini menjadikan kedua bidang ilmu ini pernah menjadi bidang ilmu yang sama sekali tidak objektif karena memiliki peran bahkan ambisi di luar funngsinya sebagai ilmu.

Di luar perspektif historis, seorang antropolog ketika bersentuhan dengan persoalan agama sebagai realitas sosial biasanya akan melihatnya (agama) sebagai pengalaman yang mendasari keseluruhan pengalaman sebuah masyarakat.[23] Ini tentunya perkembangan modern paska era kolonialisme. Artinya agama dipandang sebagai jantung nadi sebuah masyarakat. Semua pengalaman masyarakat bermuara, berasal dan berakhir di agama. Dalam ungkapan C. Adams, antropologi meneliti fenomena agama apa adanya tanpa aling-aling, dan sesuai dengan apa kata para pemeluk agama itu.[24]

Clifford Geertz adalah seorang sosiolog dan juga antropolog. Bahkan dia juga dikategorikan oleh C. Adams sebagai seorang fenomenolog.[25] Lengkap sudah atribut yang dimilikinya, dan lengkap pula watak sportifnya sebagai seorang peneliti. Maka tidak aneh jika penelitian-penelitiannya di samping tajam dan kaya akan informasi juga bersifat menghargai peradaban, budaya dan agama lain.

Bentuk penghargaan kaum anti-reduksionis terhadap agama adalah dengan melihatnya sebagai sesuatu yang rasional dan ilmiah. Eliade umpamanya menjelaskan bahwa tidak ada yang tidak rasional dalam agama. Semua dalam agama adalah rasional. Kepercayaan agama dikatakan rasional karena bersifat koheren, tersusun, saling terkait dan melengkapi antara satu unsur dengan unsur lainnya. Bahkan dalam pandangan Eliade, masyarakat beragama yang “primitif” jauh lebih rasional dan normal ketimbang masyarakat modern karena agama menjawab kebutuhan orang yang paling mendasar yaitu keteraturan dalam dunia modern yang serba tidak teratur ini.[26]

Ini berbeda dengan kaum reduksionis. Mereka merasa bahwa agama tidak rasional. Oleh karena itu supaya rasional, maka agama tidak dijelaskan dengan menggunakan kosakata agama itu sendiri melainkan dengan menggunakan kosakata dan kerangka lain selain agama. Kerangka itu adalah “masyarakat” dalam pandangan Durkheim, ketidakadilan sosial dalam pandangan Mark, dan obsessional neurosis dalam pandangan Freud. Artinya dalam pandangan Durkheim, agama tidak bisa dianggap ada karena tidak rasional. Yang ada adalah masyarakat di mana agama bisa dijelaskan secara rasional. Demikian seterusnya dengan Mark dan Freud.

Dilihat dari berbagai sudut pandang, pendekatan reduksionis sangat cenderung untuk memojokkan agama dan bahkan mencelanya sebagai representasi dari peradaban kuno. Namun ada sisi lain dari pendekatan ini yang terdengar appresiatif dan menghargai agama. Dalam beberapa kasus, kaum reduksionis melihat agama sebagai tahap awal peradaban manusia menuju tahap peradaban yang lebih tinggi. Ini adalah penghargaan maksimal yang dilakukan oleh kaum reduksionis terhadap agama.

Dalam kontek ini, Tylor umpamanya berpandangan bahwa penyembahan terhadap ruh pada agama primitif, agama politheisme bangsa Yunani dan Romawi serta agama-agama monotheisme merupakan tangga awal menuju tangga yang lebih tinggi dalam peradaban manusia.[27] Pandangan ini bisa disebut sebagai penghargaan terhadap agama karena mengakui bahwa agama memiliki peran dalam mengantarkan ummat manusia menuju peradaban yang lebih maju sekalipun peran itu sangat minimal dalam pandangan kaum reduksionis.

Namun lagi-lagi penghargaan itu harus berakhir dengan sangat pahit karena bagi kaum reduksionis peran agama sudah harus selesai ketika manusia memasuki era peradaban modern di mana rasionalisme harus memainkan peran maksimalnya. Dalam era modern tidak ada agama, dan tidak ada pula hal-hal yang bersifat irrasional, apapun itu.[28] Di sini lagi-lagi kaum reduksionis tidak mengakui pentingnya agama dan bahkan tidak mengakui keberadaan agama itu sendiri.

Pandangan itu diikuti oleh Frazer. Jika Tylor melihat mitos sebagai esensi dari agama, maka Frazer melihat bahwa sihirlah esensi dari agama itu. Namun Frazer –seperti Tylor- juga mengakui bahwa pada akhirnya manusia akan berkembang dan berevolusi dari tahapan sihir itu menuju tahapan yang lebih tinggi yang rasional, dan pada akhirnya akan berakhir di era modern di mana hanya rasionalisme yang ada.[29]

Kaum anti-reduksionisme menentang pendekatan evolusionsme itu karena dirasa menegasikan peran universal agama. Agama adalah sesuatu yang universal baik dalam arti periodik maupun fungsional. Dalam arti periodik, agama dari masa ke masa terus ada dan dirasakan perannya. Dalam arti fungsional, agama di hampir seluruh masyarakat baik yang tradisional dan modern memiliki peran yang tidak bisa diremehkan.

Eliade, seorang anti-reduksionsme menekankan sisi yang sakral dari setiap agama. Namun seperti kaum reduksionis ia juga mencoba menjelaskan sisi sakral ini secara rasional terutama melalui representasi simbol dan mitos. Dalam teorinya, simbol-simbol agama menyimpan -dan dalam waktu yang sama- memancarkan pesan-pesan sakral dari sebuah agama. Mitos pun demikian. Keduanya merupakan wilayah di mana sakralitas agama dapat ditemukan.[30] Dalam ungkapan Eliade sendiri, “the language of the sacred is to be found in symbols and in myth”.[31]

Eliade melangkah lebih maju dari sini dan mencoba menemukan apa yang sebut sebagai simbol universal yang dimiliki oleh semua agama di dunia. Ia melakukan penelitian terhadap agama-agama di Inida dan mengamati simbolisme yoga dan shamanisme. Di Australia ia mengamati simbol-simbol agama kaum Aborigin, dan di Eropa meneliti agama Kristen kaum pekerja. Semuanya dilakukan untuk mencari simbol universal yang sekiranya bisa mewakili sakralitas setiap agama secara universal.

Eliade sendiri meyakini bahwa simbol universal itu ada, bukan hanya dalam kontek bentuknya tapi juga dalam kontek fungsi, sifat dan kualitasnya. Bahwa setiap agama memiliki simbol yang merepresentasikan sesuatu yang sakral sudah merupakan bukti bahwa sombol universal itu ada. Dalam ungkapan Eliade:

“Symbols are rooted in the principless of likeness, or analogy. Certain things have a quality, a shape, a character, that strikes us as similar to something else”.[32]

Dari ungkapan ini jelas bahwa Eliade meyakini bahwa semua agama memiliki sifat yang sama paling tidak dilihat dari sisi simbol dan mitosnya.

Pandangan Eliade ini kadang menarik tapi kadang juga terasa problematis. Ada kesan seolah Eliade ingin memaksakan kehendaknya bahwa semua agama memiliki simbol dan mitos yang sama. Problematis karena secara kasat mata, simbol dan mitos agama berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Pijakan yang digunakan oleh Eliade untuk menghukumi bahwa simbol dan mitos semua agama adalah sama terkesan lemah dan tidak mendasar. Bagaimana tidak, kadang sebuah agama –seperti Islam umpamanya- hampir tidak memiliki mitos sama sekali. Berbeda dengan agama Hindu umpamanya, yang hampir keseluruan ajarannya didasarkan pada banyak mitos dan cerita-cerita mistis yang kemudian dikemas dalam bentuk dogma dan ajaran teologis. Islam memiliki sejarah tapi jarang sekali sejarah itu diinterpretasikan dalam bentuk mitos.

Islam memiliki simbol. Tapi jelas, simbol Islam sangat berbeda dengan simbol Kristen. Salib adalah bukan Ka’bah dan demikian sebaliknya. Maka sangat naif jika kemudian dikatakan bahwa semua agama memiliki simbol dan mitos universal baik dalam hal bentuknya maupun sifat dan fungsinya.

Tesa Eliade ini positif karena meyakini dan bahkan menekankan sisi yang sakral dalam agama -sesuatu yang tidak dilakukan oleh kaum reduksionis- tapi masih rentan terhadap kritik karena penegasannya pada simbol dan mitos universal. Ide simbol dan mitos universal menegasikan keberagaman simbol dan mitos yang dimiliki oleh agama-agama manusia.

Oleh karena itu, Clifford Geertz walau bersetuju dengan Eliade dalam hal sakralitas simbol dan mitos agama, menolak bahwa simbol dan mitos universal itu ada. Ia menekankan bahwa analisa budaya yang ia gunakan bukanlah sejenis “ilmu percobaan untuk mencari hukum tapi ilmu penafsiran untuk mencari makna”.[33] Ada dua kata kunci dalam ungkapan ini, yaitu hukum dan makna. Apa yang ingin dicapai oleh Eliade adalah hukum, bahwa ada simbol dan mitos universal dalam semua agama. Sedang apa yang ingin dicapai oleh Geertz adalah makna. Ia ingin memahami makna yang terkandung dalam setiap agama melalui simbol dan mitos. Kemudian, karena setiap agama memiliki simbol dan mitosnya sendiri-sendiri maka setiap agama mengandung makna atau pemaknaan sendiri-sendiri tentang hidup, masyarakat dan sejenisnya.

Ungkapan Geerzt yang tersohor adalah bahwa agama merupakan “simbol kenyataan dan untuk kenyataan” (religion is a symbol of and for reality).[34] Statemen bahwa agama “merupakan simbol kenyataan” menandakan bahwa dalam pandangan Geertz agama bersifat rasional karena sesuai dengan kenyataan. Ini memenuhi sarat-prasarat the science of religion yang di atas sudah kita jelaskan menghendaki agar agama dipaparkan secara rasional dan ilmiah. Di sini kenyataan berperan sebagai yang membentuk agama. Kemudian, ungkapan bahwa agama adalah “simbol untuk kenyataan” menjelaskan sebaliknya bahwa agama membentuk kenyataan.

Dengan nada diskursif barangkali kita bisa katakan bahwa antara agama dan kenyataan terdapat arus timbal balik di mana kadangkala kenyataan yang menjelaskan agama, tapi kadangkala agama yang menjelaskan kenyataan.

Dalam kajiannya tentang “agama Jawa” Geertz mengambil contoh selametan. Selametan merupakan simbol di mana melalui selametan itu kita bisa memahami agama. Ini artinya selametan menjelaskan agama. Tapi kadangkala melalui selametan pula kita bisa memahami masyarakat Jawa. Dan di sini artinya bahwa agama melalui selametan menjelaskan struktur pengalaman beragama masyarakat.

Keanekaragaman metode dan pendekatan yang ditawarkan oleh Geertz membuatnya menjadi salah satu ikon dalam kajian ilmiah agama. Dalam hal mendefinisikan agama pun Geertz tidak puas dengan satu pengertian. Mungkin karena sadar –seperti C. Adams- bahwa definisi universal tentang agama tidak akan pernah ditemukan, Geertz mencoba menawarkan beberapa definisi sehingga kita bisa lebih leluasa untuk memilih definisi mana yang paling cocok untuk kontek dan selera pemikiran kita. Dalam satu kesempatan ia mendefinisikan agama sebagai:

(1) a system of symbols which acts to (2) establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by (3) formulating conceptions of a general order of existence and (4) clothing these conceptions with such an aura of factuality that (5) the moods and motivations seen uniquely realistic.[35]

Yang dimaksudkan dengan sistem simbol adalah apa saja yang berupa gambaran, citra, lukisan, barang, atau tempat yang mempresentasikan nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama. Dalam hal ini, al-Qur’an umpamanya dapat dipandang sebagai simbol wahyu Tuhan, Ka’bah sebagai simbol persatuan ummat Islam, dan masjid sebagai simbol kesucian agama Islam. Dalam agama Kristen, salib dapat dipandang sebagai simbol kebaikan hati Jesus Kristus, dan Gereja sebagai simbol kesatuan dan persatuan agama Kristen, dan seterusnya.

Dalam definisi itu Geertz tidak menjelaskan apa itu sistem simbol dan apa saja elemen-elemennya. Makalah ini pun tidak mencoba menelusuri tulisan-tulisan Geertz satu persatu untuk menemukan apakah di karya-karyanya yang lain, Geertz mencoba menjelaskan lebih lanjut definisi itu. Namun sudah dapat diduga, Geertz dengan pendekatannya yang sosiologis, antropolegis dan fenomenologis akan dengan mudah mengakui bahwa agama memiliki dua unsur penting yaitu unsur sakral dan unsur profan. Dan di atas sudah kita jelaskan bahwa Geertz termasuk orang yang anti-reduksionis yang mengakui secara terus menerus dua unsur agama itu. Oleh karena itu, definisi di atas bisa dipahami dalam kontek semangat anti-reduksionisme itu dan kita yakini bahwa yang dimaksud dengan sistem simbol adalah mencakup yang sakral dan yang profan.

Jika pernyataan “a system of symbols” dapat dikatakan sebagai esensi dari definisi Geerts tentang agama, maka bagian selanjutnya dari definisi itu mencoba menjelaskan apa peran dan fungsi dari agama itu. Seperti yang dapat dibaca dalam definisi itu, peran agama adalah untuk “establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations”, menciptakan kecenderungan dan motifasi yang kuat, menyeluruh dan abadi.

Tentang penggalan definisi ini, kita dapat memberikan dua catatan sebagai berikut. Pertama, ini merupakan penolakan terhadap proposisi yang diajukan oleh kaum reduksionis yang cenderung menganggap remeh peran dan keberadaan agama. Seperti yang sudah kita jelaskan di atas beberapa kalangan reduksionis menganggap agama sebagai bentuk primitif dari sebuah peradaban manusia. Peradaban yang agamis adalah peradaban yang kolot dan kuno. Demikian kira-kira kongklusi dari pandangan kaum reduksionis. Apalagi di era modern yang rasional ini. Agama tidak dianggap memiliki tempat. Melalui penggalan definisi itu, Geertz menolak mentah-mentah anggapan itu. Dengan tegas ia menekankan bahwa agama memiliki kekuatan untuk membentuk sebuah kecenderungan dan motifasi yang kuat dan menyeluruh.

Pandangan Geertz itu bukan tanpa dasar. Berdasarkan pengamatan-pengamatannya, seseorang yang beragama dan taat pada agamanya akan merasakan pengalaman yang maha agung ketika melakukan perintah agamanya. Bukan hanya itu, dengan hanya mengingat dan mendegar nama Jesus saja umpamanya, seorang Kristen bisa-bisa meneteskan air mata karena terharu dan tergerak oleh kebesaran namanya.

Kedua, penggalan definisi ini menunjukkan bahwa Geertz ingin menekankan sisi rasional dari agama. Agama tidak melulu berhubungan dengan sesuatu yang transendetal di langit sana. Agama dapat memberikan pengaruh yang sifatnya empiris. Ini sekaligus dalam rangka menjaga konsistensi dalam bidang the science of religion di mana agama lagi-lagi harus dijelaskan secara ilmiah dan rasional.

Penggalan ketiga dari definisi itu menjelaskan prosuder bagaimana mencapai tujuan yang dijelaskan dalam penggalan kedua. Prosuder itu adalah:

1. Formulating conceptions of a general order of existence: merumuskan konsepsi tentang aturan umum keberadaan, dan

2. Clothing these conceptions with such an aura of factuality: membungkus konsepsi itu dengan sentuhan faktualitas.

Makalah ini rasanya tidak perlu menjabarkan lebih jauh makna dari penggalan itu. Lagi–lagi karena keterbatasan rasanya sudah cukup bagi pembaca untuk mencoba memahami sendiri maksud dan muatan dari penggalan definisi. Hanya saja, perlu dicatat di sini bahwa agama dalam pandangan Geertz nampaknya jauh lebih powerful ketimbang yang dibayangkan oleh rekan-rekannya yang reduksionis. Seperti pandangan dan keyakinan ummat Islam pada umumnya, Geertz nampaknya meyakini bahwa agama tidak saja tentang keyakinan dan kepercayaan tapi juga tentang jalan hidup, cara hidup, pandangan hidup, dan etos kehidupan. Ini sejalan dengan definisi pertama C. Adams tentang Islam yang mengatakan bahwa Islam adalah “peradaban dan arahan hidup”.

“General order of existence” yang digarisbawahi oleh Geertz, dan “civilisation and orientation to the world” yang disebutkan oleh C. Adams adalah sisi penting dalam agama yang selama ini dinegasikan oleh banyak ahli kajian agama terutama yang beraliran reduksionisme.

Nampaknya dalam penggalan terakhir definisinya, Geertz tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menegaskan sekali lagi bahwa agama adalah rasional. Ia menegaskan bahwa kecenderungan dan dan motifasi yang diciptakan oleh agama adalah bersifat realistik. Oleh karena itu, agama tidak bisa sekedar disebut sebagai mitos seperti yang dikatakan oleh Tylor, atau sihir seperti kata pendapat Frazer. Sentuhan agama nyata, mengahsilkan kecenderungan dan motifasi yang nyata dan menggerakkan manusia dalam kehidupan nyata.

Kira-kira definisi Geertz yang lumayan panjang tentang agama itu dapat disederhanakan dengan mengatakan bahwa agama adalah –mengikuti jejak CW Smith- tradisi dan kepercayaan. Atau mengikuti jejak Mahmud Shaltut, agama adalah Akidah dan Syari’ah. Sistem simbol meliputi hal-hal yang sakral termasuk kepercayaan dan akidah, sementara penggalan lain dalam definisi Geertz meliputi hal-hal seperti tradisi dan Syari’ah.

Apapun yang ingin dikatakan oleh Geertz dalam definisi itu, ada satu hal yang barangkali membuat sebagian “masyarakat beragama” keberatan dengan definisi dan pandangannya tentang agama secara umum. Talal Asad dalam bukunya The Genealogy of Religion menolak proposisi-proposisi yang diajukan oleh Geertz. Sayang sekali buku ini tidak tersedia di perpustakaan kita sehingga tidak mungkin bagi kita untuk melacak lebih jauh pandangan dan kritik Asad terhadap Geertz.

Namun hampir dapat diduga bahwa kritik Asad terhadap Geertz berkisar pada pandangan Geertz tentang agama sebagai The Cultural System (sistem budaya). Geertz sendiri pernah menulis makalah pada tahun 1966 dengan judul Religion as a Cultural System. Jelas sekali dari judulnya bahwa Geertz melihat agama dalam tulisan itu sebagai sistem budaya dan tidak lebih. Mengenai kelebihan dan kekurangan teori Geertz tentang agama sebagai budaya, sebaiknya kita serahkan kepada mereka yang tertarik untuk melakukan penelitian kelanjutan tentang masalah ini. Untuk sementara waktu kita hentikan perhatian kita untuk sementara tentang Geertz dan kembali kepada C. Adams sebagai penutup dari makalah ini.

Penutup

Sejauh ini kita telah mencoba menjabarkan dan mengkritisi tulisan C Adams terutama yang berkaitan dengan teori sosial dan fenomenologi. Aspek-aspek lain yang ditulis oleh C. Adams sengaja tidak kita singgung karena keterbatasan. Namun sebagai penutup ada baiknya kalai kita singgung secara singkat apa saja yang dipaparkan oleh C. Adams dalam tulisan pendeknya itu.

Di samping pendekatan-pendekatan kajian agama yang sudah kita sebutkan di atas, C. Adams juga sedikit berbicara mengenai wilayah kajian Islam yang menurutnya terdiri dari 11 pendekatan (atau bisa juga disebut tema dan bahkan bidang ilmu), yaitu:

  1. Sejarah Arabia pra-Islam
  2. Kajian-kajian tentang Nabi (sirah)
  3. Kajian al-Qur’an
  4. Kajian hadith
  5. Kalam
  6. Hukum Islam
  7. Filsafat
  8. Tasawuf
  9. Sekte-sekte Islam
  10. Kajian tentang ibadah
  11. Kajian agama populer

Tema-tema atau bidang-bidang ilmu di atas menurut saya tidak perlu pendifinisian dan penjabaran secara khusus karena kebanyakan kita sudah terlalu mengerti apa arti dan definisi itu semua. Mungkin yang perlu diperhatikan dan diperhitungkan adalah bagaimana pendekatan sosiologis bisa diterapkan dalam salah satu bidang ilmu di atas. Ini yang mungkin menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi kita semua. Dan itu bukan pekerjaan mudah karena perlu upaya untuk merekonstruksi kondisi sosial kemasyarakatan di mana sebuah ilmu atau persoalan dalam sebuah bidang ilmu berkembang.

Adapun mengenai tawaran-tawaran teoretis dari beberapa ahli kajian sosiologi Barat tentang agama, nampaknya ada yang bisa digunakan untuk kajian Islam seperti umpama tawaran Geertz tentang esensi agama, tujuan agama, prosuder dan mekanisme mencapai tujuan agama, serta sifat-sifat sebuah agama. Jika yang ingin kita capai dalam kajian Islam –atau tepatnya kajian masyarakat-adalah memahami apa yang oleh C. Adams dianggap sebagai struktur pengalaman beragama (the structure of religious experience) maka tidak dapat diragukan lagi bahwa teori-teori sosiologi akan sangat membantu. Tawaran-tawaran teori Barat tentang simbol jelas sangat berguna untuk kajian Islam dan juga untuk kajian agama pada umumnya. Namun jika yang kita inginkan adalah menjelaskan dogma, doktrin dan ajaran, maka jelas pendekatan sosiologis tidak ada gunanya.



[1] Charles J. Adams, “Islamic Religious Tradition”, dalam The Study of the Middle East, editor Leonard Binder (New York, London, Sydney, Toronto: John Wiley&Son), 1976, 29

[2] Ibid, 29

[3] Ibid, 29

[4] Ibid, 31

[5] Ibid, 31

[6] Pada saat C. Adams merasa bahwa Islam sulit dipahami, ia juga meyebutkan bahwa agama seperti Kristen dan Buddhisme itu lebih mudah dipahami (1976, 31). Ini sulit dimengerti karena fenomena agama sama sulitnya antara Islam dan agama-agama yang lain. Kajian-kajian agama dengan pendekatan sosiologis dan antropologis seperti yang dilakukan oleh Emile Durkheim, EB Taylor, JG Frazer, Mircea Eliade, EE Evans-Pritchard dan Clifford Geertz menunjukkan betapa ranah agama sangat komplek sehingga sulit untuk dipahami atau didekati dari satu sudut pandang saja. Karena sulitnya itu, maka definisi universal tentang agama sulit untuk ditemukan. Tentang tidak mungkinya definisi universal agama ini, hampir semua peneliti dan pengamat tersebut di atas –termasuk C. Adams- sepakat. Namun C. Adams memberikan pengecualian bahwa agama Kristen dan Buddhisme relatif lebih mudah untuk dipahami ketimbang Islam. Ini pernyataan yang kebenarannya masih harus dibuktikan karena terbukti kedua agama ini melahirkan pemahaman yang beragam. Dan itu bukti bahwa memahami Kristen dan Buddhism tidak semudah yang dibayangkan oleh C Adams.

[7] Ibid, 33

[8] EB Taylor dan JG Frazer, “Animism and Magic”, dalam Seven Theories of Religion, editor Daniel L Pals (New York, Oxford: Oxford University Press), 1996, 24

[9] EmileDurkheim, “Society as Sacred”, dalam Seven Theories of Religion, editor Daniel L Pals (New York, Oxford: Oxford University Press), 1996, 99

[10] Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, tr Joseph Ward Swain (London: George Allen & Unwin, Ltd), 1915, 24 . Ada dua catatan yang harus disampaikan berkaitan dengan definisi ini. Pertama, dalam bahasa Durkheim, “kepercayaan” adalah representasi. Maksudnya, dunia di atas sana yang bersifat sakral adalah representasi dari dunia manusia yang bersifat profane, atau sebaliknya. Kedua, kata-kata “dunia yang tidak tampak” oleh banyak ahli dan komentator pemikiran Durkheim telah diterjemahkan sebagai dunia supranatural. Dengan pertimbangan-pertimbangan ini, maka ada alasan untuk mengatakan bahwa terlepas sebagai seorang yang reduksionis yang seringkali menafikan adanya unsur sakral dalam agama, Durkheim sendiri kadangkala mengakui keberadaan unsur itu.

[11] Untuk pandangan mereka, lihat Sigmund Freud “Religion and Personality”, dalam Seven Theories of Religion, editor Daniel L Pals (New York, Oxford: Oxford University Press), 1996, 64, dan Karl Mark, “Religion as Alienation” dalam Seven Theories of Religion, editor Daniel L Pals (New York, Oxford: Oxford University Press), 1996, 130

[12] Charles Adams, Ibid, 44

[13] Ibid, 44

[14] Ibid, 44

[15] Ibid, 45

[16] Ibid, 45

[17] Dalam filsafat Kuhn sesuatu baru bisa dianggap sebagai paradigma kalau telah mendapat pengakuan secara luas oleh masyarakat dari berbagai budaya dan bahkan generasi. Kira-kira dalam sejarah keilmuan Islam, mazhab fiqh al-Syafi’i umpamanya sudah bisa dianggap sebagai paradigma karena kebenarannya sudah dipertahankan oleh banyak ilmuan sepanjang sejarah. Mazhab dhahiri tidak bisa dianggap sebagai paradigma karena telah mati di tengah jalan. Karena mati, maka kebenaran ilmiahnya diragukan.

[18] Ibid, 45

[19] Ibid, 44

[20] Ibid, 44

[21] Ibid, 44

[22] Ibid, 45

[23] Ibid, 48

[24] Ibid, 48

[25] Ibid, 48

[26] Mircea Eliade, “The Reality of the Sacred”, dalam Seven Theories of Religion, editor Daniel L Pals (New York, Oxford: Oxford University Press), 1996, 169

[27] EB Taylor dan JG Frazer, “Animism and Magic”, dalam Seven Theories of Religion, editor Daniel L Pals (New York, Oxford: Oxford University Press), 1996, 27

[28] Charles Adams, Ibid, 29

[29] Ibid, 34

[30] Mircea Eliade, “The Reality of the Sacred”, dalam Seven Theories of Religion, editor Daniel L Pals (New York, Oxford: Oxford University Press), 1996, 163

[31] Ibid

[32] Ibid, 169

[33] Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Selected Essays (New York: Basic Books), 1973, 5

[34] Clifford Geertz, “Religion as Cultural System”, dalam Seven Theories of Religion, editor Daniel L Pals (New York, Oxford: Oxford University Press), 1996, 244

[35] Ibid, 244




0 Comments: