MASYARAKAT ISLAM DAN TANTANGAN MODERNISASI


MASYARAKAT ISLAM DAN TANTANGAN MODERNISASI

Oleh Hammis Syafaq

Islam dan Modernisasi

Sebagaimana yang diyakini oleh banyak pakar, bahwa dunia ini tanpa terkecuali sedang mengalami the grand process of modernization. Menurut ajaran Islam, perubahan adalah bagian dari sunnatullâh dan merupakan salah satu sifat asasi manusia dan alam raya secara keseluruhan. Maka suatu kewajaran, jika manusia, kelompok masyarakat dan lingkungan hidup mengalami perubahan. Hal ini senada dengan yang dinyatakan oleh Scott Gordon tentang progress, di mana segala sesuatu itu mengalami evolusi, perpindahan atau perubahan. “All must change, to something new and to something strange.”[1]



[1] Scott Gordon, The History and Philosophy of Social Science (New York: Routledge, 1991), 148-154.


Modernisasi selalu melibatkan globalisasi dan berimplikasi pada perubahan tatanan sosial dan intelektual,[1] karena dibarengi oleh masuknya budaya impor ke dalam masyarakat tersebut. Menurut Boeke, ketika budaya impor yang unsur-unsurnya lebih maju, berwatak kapitalis, berhadapan dengan budaya lokal yang berwatak tradisional, terjadi pergulatan antara budaya luar dengan budaya lokal. Pertarungan kedua budaya tersebut tidak selalu berakhir dengan model antagonistik, tetapi unsur yang tersisih akhirnya tidak berfungsi dan digantikan oleh unsur baru yang kemungkinan besar dimenangkan oleh unsur impor. Biasanya, unsur lokal berangsur-angsur menurun dan tidak lagi diminati oleh masyarakat tradisional.[2]

Selain masuknya budaya asing, globalisasi juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan sekularisasi. Globalisasi dan sekularisasi seakan-akan merupakan satu paket yang terjadi di dunia Barat dan Timur.[3] Konsekuensinya, ajaran dan dogmatisme agama, termasuk Islam, yang semula sakral sedikit demi sedikit mulai dibongkar oleh pemeluknya, yang pandangannya telah mengalami perkembangan mengikuti realitas zaman. Agama pada dataran itu pun akhirnya menjadi profan, sehingga sangat tepat jika munculnya modernisasi seringkali dikaitkan dengan perubahan sosial, sebuah perubahan penting dari struktur sosial (pola-pola perilaku dan interaksi sosial).[4]

Perubahan itu berbentuk, antara lain; perubahan tatanan hubungan tradisional antara masyarakat, pemerintah dan Agama, di mana masyarakat sakral-integralis, yang sebelumnya diatur oleh sistem-sistem religio-politik, bergerak menuju transformasi baru sebagai masyarakat pluralis non-sakral.

Dari kenyataan seperti itu, dalam era modern umat Islam sering dihadapkan pada sebuah tantangan, di antaranya adalah menjawab pertanyaan tentang di mana posisi Islam dalam kehidupan modern, serta bentuk Islam yang bagaimana yang harus ditampilkan guna menghadapi modernisasi dalam kehidupan publik, sosial, ekonomi, hukum, politik dan pemikiran.[5]

Clifford Geertz menyatakan bahwa dalam menghadapi dunia modern, sikap orang bisa bermacam-macam. Ada yang kehilangan sensibilitas mereka, ada yang menyatu ke dalam ideologi penjajah atau sekedar mengadopsi kreasi impor, ada yang mengambil jarak dengan penuh waspada atau menjadikan beberapa tradisi bentuk yang lebih efektif, ada yang membagi dirinya menjadi dua dunia; hidup secara spiritual sesuai dengan keyakinan lama dan hidup secara fisik sesuai dengan kekinian, ada pula yang mencoba mengekspresikan keberagamaan mereka dalam aktivitas-aktivitas sekular.[6] Sikap semacam inilah yang terjadi pada umat Islam, di mana mereka tidak memiliki kesepakatan sikap dalam memahami ajaran agamanya di tengah kehidupan publik yang modern.

Perbedaan sikap di atas karena Islam sebagai agama yang diturunkan di tengah bangsa Arab kemudian diadopsi oleh masyarakat non-Arab dengan kultur yang berbeda, sehingga dalam memahami ajaran Islam mereka pun akhirnya memiliki perbedaan. Dari itu muncul banyak corak Islam, ada Islam Iran, ada Islam Indonesia, ada Islam Afrika, yang masing-masing varian merepresentasikan dimensi budayanya.[7]

Nabi Muhammad sendiri tidak menuntut pengikutnya untuk menjadi masyarakat yang harus merealisasikan semua ide Islam secara tepat, persis dengan yang ia lakukan.[8] Jadi wajar jika terdapat perbedaan bentuk, antara Islam sekarang dengan Islam di masa lampau. Hal semacam ini mendapatkan pengakuan dari Hallaq, yang menyatakan bahwa dalam bidang fikih misalnya, ajaran Islam tumbuh dan berkembang dalam bentuk yang berbeda dalam komunitas yang beragam.[9] Itu artinya, meskipun Islam tumbuh dalam tradisi dan masyarakat bangsa Arab, setiap muslim tidak harus menterjemahkan Islam sesuai dengan yang diterapkan oleh bangsa Arab, akan tetapi menformulasikannya sesuai dengan kondisi sosial mereka.

Dari itulah dalam merespon modernisasi, umat Islam terbagi menjadi beberapa kelompok. Ada yang merespon secara berbalikan, yaitu dengan sikap anti modernisme dan pada akhirnya anti Barat. Ada yang menjadikan Barat sebagai kiblat dan role model dalam masa depan dan bahkan untuk way of life mereka. Kelompok ini memandang bahwa konsepsi tradisional memiliki kelemahan dalam menghadapi modernisasi.[10] Ada lagi kelompok ketiga yang bersikap kritis, namun tidak secara otomatis anti modernisasi dan anti Barat. Di mata kelompok yang disebutkan terakhir ini, modernisasi dimodifikasi sekiranya tidak bertentangan dengan hal-hal yang dianggap prinsip oleh mereka. Kelompok ketiga ini menganggap Barat tidak secara otomatis sebagai musuh, dan dalam waktu bersamaan tidak pula mengganggap Barat sebagai role model yang hebat dalam segalanya dan harus ditiru. Bagi mereka, Barat mengandung unsur kebaikan, sehingga mereka tidak berkeberatan untuk menerimanya selama tidak harus mengorbankan agamanya. Dalam waktu bersamaan mereka juga sadar bahwa Barat harus disikapi dengan kritis, bahkan dalam batas tertentu harus ditolak.[11]

Semua perbedaan sikap di atas, terjadi karena terjadi perbedaan antara ajaran ideal Islam dengan praktik yang terjadi di lapangan. Kedua permasalahan tersebut (the ideal and the practical) akhirnya menjadi sumber konflik di antara umat Islam di dunia ini. Sebagai contoh adalah bentuk ajaran dan konsep bernegara di Madinah pada masa Rasulullah, yang selalu menjadi utopia di kalangan umat Islam.[12]

Dari cara pandang yang berbeda tersebut, di dunia Islam muncul berbagai macam bentuk pemikiran ideologis, antara kelompok yang memandang Islam sebagai model dari sebuah realitas (models of reality) dan kelompok yang memandang Islam sebagai model untuk sebuah realitas (models for reality). Yang pertama mengisyaratkan bahwa Agama adalah representasi dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Agama merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas.[13]

Lalu sikap manakah yang paling tepat untuk menghadapi dunia yang serba modern ini? Apakah harus seperti yang dikatakan oleh salah seorang orientalis Jerman bahwa masa depan Islam hanya bisa eksis jika mau beradaptasi dengan kehidupan intelektual Eropa?[14]

Jawabannya adalah bahwa kita tidak bisa menjadi religius dalam cara yang sama seperti para pendahulu kita di dunia pra modern yang konservatif. Betapapun kerasnya kita berusaha menerima dan melaksanakan warisan tradisi Agama pada masa keemasannya, kita memiliki kecenderungan alami untuk melihat kebenaran secara faktual, historis dan empiris. Baik konservatisme maupun modernisme, bukanlah pilihan yang tepat. Keduanya produk historis yang perlu dikaji ulang validitasnya. Artinya, semua tipologi pemikiran di atas tidak perlu ada yang disalahkan.

Apapun respon umat Islam terhadap modernisasi, yang jelas dalam dunia modern ini budaya Eropa Barat yang bersifat industrial sangat dominan, sementara budaya Islam menjadi terdominasi karena masih bersifat pre-industrial,[15] sehingga banyak hal baru yang masuk ke dalam masyarakat Islam dan menimbulkan kecemasan, karena dampaknya pada kehidupan yang materialistis, unmoralis, dan sekuler. Maka manusia modern sekarang ini mulai merasakan kehampaan spiritual dan ingin kembali kepada agama. Seperti yang ditulis oleh Thoureau, bahwa kini banyak sekali orang yang hidup dalam keputus asaan.[16]

Dalam kecemasan itu, umat beragama seringkali kemudian mencari bentuk format ajaran agamanya yang merujuk pada masa lampau untuk mendapatkan otentisitas keberagamaannya. Dalam tubuh umat Islam sendiri terjadi kekecewaan terhadap Islam yang menekankan aspek esoteris, yang hanya memuaskan segi kognitif, Islam yang mengenyirkan kening. Orang sekarang mencari Islam yang menyentuh secara afektif, Islam yang meneteskan air mata.[17]

Akan tetapi manusia dan masyarakat tetap berjalan terus ke masa depan, dan di depan mereka dihadapkan pada kemajuan sains, wacana-wacana intelektual dan transaksi-transaksi rasional, yang semua itu harus disikapi dengan perubahan, sehingga terjadilah perdebatan panjang dalam masyarakat beragama, antara keinginan untuk kembali kepada masa lampau dengan keinginan untuk melakukan perubahan, antara keinginan untuk tetap mempertahankan tradisi masa lampau dengan keinginan untuk menyongsong masa depan.

Memahami Makna Modernisasi

Istilah modern secara bahasa berarti baru, kekinian, akhir, up-todate atau semacamnya. Bisa dikatakan sebagai kebalikan dari lama, kolot atau semacamnya.[18] Esensi modernisasi, menurut sebagian ahli, adalah sejenis tatanan sosial modern atau yang sedang berada dalam proses menjadi modern. Bagi ahli lain, esensi modernisasi ditemukan dalam kepribadian individual. Istilah modern juga bisa berkaitan dengan karakteristik. Oleh karena itu, istilah modern ini bisa diterapkan untuk manusia dan juga untuk yang lainnya.

Modernisasi memang sangat luas artinya, mencakup proses memperoleh citra (images) baru seperti citra tentang arah perubahan atau citra tentang kemungkinan perkembangan.[19] Batasan-batasan modernisasi seringkali hanya ditekankan pada aspek-aspek perubahan di bidang teknologi dan ekonomi. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan oleh Manfred Halpern, revolusi modernisasi sebenarnya melibatkan transformasi semua sistem yang berlaku sebelumnya dalam masyarakat, baik sistem politik, sosial, ekonomi, intelektual, keagamaan maupun psikologi.[20]

Modernisasi; Globalisasi, Industrialisasi, Urbanisasi, Sekularisasi

Sejarah modern oleh Aziz al Azmeh dikarakteristikkan dengan globalisasi kekuasaan Barat.[21] Globalisasi menunjukkan perkembangan yang cepat di bidang komunikasi, teknologi, transportasi dan informasi, yang menjadikan dunia semakin sempit karena segala sesuatu semakin mudah dicapai. Proses globalisasi juga terbentuk oleh pertukaran informasi dan budaya.[22]

Kaitanya dengan dunia Barat, ada beberapa teori mengenai modernisasi. Daniel Lerner misalnya, beranggapan bahwa modernisasi identik dengan Westernisasi, sekularisasi, demokratisasi dan pada akhirnya liberalisasi.[23] Tetapi ada yang membuat dikotomi antara modernisasi dan Westernisasi, di mana modernisasi lebih bersifat teknologis, sementara Westernisasi lebih berorientasi pada nilai. Akan tetapi dikotomi ini dalam beberapa hal tidak tepat. Sebagai contoh, pesawat terbang dan bioskop, adalah sama-sama ciptaan Barat, akan tetapi kita bisa menerima pesawat terbang dan tidak menerima bioskop.[24]

Selain itu, di dalam beberapa studi tentang sosiologi dikatakan bahwa di beberapa wilayah, industrialisasi merupakan bagian dari modernisasi. Artinya, modernisasi berimplikasi pada munculnya industrialisasi. Akan tetapi di beberapa negara lain terjadi sebaliknya, di mana industrialisasi berimplikasi pada modernisasi,[25] sehingga ada yang menyebut abad modern terjadi karena adanya revolusi industri.[26]

Secara historis, sebenarnya kedua istilah di atas berkaitan erat, tetapi tidak sama artinya. Modernisasi adalah istilah yang lebih inklusif, karena modernisasi dapat terjadi terlepas dari industrialisasi. Seperti dikemukakan oleh Apter, bahwa modernisasi di Barat didahului oleh komersialisasi dan industrialisasi, sedangkan di negara non-Barat, modernisasi didahului oleh komersialisasi dan birokrasi, sehingga Bendix mendefinisikan modernisasi sebagai seluruh perubahan sosial dan politik yang menyertai industrialisasi di kebanykan negara yang menganut peradaban Barat.[27] Jadi modernisasi dapat dilihat terlepas dari industrialisasi.[28]

Yang jelas, modernisasi telah membentuk sebuah perubahan yang mendasar tentang tingkah laku dan keyakinan di bidang ekonomi, politik, organisasi sosial dan bentuk pemikiran.[29] Di bidang ekonomi, perubahan bisa dilihat dalam wujud industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi, munculnya kebutuhan-kebutuhan kapital dalam jumlah besar, pertumbuhan sains dan munculnya kelas-kelas baru dan mobilisasi sosial. Di bidang politik, ditandai oleh munculnya partai-partai politik, kesatuan-kesatuan dan kelompok-kelompok kepemudaan. Di bidang dimensi sosial, terjadinya perubahan hubungan antar lawan jenis, komunikasi masa, dan urbanisasi.[30] Modernisasi juga menimbulkan difusi norma-norma sekuler-rasional dalam kebudayaan.[31]

Peter Berger menyatakan bahwa ada lima pilar modernisasi:

1. Abstraction, yaitu gaya hidup dalam bentuk birokrasi dan teknologi.

2. Futurity, bahwa masa depan menjadi orientasi pokok dalam beraktivitas dan berimajinasi, serta gaya hidup diatur oleh waktu.

3. Individuation, pemisahan individu dari segala rasa entitas kolektif, dan membentuk alinasi.

4. Liberation, bahwa pandangan hidup didominasi oleh pilihan bukan kebutuhan; artinya, segala sesuatu yang di luar kebutuhan, mampu diwujudkan.

5. Secularization, terjadinya kemerosotan di bidang keyakinan keagamaan.[32]

Andrew Rippin menyebutkan lima faktor yang memiliki dampak sangat besar di dunia Islam:

1. Ascendasy and Dicline. Bahwa dengan adanya kekuatan Eropa dan Amerika di dunia, dunia Islam di seluruh belahan negara berkembang, secara politis tertindas, dan secara ekonomi tereksploitasi.

2. Nationalism and Socialism. Ideologi politik modern oleh beberapa kalangan bukan penyebab dari masalah kemunduran, akan tetapi juga merupakan sebuah pemikiran modern yang atraktif.

Emmanuel Sivan menyatakan bahwa televisi adalah salah satu sarana utama sekaligus merupakan simbol dari sebuah invasi dunia modern, sebagai sarana yang paling efektif untuk melakukan propagasi modernisasi.[33]

Sementara itu, D.J. Dwyer menyatakan bahwa kota menjadi pusat perubahan sosial dan modernisasi.[34] Memang ada studi yang mendalam atas struktur interen kota, seperti yang dilakukan oleh Terry McGee, menyebutkan bahwa kota sama sekali bukan merupakan pusat pembaruan, modernisasi, ataupun perubahan kemasyarakatan, sehingga ada teori dualisme dalam masyarakat kota, yang membedakan antara sektor modern dan tradisional.[35] Akan tetapi penelitian ini dilakukan di dalam masyarakat yang belum berkembang, di mana kehidupan semacam ini dijalani oleh mereka yang datang dari pedalaman, dan di kota besar mereka hidup dengan gaya semi desa.

Kota disebut sebagai pusat perubahan dan modernisasi, karena adanya perpindahan masyarakat yang terus-menerus dari desa menuju kota (urbanisasi), yang didasarkan pada keinginan untuk mencapai perubahan hidup di bidang ekonomi, dan perubahan status sosial yang lebih baik.[36] Maka Daniel Lerner, dalam teorinya, menyatakan bahwa urbanisasi merupakan prakondisi untuk modernisasi dan pembangunan atau kemajuan.[37] Akan tetapi banyak para ahli yang kurang optimis terhadap urbanisasi. Kota-kota tidak lagi dipandang sebagai pusat perubahan dan kemajuan, tetapi sebagai daerah krisis, sebagai pusat problem sosial, penyakit, kejahatan, dan kemiskinan.[38]

Akibat Modernisasi

Yang dimaksud dari akibat modernisasi di sini adalah perubahan yang biasanya terjadi bersamaan dengan usaha modernisasi. Perubahan itu bisa terjadi dalam enam bidang besar: demografi, sistem stratifikasi, pemerintahan, pendidikan, sistem keluarga, dan nilai, sikap serta kepribadian.

Perubahan demografis yang terjadi bersamaan dengan upaya modernisasi mencakup pertumbuhan penduduk dan perpindahan dari kawasan pedesaan ke kawasan perkotaan. Jadi ciri khas dari perubahan demografis dalam proses modernisasi adalah pertambahan jumlah penduduk di kota.

Dalam perubahan sistem stratifikasi, pembagian kerja menjadi semakin rumit, bersamaan dengan meningkatnya jumlah spesialisasi, status cenderung berdasarkan atas prestasi, sebagai pengganti status berdasarkan atas asal-usul (ascription), terjadinya pergeseran dalam peluang hidup di berbagai strata sosial, kecenderungan peningkatan status sosial wanita, perubahan di bidang pendidikan; baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Di sini pendidikan menjadi sangat penting dalam membentuk manusia modern.

Perubahan dalam bidang kehidupan keluarga juga tidak lepas dari pengaruh faktor modernisasi. di mana pergeseran dari kawasan pedesaan ke kawasan urban, meningkatkan ketegangan hubungan antara anggota keluarga besar. Keluarga kecil sering menjadi ide utama modernisasi. Masyarakat memiliki orientasi nilai budaya masa kini. Warganya ditandai oleh kebebasan yang semakin berkembang, kesetiaannya berkurang, penghormatannya terhadap individualitas orang lain semakin bertambah besar.[39]

Lerner menyatakan bahwa manusia modern gemar mencari sesuatu sendiri, mempunyai kebutuhan untuk berprestasi dan gemar mencari sesuatu yang berbeda dari orang lain.[40] Jadi manusia modern adalah manusia yang mampu berfungsi secara efektif dalam sebuah bangsa yang sedang mengalami pertumbuhan.

Modernisasi dan Perubahan Sosial

Dalam teori modernisasi, Tipps menyebutkan teori dikotomi. Tipe teori ini adalah adanya proses transformasi masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Jadi ada dikotomi antara masyarakat tradisional dan modern.

Menurut Herbert Spencer, masyarakat adalah sebuah organisme –sesuatu yang hidup-. Dengan kata lain, masyarakat selalu mengalami pertumbuhan, perkembangan dan perubahan. Munculnya modernisasi seringkali dikaitkan dengan perubahan sosial, sebuah perubahan penting dari struktur sosial (pola-pola perilaku dan interaksi sosial).[41] Dan sebaiknya kita melihat perubahan sosial sebagai sesuatu yang melekat pada sifat sesuatu, termasuk di dalam sifat kehidupan sosial.

Ketika berbicara mengenai alam fisik, sejarah manusia atau intelektualitas manusia, kita menemukan bahwa tidak ada yang tetap, melainkan segala sesuatu selalu bergerak, dan berubah keadaannya. Realitas tidak statis, seperti yang diamati oleh filusuf Yunani kuno, Heraclitus, bahwa semua makhluk senantiasa mengalir, terus-menerus berubah, terus-menerus tercipta dan lenyap.[42] Sebagaimana juga yang diungkap oleh Ibnu Khaldun tentang teori siklus peradaban, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, selalu terjadi perpindahan gaya hidup, dari nomadic ke arah sedentary.[43] Atau seperti yang dikatakan oleh Toynbee bahwa perpindahan (mutation) dari masyarakat primitif ke arah masyarakat beradab (civilized), atau dari kondisi yang statis ke arah dinamis, adalah suatu hal yang natural dalam sejarah peradaban kemanusiaan.[44]

Perubahan itu dilalui dengan tiga proses: pertama, masa nomadic/badâwah. Yaitu sebuah bentuk kehidupan yang dialami oleh kaum nomad di padang pasir, kaum Barbar di pegunungan, atau kaum Tartar di padang rumput. Kedua, masa pembenetukan organisasi (al ‘umrân). Yaitu sebuah masa untuk membentuk suatu kekuatan dalam bentuk ikatan (organisasi). Keiga, masa peradaban (civilization). Sebua masa yang penuh dengan gaya hidup yang mewah, penuh dengan seni, pemikiran yang terbuka, bahkan sekuler, materialistik.[45]

Sebagai contoh semenjak Orde Baru (1965), Indonesia menghadapi peningkatan ekonomi dan modernisasi, dengan ditandai oleh masuknya beberapa bentuk produk multi-nasional seperti Pizza Hut, Mc Donald’s, Wendy’s, ke wilayah ibukota, yang berimplikasi pada adanya perubahan.[46] Beberapa kalangan muda memakai pakaian jeans, pergi ke diskotik, dan meminum minuman beralkohol, karena mereka memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang modern, Barat.[47]

Dan untuk saat ini, kita akan menemukan hal-hal tersebut di beberapa tempat di dunia ini. Semua itu terjadi dengan cepat karena arus globalisasi. Dengan globalisasi, modernisasi yang dimunculkan oleh bangsa-bangsa Barat diserap dengan cepat oleh bangsa-bangsa Asia. Benjamin Barber menyatakan bahwa McWorld merupakan penjajah kultural. Ia akan menghancurkan segala bentuk kultur lokal dan merubah menjadi tatanan pertokoan baru yang disebut dengan Mall.[48]

Perubahan itu juga terjadi dalam bidang pemikiran (intelektual). Sebagai contoh bahwa abad modern ditandai oleh kemenangan supremasi rasionalisme, empirisme, positivisme dari dogmatisme agama pada abad ke-17. Metode ilmiah yang berwatak rasional dan empiris telah mengantarkan kehidupan manusia pada suasana modernisme. [49] Jadi masyarakat modern secara intelektual adalah masyarakat rasional, didasarkan pada ilmu dan teknologi yang logis dan empiris.

Memang perubahan terjadi di mana-mana dalam kehidupan sosial sepanjang masa. Terkadang ia terjadi secara tiba-tiba dan cepat, yaitu ketika sistem suatu pemerintahan dihancurkan oleh revolusi dan digantikan oleh sistem baru. Terkadang perubahan juga terjadi secara lamban, yaitu ketika anggota masyarakat itu yang melakukannya secara perlahan.[50]

Sikap Umat Islam dalam Menghadapi Modernisasi

Jika kita teliti lebih cermat secara global, dalam kaitannya dengan sikap yang dimunculkan untuk menghadapi modernisasi, di kalangan umat Islam Indonesia terdapat empat orientasi pemikiran ideologis yang dianggap mewakili kelompok-kelompok yang ada: tradisionalis-konservatif, radikal-puritan (fundamentalis), reformis-modernis, dan sekuler-liberal.

Kelompok tradisionalis-konservatif adalah mereka yang menentang kecenderungan pembaratan (westernizing) yang terjadi pada beberapa abad yang lalu atas nama Islam, seperti yang dipahami dan dipraktekkan di kawasan-kawasan tertentu. Kelompok ini juga ingin mempertahankan beberapa tradisi ritual yang diperaktekkan oleh beberapa ulama’ salaf. Para pendukung orientasi ideologis semacam ini bisa ditemukan khususnya di kalangan penduduk desa dan kelas bawah.[51]

Kaum radikal-puritan adalah kelompok yang juga menafsirkan Islam berdasarkan sumber-sumber asli yang otoritatif, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan kontemporer, tapi mereka sangat keberatan dengan tendensi modernis untuk membaratkan Islam.[52] Kelompok ini melakukan pendekatan konsevatif dalam melakukan reformasi keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan pada pemurnian doktrin (purifikasi).[53]

Kelompok ini juga bisa disebut sebagai kelompok fundamentalis,[54] meskipun ada yang menolak penyebutan tersebut, dengan alasan bahwa kelompok fundamentalis lebih keras dalam menolak pembaratan dan lebih bersikap konfrontasional dibandingkan kelompok di atas, lebih-lebih kelompok fundamentalis lebih cenderung untuk menjadikan Agama sebagai doktrin politik dalam kehidupan bermasyarakat.[55]

Bagi kelompok radikal-puritan ini, syari’ah memang fleksibel dan bisa berkembang untuk memenuhi kebutuhan yang terus berubah, tetapi penafsiran dan perkembangan harus dilakukan melalui cara Islam yang murni. Maka mereka mengkritik gagasan-gagasan dan praktek-praktek kaum tradisional,[56] dan menganggapnya sebagai suatu hal yang bid’ah. Ibn Taymiyyah, tokoh yang meninggal pada tahun 1328, adalah tokoh intelektual pemikiran fundamentalis.[57]

Sebuah gerakan pemikiran bercorak radikal-puritan ini pernah muncul pada abad ke-18, di Najd (sekarang Saudi Arabia), bernama Wahhabiyyah, di bawah pimpinan Muhammad bin ‘Abd al Wahhab (1703-1787), seorang teolog, yang mengikuti gaya Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Taymiyyah,[58] dalam memahami al Qur’an secara literal.[59]

Gerakan Wahhabiyyah adalah gerakan yang muncul pada saat terjadinya degradasi moral masyarakat Islam, mengajak untuk kembali kepada ajaran Islam murni, memberantas segala bentuk peraktek yang dianggap menyimpang dari ajaran murni Islam,[60] mengajak untuk mereformasi pandangan-pandangan keagamaan tradisional yang menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Mereka menyatakan anti-intelektualisme, teturama filsafat.[61]

Gerakan lain yang bercorak semacam ini adalah Jama’at Islam di Pakistan dengan tokohnya Abu A’la al-Maudûdî (1903-1979), Ikhwanul Muslimin di Mesir, dengan tokonya Hassan al-Banna dan Seyyed Qutb (1906-1966).[62] dan Muhammadiyyah di Indonesia, dengan tokohnya K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923),[63] meskipun pada akhirnya, kelompok yang disebut terakhir ini cenderung menjadi kelompok yang reformis-modernis.

Menurut penelitian, munculnya beberapa kelompok radikal adalah karena kehidupannya yang jauh dari kehidupan modern. Sebagai contoh, penganut Khawarij, adalah mereka yang hidup di gurun, nomaden.[64] Wahhabiyyah, muncul pada masa sebelum masuknya modernisasi di dunia Arab, bahkan ia disebut sebagai kelompok yang muncul di suatu wilayah yang tidak pernah disentuh oleh dunia luar, Najd.[65] Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, tokohnya, muncul pada abad sebelum modern (pre-modern), sebelum adanya pengaruh industrialisasi dari Barat. Dari itu, secara kultural Wahhabiyyah muncul sebagai gerakan yang merepresentasikan bentuk primitif.

Dalam penelitian yang diadakan di Mesir menyebutkan bahwa kaum militan fundamentalis adalah para penduduk asli dan tinggal di wilayah urban hanya dalam beberapa waktu.[66]

Ikhwanul Muslimin, kelompok fundamentalis di Mesir, adalah kaum rural dan menjadi kaum urban hanya dalam beberapa waktu, dan tidak mampu menghadapi realitas yang disekitarnya.[67] Muhammadiyyah, didirikan oleh tokoh yang hidupnya tidak pernah mendapat pendidikan Barat dan tidak pernah melihat kebudayaan Barat dalam arti yang sebenarnya, yaitu K.H. Ahmad Dahlan.[68]

Kelompok reformis-modernis adalah kelompok yang memandang Islam sangat relevan untuk semua lapangan kehidupan, publik, dan pribadi. Bahkan mereka menyatakan bahwa pandangan-pandangan dan praktek tradisional harus direformasi berdasarkan sumber-sumber asli yang otoritatif, yakni al Qur’an dan al Sunnah (purifikasi Agama), dalam konteks situasi dan kebutuhan kontemporer. [69]

Pemikiran Islam modern ini merupakan pemikiran yang memiliki kecenderungan untuk mengambil beberapa pemikiran Barat yang modern, rasional bahkan liberal.[70] Atau menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.[71]

Kelompok modernis ingin menjadikan Agama sebagai landasan dalam menghadapi modernitas. Menurutnya, Agama tidak bertentangan dengan perkembangan zaman modern, sehingga mereka ingin menginterpretasikan ajaran-ajaran Agama sesuai dengan kebutuhan modern.[72]

Mereka menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan modernitas. Menurut mereka, hukum Islam tidak baku, tapi harus dirubah sesuai dengan situasi sosial yang sedang berkembang.[73]

Kelompok ini menganjurkan penafsiran ulang atas Islam secara fleksibel dan bekelanjutan, sehingga umat Islam dapat mengembangkan pemikiran keagamaan yang sesuai dengan kondisi modern.[74] Kelompok ini ada yang menyebutnya sebagai neo-mu’tazilah,[75] karena pemikiran Mu’tazilah yang rasional memiliki peran dalam membentuk pola berpikirnya kelompok ini.

Kecenderungan modernisasi pemikiran Islam muncul pada dekade akhir abad ke-19 sebagai tanggapan atas pembaratan rezim dan pemerintahan Eropa. Kultur elit muslim saat itu terbagi menjadi kelompok yang terbaratkan dan kelompok tradisional, dan kelompok modernis mencoba untuk mempersatukannya.[76]

Kelompok ini berkembang pada abad ke-19 dengan beberapa tokohnya seperti Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), M. Abduh (1849-1905), Rashid Rida (1865-1935) dari Mesir, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), M. Iqbal (1876-1938) dari India.[77]

Yang memebedakan kelompok ini dengan gerakan revivalisme adalah bahwa yang pertama lebih banyak terjun di dunia intelektual, sementara yang ke dua terjun di dunia politik, doktrin.[78]

Kelompok sekuler-liberal adalah mereka yang memandang bahwa jalan untuk mereformasi masyarakat adalah dengan menyerahkan atau membatasi segala urusan Agama dan ritual kepada personal dan menegaskan kekuatan logika dalam kehidupan publik. Kelompok ini dipengaruhi oleh ideologi Barat terutama paham nasionalisme.[79]

Meskipun komunitas Islam di dunia ini sangat beragam, di sana hanya ada satu Islam, yang beragam hanya bentuk interpretasi dari masing-masing pemeluknya terhadap ajaran Islam itu. Sifat tradisional dari sebuah Agama adalah bahwa ia dimanifestasikan dalam kecenderungannya kepada Yang Maha Kuasa, yang didasarkan pada kesatuan tentang Yang Maha Suci, dan memandang Yang Maha Kuasa sebagai sesuatu yang tidak bisa berubah dari masa lampau hingga sekarang.

Sesungguhnya yang menjadi perdebatan di antara beberapa kelompok di atas bukanlah tentang pokok-pokok ajaran Agama itu sendiri (great tradition), akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem kehidupan sosial (little tradition).[80]

Sebagaimana yang terjadi pada kemunculan beberapa pemikiran teologi dan filsafat di dunia Islam pada abad klasik,[81] bahwa kemunculan gagasan tentang pemikiran ideologis itu tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial dan politik, begitu juga dengan yang berkembang di masa berikutnya, tidak terlepas dari beberapa kepentingan dan kondisi sosial dan budaya bangsa yang sedang berkembang.

Di samping alasan di atas, ada alasan lain yang menjadi kemelut di antara orientasi ideologis dari beberapa pemikiran di atas, yaitu pemahaman yang berbeda di antara mereka dalam memahami Islam, apakah sebagai model dari sebuah realitas (model of reality) ataukah model untuk sebuah realitas (models for reality).

Yang pertama mengisyaratkan bahwa Agama adalah representasi dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Agama merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas.[82]

Dalam kajian modern tentang sejarah umat Islam ditemukan bahwa, meskipun berdasarkan pada Agama yang sama, para pemeluk Agama ini memiliki pemahaman yang berbeda, dan seringkali perbedaan itu memicu persaingan dan konflik, di dalam menghadapi tantangan modernitas.[83]

Di Indonesia, terutama di dalam masyarakat Jawa, hanya dikenal adanya Islam NU dan Islam Muhammadiyyah. NU sering dilihat sebagai kelompok tradisionalis, sementara Muhammadiyyah, sebagai kelompok modernis.[84] Namun dikotomi ini kemudian dianggap tidak layak lagi, karena dalam perkembangan selanjutnya, NU bersifat lebih terbuka terhadap modernitas.[85] Bahkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok tradisionalis modernis. Di mana Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam dunia pendidikan, dan dalam memahami teks al Qur’an dan Hadith sebagai sumber ijtihad, Muhammadiyyah berada dalam kelompok tradisonalis.[86]

Paham tradisionalisme yang dianut oleh organisasi Muhammadiyyah, menurut Arbiyah Lubis, tercermin dalam teologi yang dianutnya, yaitu paham jabariyyah yang mengakui kehendak mutlak Tuhan, ketidak bebasan manusia dalam memilih perbuatannya dan memberikan daya yang kecil kepada akal untuk memamahmi masalah-masalah akidah.[87]

Sementara dalam penelitian lain, Muhammad Azhar juga mengatakan bahwa dalam beberapa hal, NU yang dianggap tradisional, ternyata lebih modern keimbang Muhammadiyah. Sebagai contoh, proses penerimaan asas Pancasila, pendirian BPR Nusumma, ternyata NU terkesan mendahului Muhammadiyah.[88] Nurcholish Madjid, tokoh intelektual Muslim Indonesia, juga mengatakan bahwa pola pemikiran Neo-modernisme Islam akan muncul dari kalangan NU yang kaya khazanah klasik, ketimbang Muhammadiyah, dan kini hal itu terbukti dengan munculnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang tokohnya banyak didominasi oleh kalangan pemuda NU.

Terlepas dari perdebatan pendapat dalam masalah itu, yang jelas, kelompok tradisionalis, di Indonesia, biasanya bergabung dengan organisasi bernama NU,[89] sementara kelompok modernis, reformis, radikalis, puritan, dan fundamentalis, lebih memilih Muhammadiyyah sebagai organisasi keagamaannya.[90] Dari itu, untuk lebih memudahkan pembagian kelompok umat Islam di Indonesia, seringkali hanya digunakan dua organisasi ternama di atas.

Beberapa hal yang menjadi perbedaan antara NU dan Muhammadiyyah adalah bahwa NU lebih besifat rural (gejala pedesaan), syarat dengan simbol tradisional (dulu disimbolkan dengan pakaian sarung dan serban), berlebihan dalam pengamalan ibadah, lebih mempercayai kata ulama’, lebih terikat dengan jama’ah, lemah inisiatif dan lebih hirarkis-struktural dalam hal status sosial,[91] tidak menolak beberapa praktek ritual yang tidak tertulis di dalam hadith sahih, atau tidak sesuai dengan pemikiran modern, karena, menurut mereka, tidak berarti sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith sahih itu bertentangan dengan Islam selama masih belum menyangkut masalah akidah. Prinsip kaum tradisionalis adalah ‘adam al wujûd lâ yadullu ‘alâ ‘adam al wujdân.[92]

Sebaliknya, Muhammadiyyah lebih bersifat urban (gejala perkotaan) yang sangat apresiatif dengan simbol modernitas (dulu disimbolkan dengan memakai dasi, dan sebagainya), kritis, mandiri, individu jadi fokus perhatian, penuh inisiatif, menganggap sesuatu yang tidak tercantum di dalam hadith sahih dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari ajaran Islam dan tidak boleh diamalkan, karena akan berdosa dan berimplikasi buruk terhadap akidah.[93]

Dalam bentuk peraktek ritual di waktu sholat jum’at misalnya, NU menggunakan dua adzan, sementara Muhammadiyyah menggunakan satu adzan. Bentuk mimbar yang digunakan juga berbeda, NU menggunakan mimbar bertongkar, sementara Muhammadiyyah menggunakan bentuk mimbar modern.

Perbedaan lain yang sangat mencolok adalah dalam penetapan awal puasa dan hari raya, pelaksanaan sholat tarawih dan sholat Id. Kelompok NU dalam menetapkan awal bulan puasa dan hari raya (Id) berpegang pada konsep ru’yah, sementara Muhammadiyyah berpegang pada hisâb. Dalam pelaksanaan sholat tarawih, kelompok NU berpegang pada jumlah 20 raka’at, sementara Muhammadiyyah berpegang pada jumlah 8 raka’at. Dalam pelaksanaan shholat Id, kelompok NU melakukannya di masjid, sementara orang Muhammadiyyah di lapangan terbuka.

Dalam bidang pendidikan, NU menggunakan gaya sorogan, menggunakan kitab kuning sebagai bahan kajian, yaitu kitab-kitab karya al-Ghazali dan beberapa pemikir lainnya, yang muncul pada abad Islam klasik.[94] Sementara dalam pendidikan yang dikelola Muhammadiyyah, menggunakan sistem klasikal, menggunakan kitab putih sebagai ganti dari kitab kuning.[95] Dan masih banyak lagi beberapa bentuk perbedaan yang lain, yang bisa dijadikan sebagai dasar dalam memilah masyarakat Islam di Indonesia, menjadi NU dan Muhammadiyyah.

Secara rigkas, dalam Islam ada banyak ragam sikap dari gerakan-gerakan berbasis Agama dalam menyikapi modernisasi. Pertama, mereka yang menunjukkan sikap skeptis dan protes terhadap perubahan mendasar dalam struktur kehidupan sosial, yang diakibatkan oleh modernisasi. Kedua, yang mengikuti modernisasi tetapi menentang sekularisasi. Ketiga, yang melakukan penyesuaian terhadap lingkungan modern, bahkan secara implisit menjadi agen penyebar sekularisasi,[96] karena di antara karakteristik abad modern adalah munculnya sekularisasi terhadap sistem keagamaan tradisional.[97]

Kelompok yang disebut terakhir ini memiliki pandangan bahwa munculnya sebuah modernitas memaksa adanya sebuah perubahan. Dan Agama selalu menghadapi perubahan, sehingga memaksa terjadinya pengembangan beberapa mekanisme keagamaan yang sesuai dengan keadaan.[98]



[1] Karen Amstrong, Islam: A Short History (London: Phoenix Press, 2001), 165.

[2] Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren (Jakarta: LP3IS, 1999), 10.

[3] Ismatillah A. Nu’ad, “Antara Muslim dan Sekularisme,” dalam Jawa Pos, Minggu, 30 Mei 2004.

[4] Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 4.

[5] Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of Social Change (Oxford: Westview Press, 1991), 8.

[6] Clifford Geertz, Islam Observed, Religious Development in Morocco and Indonesia (New Haven: Yale University Press, 1968), 3.

[7] Bassam Tibi, The Crisis of Modern Islam (Salt Lake City: University of Utah Press, 1988), 4.

[8] Ibid.

[9] Hallaq, the Dialectic of Doctrine & Practise, ….

[10] Andrew Rippin, Muslim (New York: Routledge, 1993), 19.

[11] A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 28.

[12] Malise Rothven, Islam in the World (Oxford: Oxford University Press, 1984), 354.

[13] Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation, 8.

[14] Bassam Tibi, The Crisis, 127.

[15] Ibid., 25.

[16] Dapat dilihat dalam william McCord, The Springtime of Freedom (New York: Oxford university press, 1965), 3-18.

[17] Parsudi Suparlan, “Kata Pengantar” dalam Hariusn Arsyad (ed.) Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Jakarta: DEPAG RI, 2000), 41.

[18] A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, 5.

[19] Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial (terj.) Alimandan SU (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 414.

[20] Manfred Halpen, “Toward Further Modernization of the Study of New Nations” dalam World Politics, 17 (Oktober 1996), 173.

[21] Aziz al-Azmeh, Islam and Modernities (London: Veerso, 1993), 39.

[22] Akbar S. Ahmed, Islam, Globalization and Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1994), 1.

[23] Daniel Lerner, The Passing of Traditional Society: Modernizing the Middle East (New York: The Press, 1958), 61.

[24] Andrew Rippin, Muslim, 284.

[25] David E. Apter, The Poitics of Nodernization (Chicago: Chicago Univ. Press, 1965), 43-44.

[26] Bassam Tibi, The Crisis of Modern Islam, 33.

[27] Reinhart Bendix, Nation Building and Citizenship (Garden City: anchor Books, 1964), 6.

[28] David E. Apter, The Poitics of Nodernization, 43-44.

[29] Akbar S. Ahmed, Islam, Globalization, 6.

[30] Ibid.

[31] Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan,415.

[32] Peter Berger, Facing Up to Modernity; Excursions in Society, Politics, and Religion (New York: Basic Book, 1977), 70-80.

[33] Andrew Rippin, Muslim, 17.

[34] D.J. Dwyer, “The City as a Centre of Change in Asia,” dalam Hans-Dieter Evers, Sosiologi Perkotaan (Jakarta: LP3ES, 1986), 7.

[35] Ibid., 9.

[36] Ibid., 7.

[37] Daniel Lerner, The Passing of Traditional Society: Modernizing the Middle East (New York: The Press, 1958), 61.

[38] Hans-Dieter Evers, Sosiologi Perkotaan, 49.

[39] Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan,83.

[40] Daiel Lerner, The Passing of Traditional Society (Clencoe: Free Press, 1958), 50.

[41] Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial, 4.

[42] Ibid., 10.

[43] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, 122.

[44] Toynbee, a Study of History (New York: Oxford University Press, 1947), 50.

[45] Roshental, Ibnu Khaldun, The Muqaddimah, an Introduction to History (Princeton: Princeton University Press, 1989), x.

[46] Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad: Javanese Islamic Education and Religious identity Construction (A Dessertation for the Degree Doctor of Philosophy in Arizona State University, 1997), 7.

[47] Ibid.

[48] Ibid.

[49] F.B. Burnhan (ed.) Postmodernism Theology (Sanfrancisco: Heper & Row Publisher, 1989), ix.

[50] Akbar S. Ahmed, Toward Islamic Anthropology; Definition, Dogma, dan Direction (USA: New Era Publications, 1986), 13.

[51] William Shepard, “Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378.

[52] Mengenai perbedaan dan persamaan antara kelompok modernis, fundamentalis, dan tradisionalis, baca Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World (London & New York: Kegan Paul International, 1987), 18-20. Kelompok modernis mengambil beberapa pemikiran Eropa, sementara kelompok konservatif menolaknya. Kelompok modernis melebur ke dalam beberapa elemen peradaban Eropa. Akbar S. Ahmed, Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), 29. Mengenai kesamaan dan perbedaan antara modernis dan fundamentalis, baca Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam (,,,,,,,,,,,,,,,,,).

[53] Patrick Bannerman, Islam and Perspective: A Guide to islamic Society, Politics and Law (London: Routledge, 1988), 156.

[54] Baca Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam, 18-20.

[55] William Shepard, “Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378.

[56]Ahmad Jaenuri, Ideologi Kaum Reformis (Surabaya: LPAM, 2002), 48-49.

[57] Dia menyatakan perlunya reformasi beberapa praktek ritual yang populer dalam Islam di masa itu, terutama beberapa praktek yang dimunculkan oleh kalangan sufi, seperti mengunjungi makam-makam wali dan lain sebagainya. Ia mengajak untuk kembali kepada ajaran al Qur’an dan Sunnah. Segala seuatu yang tidak ada dalam al Qur’an dan al Sunnah tidak boleh dilakukan. Andrew Rippin, Muslim, 30.

[58]Tokoh yang menentang bentuk formal hukum Islam, dan ia banyak menghabiskan waktunya di penjara. Andrew Rippin, Muslim, 272.

[59] Ibid., 271.

[60] Dari itu gerakannya sering disebut sebagai gerakan purifikasi. Ibid., 30.

[61] Fazlur Rahman, Islam: Challenges and Opportunies; Past Influence and present Challenge (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), 317-318.

[62] Ibid.

[63] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 13-18.

[64] Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburg: Edinburg University Press, 1985), 5.

[65] Hammis Syafaq, Wahhabiyyah, Paham Ortodoksi Islam abad Klasik, makalah kelas mata kuliah SPMDI S-2 IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2001.

[66] Bassam Tibi, Islam, 13.

[67] Ibid.

[68] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 18.

[69] William Shepard, “Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378., A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (jakarta: Rajawali, 1988),

[70] Daniel Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 2.

[71] Ahmad Hasan, The Doctrine of Ijma’ in Islam (Islamabad: Islamic Research Institute, 1976), 227.

[72] Andrew Rippin, Muslim, 31.

[73] Ibid., 32.

[74] John L. Esposito,”Modernisme”, Ensiklopedia Oxford; Dunia Islam Modern terj. Eva YN dkk. (Bandung: Mizan, 2002), 4, 75.

[75] Daniel Brown, Rethingking Tradition, 2.

[76] John L. Esposito,”Modernisme”, Ensiklopedia Oxford; Dunia Islam Modern terj. Eva YN dkk. 4, 75.

[77] Andrew Rippin, Muslim, 32.

[78] Bassam Tibi, Islam, 21.

[79] William Shepard, “Fundamentalism; Christian and Islamic, Religion, XVII (1987), 355-378.

[80] Andrew Rippin, Muslim, 35.

[81] Montgomery Watt, Islamic Theolory and Philosophy………………..

[82] Bassam Tibi, Islam and the Cultural, 8.

[83] Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad: Javanese Islamic Education and Religious identity Construction (A Dessertation for the Degree Doctor of Philosophy in Arizona State University, 1997), 38.

[84] Ibid., 125.

[85] Azyumardi Azra, Suplemen Republika, Kamis, 14 Maret 2002, hal. 7.

[86] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 185.

[87] Ibid., 183.

[88] Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), 89.

[89] Nurcholish Madjid mengatakan bahwa organisasi NU adalah organisasi khusus untuk orang di Jawa. Organisasi ini memiliki nama lain jika berada di luar Jawa, seperti Jam’iyah Washiliyah (di Sumatra Utara), Perti (di Sumatra Barat), Mathla’ul Anwar (di Banten), PUI (di Jawa Barat), Nahdlatul Watan (di NTB). Nurcholish Madjid, “Ahlussunnah Waljama’ah; Satu Paham, Dua Kultur”, dalam Lukman Hakim, Perlawanan Islam Kultural (Surabaya: Pustaka Eureka, 2004), xi-xv (Kata Pengantar).

[90] Lihat Azyumardi Azra, Islam Reformis, Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta: Rajawali Press, 1999), 88.

[91] Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban, 88.

[92] Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam, 14-15.

[93] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, 19.

[94] Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad, 126.

[95] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyyah, 107-108.

[96] Roland Robertson, Globalization, Politics and Religion: In the Changing Face of Religion, ed. James becford and Thomas Luckman (London: Sage, 1989), 10-23.

[97] Andrew Rippin, Muslim, 19.

[98] Ibid.




0 Comments: