IBN KHALDUN (Pemikirannya tentang Sejarah Peradaban)

Hammis Syafaq§

الملخص

إن ابن خلدون هو المؤرخ المسلم الذي ظهر في القرن الرابع عشر من الميلادي، ألف كتابا في تاريخ الحضارة، وله دور هام في سهم أفكاره في قضية الخلافة، ويعنيها من الجانب الاجتماعي و الجغرافي والتاريخي والحضاري وغيرها، في قضية ما نسميها بالعمران البشري. وقال بأن الحضارة ظهرت مع السيرة البشرية. وذلك أن الإنسان هو المنجز الحضاري. ونجد تلك الآراء القيمة من خلال كتابيه الأبرار والمقدمة. وحاول هذا البحث بيان شخصية ابن خلدون وآراءه في تلك القضية.

Abstrak

Adalah Ibn Khaldun, sejarawan muslim abad 14 mencoba menghadirkan sebuah karya tentang sejarah peradaban, dengan menyumbangkan pemikirannya tentang negara, ditinjau dari sisi sosiologis, geografis, historis, kultural dan sebagainya dalam sebuah konsep yang disebut “al ‘Umran al Bashari” (Human Association). Menurutnya, peradaban selalu muncul bersamaan dengan perjalanan manusia, sebab manusia adalah pelaku peradaban. Konsep-konsepnya itu dirangkum dalam kitab “Kitab al ‘Ibrar” dan “Muqaddimah”. Tulisan ini mencoba memaparkan sosok Ibn Khaldun beserta pemikirannya tersebut.

Keyword: Ibn Khaldun, Muqaddimah, Sejarah, Peradaban, Negara.

Muqaddimah

Peradaban telah menjadi pusat perhatian banyak kalangan, sebab konflik yang terjadi di Kashmir, Bosnia, Yugoslavia dan sebagainya adalah dikarenakan benturan antar peradaban yang berbeda, bahkan Huntington mengatakan bahwa peperangan terbesar di abad ini adalah peperangan peradaban,[1] dan negara-negara besar kebanyakan hancur bukan karena faktor eksternal, akan tetapi faktor internal, yaitu terjadinya konflik interen antar etnik yang heterogen, sebagai akibat dari perkembangan peradaban, sebagaimana yang terjadi pada peradaban Islam yang pada saat menjadi kekuatan besar peradaban dunia.[2]

Ada sebuah statemen yang terkesan menyudutkan ketika mensinyalir peradaban Islam, “Umat Islam telah ketinggalan kereta peradaban, berabad-abad umat Islam hanya menjadi penumpang yang ketinggalan, ketika negara-negara Barat mencapai puncak prestasi materi bahkan kritik jenuh, dunia Islam masih berupaya mengejar ketinggalan, bagaikan potret kura-kura yang tengah berjalan atau merayap tidak jauh dari tempat peluncuran pesawat ulang-alik, padahal, dulu ia pernah menjadi figur peradaban.”[3] Menurut Henry Kissinger Islam yang kekuatannya berpusat di dunia Arab memiliki posisi strategis, karena sebagai pusat kilang minyak dunia, akan tetapi tidak mampu menjadi kekuatan peradaban, bahkan dunia peradaban kini dikuasai oleh lima kekuatan besar, yaitu: U.S.A, Eropa, China, Jepang dan Rusia.[4]

Adalah Ibn Khaldun, sejarawan muslim abad 14 mencoba menghadirkan sebuah karya tentang sejarah peradaban, dengan menyumbangkan pemikirannya tentang negara, ditinjau dari sisi sosiologis, geografis, historis, kultural dan sebagainya dalam sebuah konsep yang disebut “al ‘Umran al Bashari” (Human Association). Menurutnya, peradaban selalu muncul bersamaan dengan perjalanan manusia, sebab manusia adalah pelaku peradaban.[5] Konsep-konsepnya itu dirangkum dalam sebuah kitab bernama “Kitab al ‘Ibrar” dan diringkas dalam sebuah pendahuluan yaitu “Muqaddimah”.[6]


Maka dalam tulisan ini penulis mencoba mengekspresikan sosok Ibn Khaldun dengan beberapa pemikirannya di bidang peradaban, meskipun untuk mengungkapkan gaya pemikiran seseorang sangat sulit,[7] sebab, pemikiran adalah hasil buah dari aksi manusia (human act), seperti aksi-aksi yang lainnya, ia selalu mengikuti aturan sosial, sebagaimana yang dikatakan oleh G.H. Mead bahwa perkembangan pemikiran adalah merupakan proses dari pengaruh yang lain, ketika seseorang berpikir, maka ia sedang berkomunikasi dengan yang lain, apapun bentuknya.[8]

Ibn Khaldun dan “Muqaddimah” (Prolegomena)

Secara garis besar, kehidupan Ibn Khaldun bisa dibagi menjadi empat periode:

1. Periode pertumbuhan dan pendidikan.[9]

Ibn Khaldun[10] lahir di Tunis pada tanggal 7 Mei 1332 dan wafat di Kairo pada tanggal 17 Maret 1406,[11] dalam beberapa buku sejarah, namanya sering ditulis dengan Abu Zayd ‘Abd al Rahman Ibn Khaldun al Hadrami.[12] Nama Khaldun diambil dari datuknya yang kedelapan yaitu Khalid, sebagai keturunan pertama dari keluarga ini yang masuk ke Andalusia pada abad 8 H pada masa penyebaran ajaran Islam.[13] Ia lahir dari keluarga yang sangat skolastik, dan banyak berpengaruh dalam dunia politik di masa itu,[14] ayahnya adalah gurunya pertama, wafat disaat Ibn Khaldun berusia 18 tahun.[15] Ibn Khaldun tercatat sebagai sejarawan di abad 14 M,[16] dan hidupnya banyak diwarnai oleh kondisi politik dan sosial yang tidak stabil.[17] Pada masa itu ia belajar kepada beberapa guru yang sangat skolastik, seperti Ibn Ibrahim al Abily dalam bidang ilmu-ilmu eksakta dan kepada Ibn ‘Abd al Muhaimin dalam bidang ilmu-ilmu agama.[18]

2. Periode Kepegawaian.

Masa ini diawali dengan bekerja sebagai “juru teken” (Master of Signature) di pemerintahan Ibn Tafrakin di Fez,[19] kemudian pada abu Inan di telemcen, di sini ia pernah dijebloskan ke dalam penjara selama dua tahun (1357-1358), karena dituduh berkhianat dengan merencanakan kudeta terhadap Abu Inan, dari situ ia kemudian bergabung dengan Muhammad V di Granada, dan pernah menjabat sebagai duta di Pedro. Semua jabatan ia peroleh karena kemampuannya dalam melobi beberapa kepala suku untuk mendukung pemerintahan di saat ini, dan di dalam berdiplomasi, serta kepiawaiannya dalam berpolitik,[20] kemudian ia bergabung dengan Abul Abbas di Bougie, yang akhirnya kembali ke Telemeen untuk bergabung dengan Abu Hanum.[21] Dari sini ia merasakan kejenuhan dalam petualangan politik untuk beralih ke dunia pengasingan (seclusion) di benteng Ibn Salamah.[22]

3. Periode Pengasingan (Seclusion)

Pada masa ini, ia menghabiskan hidupnya untuk menulis karyanya “Muqaddimah” di benteng Ibn Salamah di bawah naungan keluarga Banu ‘Arif selama empat tahun.[23] Karyanya ‘Muqaddimah’ telah menjadi kajian ilmiah dan bahan rujukan (warisan intelektual) bagi para ilmuan di masa itu dan sekarang, karena dinilai sangat obyektif dan relevan, sebagai bukti adalah diterjemahkannya buku itu ke dalam bahasa Perancis oleh De Slane dan ke dalam bahasa Inggris oleh Franz Roshental, ia tulis buku ini dengan pengalaman pribadinya selama masa petualangan politik dan sangat melihat segala fenomena sosial di saat sedang tidak stabil.[24]

Karena, ia melihat bahwa sejarah-sejarah yang ditulis pada saat itu sangat subyektif, hanya bersifat ‘artifisial’ belaka, yang berisikan dongeng-dongeng, atau cerita-cerita kosong tanpa masa lampau.[25] Padahal hakekat sejarah adalah sebuah tesis tentang sebuah fenomena historis melalui penelusuran yang mendalam disertai dengan pemahaman makna, dengan menyajikan sebuah pemikiran yang memiliki cita-cita moral yang disimpan di balik kejadian-kejadian masa lampau dengan dibekali oleh ilmu yang luas dan ketajaman analisa, sehingga mampu menjadi pedoman bagi seseorang yang ingin menelusuri jejak sebuah sejarah.[26]

Meskipun pengaruh pendidikan agama sangat kuat dalam pribadinya, namun dalam penulisan konsep-konsepnya ia tidak hanya menggunakan pendekatan agama, artinya, teori agama bukan satu-satunya, realitas sejarah adalah patokan utama, sesuai dengan pengalaman-pengalamannya, bacaan-bacaan yang ia pelajari serta hasil dari kontemplasi selama di benteng ‘Ibn Salamah’, karena ia melihat bagaimana manusia bergelut dengan kehidupan realitas untuk mempertahankan hidupnya.[27]

Setelah merampungkan proyek besarnya itu, ia merasakan adanya kejenuhan dalam dunia pengasingan, maka ia memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, yaitu Tunis sebagai tempat kelahirannya, namun ketenangan di sanapun tidak berlangsung lama, karena banyak intrik-intrik yang dilakukan oleh rival-rivalnya untuk menyudutkannya. Maka ia memutuskan untuk menunaikan ibadah Haji ke Makkah.

4. Periode Mengajar

Dalam perjalanannya menuju Makkah, ia melewati Alexandria-Mesir (1382), kemudian menuju Kairo karena beberapa alasan. Di Kairo ia mempergunakan masa hidupnya untuk mengajar ilmu-ilmu sosial dan kenegaraan di masjid al Azhar, akhirnya ia menerima tawaran untuk menjadi guru besar di ‘Zahiriyyah College’, baru lima tahun kemudian ia bisa menunaikan ibadah Haji (1387), sekembali dari haji, ia menetap di Kairo hingga wafat (16 Maret 1406).[28]

Ibn Khaldun dan Penulisan Sejarah

Dalam penulisan sejarah, Ibn Khaldun memberikan dua syarat[29]:

1. Klarifikasi berita, denga tujuan membedakan serta menjelaskan mana berita yang benar dan mana yang salah, mana yang sesuai dengan kenyataan dan mana yang tidak.
2. Menjelaskan hakikat dan makna yang ada di balik setiap kejadian sejarah secara tuntas, dengan tujuan mengetahui bagaimana terjadinya sejarah itu serta hubungannya antara kejadian di masa lampau dengan masa mendatang.

Pengertian sejarah dengan dua syarat yang integral inilah yang didengungkan oleh Ibn Khaldun di saat kebanyakan ahli sejarah lebih asyik dengan penulisan sejarah konvensional, yaitu menerima berita-berita dari nenek moyang mereka, seolah sejarah tidak jauh dari sebuah dongeng rakyat, cerita penghibur atau pengantar tidur, ‘betapa rendahnya nilai sejarah’, demikian mungkin ungkapan yang hendak dilontarkan oleh Ibn Khaldun.[30]

Hal itu juga disepakati oleh Sir George Clark dengan mengatakan bahwa para sejarawan pada generasi belakangan tidak pernah melihat ke prospek masa depan, mereka hanya berharap adanya revisi dari generasi penerusnya, sehingga dalam pembahasan sebuah sejarah mereka tidak pernah tuntas.[31] Menurut Edward, pemikiran masa lampau selalu menghilang bersama perjalanan manusia, sehingga sulit menemukan obyektifitas sejarah. Padahal menurut Gradgind, abad 19 adalah abad realitas, sebuah fakta sangat diperlukan dalam kehidupan manusia, dan itulah yang harus dipersembahkan oleh para sejarawan, karena sejarah harus meliputi kumpulan data yang otentik, yang menurut C.P. Scott, seorang jurnalis liberal, ‘fact is sacred, and opinion is free.[32]

Untuk mengetahui kebenaran sebuah fakta, kita harus mengetahui sosok sejarawannya, karena sebuah fakta bisa diputar balikan, ia bagaikan sack yang tidak bisa berdir tegak kecuali setelah berisi muatan.[33] Hal senada juga dikatakan oleh B. Crose, menurutnya fakta tidak pernah sampai kepada kita secara murni, ia bergantung kepada sumber yang menyampaikan.[34] Maka, menurut M. Oekeshott, sejarah itu ditulis harus berdasarkan kepada pengalaman yang dialami oleh penulis sejarah itu sendiri.[35] Maka Edward menyimpulkan bahwa sejarah adalah proses interaksi yang kontiniu antara sejarawan dan fakta, artinya, ketika kita belajar sejarah, kita harus pelajari dulu sejarawannya, dengan mengkaji pribadinya, lingkungan dimasa ia hidup, sebab pemikirannya adalah produk dari sosio-kulturalnya,[36] sebab, undang-undang logika tidak absolut, berkembang sesuai dengan kondisi sosial, ia adalah produk dari perdebatan, komunikasi dan interaksi.[37]

Dan inilah yang telah disumbangkan oleh Ibn Khaldun dalam karyanya, sehingga mampu menjadi disposal untuk spesialisasi ilmu-ilmu sejarah, politik, sosiologi, etika, teologi dan lainnya. Bahkan ia tercatat sebagai bapak ilmu-ilmu negara, [38] sosiolog dan sejarawan diabad 14, dan merupakan orang pertama yang menyumbangkan sebuah konsep tentang ilmu tata negara dan sosiologi pada saat ia masih berusia 45 tahun.[39]

Ibn Khaldun dan Negara

Manusia adalah makhluk berpolitik (man is political by nature),[40] artinya, manusia tidak bisa hidup menyendiri, dan untuk mencapai segala kebutuhannya, ia membutuhkan sebuah kelompok, organisasi atau negara, sebagai tempat berkumpul bersama dengan yang lainnya untuk memenuhi segala kebutuhannya.[41] Ketika sekelompok orang membentuk organisasi sosial, negara berdiri dan peradaban akan muncul, manakala organisasi sosial itu menjadi populous, peradaban yang lebih besar menjelma Organisasi sosial itu, dalam bentuknya yang kompleks selalu berada di perkotaan (civitas).[42]

Karena organisasi sosial dalam bentuknya yang kompleks selalu berada di kota (civitas), maka, perkotaan merupakan cikal bakal berdirinya sebuah negara atau dinasti para penguasa (dawlah), negara atau dinasti membangun kota dagang sebagai pusat administrasinya. Sebagai contoh, dinasti Abbasiyyah mendirikan Baghdad dan Samara, dinasti Fatimiyyah mendirikan kota Kairo sebagai kota dagang dan seterusnya, akhirnya, kota-kota itu menawarkan para imigran dari desa berbagai lapangan pekerjaan baik di pemerintahan, kemiliteran atau birokrasi lainnya.[43]

Kota menyediakan kesempatan usaha untuk mengejar keuntungan melalui kegiatan-kegiatan dagang, kota juga menghimpun bermacam-macam usaha di bidang kerajinan, seperti perkayuan, barang pecah belah, arsitektur, tekstil, konfeksi dan lain-lainnya, makin besar kota dagang, makin besar kesempatan lapangan pekerjaan yang diciptakan, maka kota dagang menjadi titik vokal suatu negara atau kerajaan.[44] Dan menurut Ibn Khaldun, ketika sebuah negara runtuh, maka kota dagang juga ikut runtuh bersama peradabannya.[45] Dan kekuatan suatu negara sangat ditentukan oleh kekuatan ‘Asabiyyah’ (group-feeling) atau loyalitas anggota atau warganya kepada negaranya.[46]

Teori Ibn Khaldun tentang hidup bernegara ini kemudian dikembangkan oleh para kaum cendekia, dimana mereka sepakat bahwa negara dan individu diibaratkan sebagai induk ayam dan telur, kedua-duanya tidak bisa dipisahkan, karena saling melengkapi, karena manusia merupakan bagian daripada dunia, semenjak manusia dilahirkan, manusia sudah masuk dalam kesatuan sosial, sehingga pertumbuhannyapun dimodifikasi oleh masyarakatnya, bahkan karakter seseorang adalah produk dari kondisi masyarakatnya.[47]

Ibn Khaldun dan ‘Asabiyyah’ (group-feeling)

‘Asabiyyah’ (group-feeling) berasal dari bahasa Arab yang berarti mengikat (to bind),[48] yaitu mengikat sekelompok orang dalam sebuah komunitas. Pada saat datangnya Islam, Muhammad mencoba untuk merubah tradisi ‘Asabiyyah’ yang muncul di kalangan bangsa Quraisy pada saat itu dari fanatik terhadap sukunya kepada fanatik kepada Islam, dan ini pada mulanya sangat sulit untuk diterapkan, sebab masyarakat Arab pada saat itu masih primitif yang kesukuannya masih kuat, sebagaimana yang dijelaskan di atas bagaimana tradisi ‘Asabiyyah’ dalam masyarakat nomadic. Kemunculan Nabi-nabi palsu sendiri pada pasca rasulullah adalah sebagai indikasi dari ‘Asabiyyah’ yang masih melekat dalam pribadi bangsa Arab pada saat itu.[49]

Dalam ‘Muqaddimah’nya, Ibn Khaldun telah mengutarakan dengan panjang lebar tentang ‘Asabiyyah’ (group-feeling), dimana dalam teorinya perputaran lingkaran peradaban (Daurat al Hadarah) ‘Asabiyyah’ merupakan inklinasi ilmiah dalam diri manusia sejak keberadaannya dimuka bumi. Inklinasi ‘Asabiyyah’ inilah yang mendorong satu jenis kelompok manusia untuk berkumpul dan berkelompok, saling bahu membahu dan saling membela. Dari sini bisa dikatakan bahwa kemenangan politik tidak bakal terwujud kecuali dengan kekuatan, dan kekuatan itu tidak akan terwujud kecuali dengan asabiyyah.[50]

Akhirnya Ibn Khaldun menyimpulkan bahwa kekuatan sebuah negara sangat bergantung pada kwalitas ‘Asabiyyah’ rakyatnya. Idenya tentang ‘Asabiyyah’ ini didasari oleh pengamatannya terhadap kehancuran yang dialami oleh suku primitif ‘Banu Hilal’ dan kejayaan serta runtuhnya dinasti ‘al Mohads’ (al Muwahhidun) dan ‘al Moravids’ (al Murabitun).[51]

Ibn Khaldun dan Kepemimpinan

Menurut teori Ibn Khaldun, negara membutuhkan seorang pemimpin (leader), yang mampu mengatur dan memimpin rakyat, dan mengayomi mereka, serta melindungi dari segala serangan dari lawan. Meka menurutnya seorang pemimpin yang ideal adalah yang mampu menjadi figur, punya kharisma, berwawasan luas, intelektualnya tidak diragukan (educated), dan disukai oleh rakyat, atau yang memiliki ‘Asabiyyah’ dari rakyatnya,[52] dan tidak musti dari kaum Quraysh sebagaimana beberapa pendapat yang ada selama ini.[53]

Bahkan ketika terjadi konflik antara Ali dan Mu’awiyyah atau antara Huseyn dan Zayd, ia menilai kebenaran ada dipihak Mu’awiyyah dan Zayd sebab ‘Asabiyyah’ terhadap mereka lebih kuat daripada terhadap Ali dan Huseyn. Dan karena itulah Ali dan Zayd terancam.[54] Karena pemimpin dipilih atas dasar suara mayoritas, yang itu bisa didapatkan dengan kekuatan ‘Asabiyyah’. Maka ‘Asabiyyah’ menurut Ibn Khaldun adalah motor bagi perkembangan suatu negara.[55] Mengatakan Hadits Nabi yang menyatakan bahwa pemimpin harus dari Quraysh, ia mengatakan bahwa hadits itu muncul disaat bangsa Quraysh sangat kuat pengaruhnya dan ‘Asabiyyah’ yang ada dalam kelompok itu dimasa itu juga sangat kuat, tidak seperti sekarang.

Karena rakyat harus tunduk kepada pemimpin, maka seorang pemimpin yang patut dita’ati oleh rakyatnya adalah mereka yang memiliki kecakapan sebagai berikut, pertama: benar-benar memiliki kecapan tentang mengatur sebuah negara, dan mampu membuat sebuah keputusan yang sesuai dengan tuntutan syari’ah, dari sini kelihatan bahwa teori politik Ibn Khaldun tidak melepaskan negara dari agama, kedua: seorang pemimpin harus memiliki sifat adil (‘adalah), artinya ia mampu menempatkan segala sesuatu pada posisinya, sesuai dengan aturan yang ada, ketiga: ia terbebas dari segala tekanan, sehingga dalam memutuskan segala perkara, dan dalam menjalankan tugasnya, tidak mengada-ada.[56] Disamping itu, pemimpin tadi benar-benar mendapatkan dukungan dari rakyatnya, karena melihat pengalaman yang terjadi dalam konflik antara Ali dan Mu’awiyyah atau antara Huseyn dan Zayd.

Ibn Khaldun dan Peradaban

Ibn Khaldun membagi komuntas menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Nomadic dan Civilized, didasarkan atas pengalamannya selama hidup diantara dua batas (margin) yaitu antara ‘nomadism’ dan ‘civilization’, yang itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, dan perpindahan dari gaya nomadic kegaya sedentary itu menjadi kelaziman bagi manusia dalam hidupnya di dunia, sebagaimana yang dikatakan oleh Toynbee bahwa perpindahan (mutation) dari masyarakat primitif ke masyarakat berperadaban (civilized), dan dari kondisi yang statis ke kondisi dinamis adalah suatu hal yang natural dalam sejarah peradaban,[57] dimana perpindahan itu dilalui dengan tiga proses:[58]

1. Masa Nomadic (badawah)

Yaitu bentuk kehidupan yang dialami kaum nomad di padang pasir, orang-orang Bar-bar di pegunungan, Tar-tar di padang rumput, mereka tidak mengenal aturan dan tidak mau tunduk kepada aturan-aturan dan undang-undang sipil yang baku, arah kehidupannya ditentukan oleh kebutuhan hidup yang mendesak dan bersifat sederhana, tradisionil.[59] Akan tetapi ‘Asabiyyah’ (group-feeling) dalam kehidupan bermasyarakat sangat kuat, karena ketergantungan mereka golongannya lebih kuat daripada civilized,[60] semakin primitif masyarakat itu, semakin kuat ‘Asabiyyah’ dalam masyarakat itu,[61] dan mereka sangat taat kepada aturan-aturan agama dan selalu tunduk kepada ‘syeikh’ yang mereka nobatkan sebagai pemimpin, atau figur, dan mereka sangat memegang prinsip kaumnya, artinya pemikirannya sangat idealis, kolot, tidak terbuka,[62] atau ‘sacred’ (sacred thought-style) dalam bentuk yang absolustik, eternalistik dan spiritualistik,[63] dan mereka sangat pemberani.[64]

2. Masa Pembentukan Sebuah Organisasi (al ‘Umran)

Ini didasari oleh fanatisme yang kuat terhadap golongan tadi (‘Asabiyyah) sehingga ada keinginan untuk membuat satu kekuatan dengan membentuk sebuah ikatan organisasi.[65]

3. Masa Peradaban (Civilization)

Ini adalah perkembangan dari pembentukan organisasi sosial tadi (al Umran al Basyari), dan merupakan tujuan daripada sebuah peradaban, dalam periode ini kelompok tadi membentuk sebuah negara untuk menjadi sentral kegiatan, dan negara tadi akan membangun kota dagang sebagai pusat perekonomian, dan peradaban, pada saat ini kehidupan mulai stabil dan meningkat pesat, beberapa bangunan mewah mulai dibangun, gaya hidup mulai berubah, baik dalam seni bangunan (arsitek) maupun dalam masalah sandang, pangan menjadi lebih modern dari sebelumnya, dalam bahasa Roshental mereka disebut ‘sedentary people’.[66] Pada saat ini, pemikiran mereka mulai terbuka (open-minded), bahkan sekuler (secular thought-style) dalam bentuknya yang kontras, relativistik, temporalistik dan materialistik,[67] tidak seperti masyarakat desa yang sangat terkukung dengan tradisi masyarakatnya.[68]

Faktor kemewahan itulah yang nantinya akan membuat negara menjadi hancur bersama peradabannya, sebab masyarakatnya mulai lalai, terlena dan mulai malas, bahkan loyalitas terhadap kelompoknya (Asabiyyah) sudah mulai hilang, hidup mulai individu, tidak ada lagi rasa kebersamaan.[69] Sebagaimana yang diibaratkan Toynbee bahwa peradaban itu seperti orang yang naik tebing, ketika ia mencapai puncak, ia terkadang lupa, dan akhirnya terpeleset jatuh dan mati.[70]

4. Masa Kehancuran.

Karena gaya hidup yang semakin meningkat, maka pada masa ini pengaruh dunia luar sangat deras dan masyarakatnya mulai terbawa oleh arus, ‘Asabiyyah’ (group-feeling) mulai melemah, maka faktor eksternal mulai beraksi, peradaban mereka sedikit demi sedikit mulai sirna dijajah oleh peradaban luar, bahkan mereka lebih bangga mengkonsumsi peradaban luar daripada lokal, dan tidak terasa bahwa mereka sedang dijajah, sehingga akhirnya masyarakat kehilangan jati dirinya, dan kembali kepada kehidupan primitif seperti semula, kebiasaan itu menurut Toynbee merupakan sifat kaum primitif disaat menikmati sebuah kemewahan, ia sering kehilangan kendali, dan akhirnya terlena dengan kesuksesannya.[71]

Dari uraian diatas Ibn Khaldun menyimpulkan bahwa peradaban adalah seperti makhluk hidup lainnya (mortal),[72] ia tumbuh, membesar lalu sirna ditelan oleh waktu, dan itu merupakan sunnatullah,[73] karena peradaban itu bersifat abstrak, dinamis,[74] bahkan ia membatasi umur daripada peradaban tidak lebih dari tiga generasi, atau sekitar 120 tahun,[75] disini terlihat bahwa Ibn Khaldun dalam teorinya mempergunakan pendekatan biologis dalam mengamati perkembangan sebuah negara,[76] dan juga pendekatan sosiologis.[77]

Peradaban –menurut uraian diatas- diidentikkan dengan perpindahan kaum nomadian ke kota (urbanisasi) untuk merubah gaya hidup menjadi lebih modern (civilized-life), yang dalam bahasa Arab biasa dibahasakan dengan al Madaniyyah sebagai istilah yang diungkapkan untuk sebuah bentuk kehidupan di kota.[78] Yang dalam istilah Roshental disebabkan oleh arus urbanisasi.[79] Istilah itu dalam perkembangannya dibahasakan oleh Ibn Khaldun dengan al ‘Umran al Bashari’ (human association). Nabi sendiri sejak 16 abad silam telah meletakkan terminologi al madaniyyah (civilization), yaitu ketika menggantikan nama Yathrib menjadi ‘al Madinah al Munawwarah’ sebagai upaya untuk merubah masyarakat primitif menjadi masyarakat baru yang memegang utuh syari’ah dan mengikuti pemimpin yang diteladani.[80]

Dari sini bisa disimpulkan bahwa peradaban ‘merupakan hasil yang telah dicapai atau diciptakan oleh sekelompok manusia yang bersatu dalam sebuah komunitas atau organisasi sosial untuk meningkatkan gaya hidupnya baik dibidang ekonomi, politik, industri dan yang lainnya.’[81] Dan hal itu sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Ibn Khaldun dalam istilahnya ‘al Umran al Bashari’ yang berarti organisasi sosial (human association), sebab, ketika organisasi sosial dibentuk, peradaban (al Umran) akan muncul.[82]

Ibn Khaldun mengatakan bahwa arsitektur merupakan cerminan daripada sebuah peradaban, karena dengan kekuasaannya yang besar ia akan membangun monumen-monumen besar, seperti yang dilakukan oleh Umayyah dengan membangun masjid Agung di Damaskus, serta membangun Qubah batu raksasa (Qubba al Sakhrah) yang lebih dikenal dengan sebutan ‘the dome of the rock’ di Quds-Yerussalem. Ibn Khaldun mengatakan bahwa untuk membangun peradaban membutuhkan pekerja-pekerja dan teknisi-teknisi yang terampil, seperti penjahit-penjahit, para arsitek, tukang kayu, designer dan lain sebagainya.[83]

Kemudian ia menggolongkan beberapa keahlian yang dibutuhkan suatu peradaban, dan ia mengatakan ada keahlian-keahlian lain yang lebih penting dari itu semua, yaitu, kebidanan, seni tulis, produksi buku, seni sastra, dan kedokteran. Ilmu kebidanan sangat penting karena ia sangat diperlukan dalam peradaban, ia melibatkan semua pihak, karena bertanggung jawab atas hidupnya bayi-bayi yang baru lahir, sementara manusia adalah penggerak peradaban, begitu juga dengan ilmu kedokteran, karena ia mengawasi kesehatan manusia, seni tulis juga menjadi perhatiannya karena dengan seni itu akan terbit buku-buku yang memelihara hal-hal yang diingat oleh manusia dan menjaganya dari lupa, buku-buku itu memungkinkan munculnya peradaban.[84]

Demikian halnya dengan seni musik dan suara adalah merupakan manifestasi dari peradaban, karena menurutnya, jika sebuah peradaban muncul, maka musik juga akan muncul, jika peradaban mengalami kemunduran, musik juga akan menghilang, sebagaimana yang dialami oleh kesenian-kesenian Arab pada zaman dahulu, semuanya muncul bersamaan dengan kemajuan peradaban Islam, perkembangannya sangat pesat dipusat-pusat peradaban Islam, seperti di Baghdad, Cordova, Kairo, Istanbul dan lain sebagainya disaat peradaban Islam mencapai puncak kejayaan, sekarang semua itu sudah mengalami deteriorasi.[85]

Ibn Khaldun juga membahas tentang ilmu pengetahuan sebagai tanda kemajuan peradaban, seperti fisika, geometri, aritmetik, astronomi, aptik, dan seterusnya, karena ia melihat ilmu-ilmu itu mengalami kemunduran di kota-kota dimana peradaban mulai runtuh, sehingga ia menyimpulkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan sangat bergantung kepada kemajuan peradaban dan negara.[86] Seperti yang terjadi di Yunani ketika menjadi pusat ilmu pengetahuan, disaat itu kondisi sosial sangat demokratis dan liberal dalam hal pemikiran, sehingga siapapun sangat bebas mengemukakan pendapatnya tanpa takut pada ancaman hukuman.[87]

Dan berdasarkan perbedaan antara badawa dan hadarah di atas Ibn Khaldun membagi bentuk sebuah pemikiran menjadi dua, yaitu bentuk yang ‘sacred’ (sacred thought-style), ini ditonjolkan oleh kelompok primitif, dan yang kedua adalah bentuk pemikiran sekuler (secular thought-style) yang ditonjolkan oleh kelompok berperadaban (civilized people).

Teori Ibn Khaldun ini ditandai dengan sifat teoritisnya yang determinis, artinya Ibn Khaldun membatasi sejarah peradaban dalam lingkup gerak peralihan dari fase nomadic ke fase civilized, ia berputar, bersifat spiral dan tidak berjalan searah, artinya, peradaban ada saatnya muncul, berkembang, maju, kemudian surut dan akhirnya punah, sehingga pantaslah kiranya teorinya itu disebut sebagai determinasi sejarah.[88]

Ikhtitam

Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa Ibn Khaldun dengan karyanya yang spektakuler yaitu ‘Muqaddimah’ telah mampu menyumbangkan pemikiran di abad 14 disaat belum ada yang mampu menciptakan sebuah karya yang setingkat dengannya, dan sekarang karya itu menjadi warisan intelektual bagi kita semua.[89] Pemikirannya sangat logis,[90] meskipun posisi syari’ah menurutnya sangat dibutuhkan dalam kehidupan bernegara, sebab tanpa syari’ah hidup seseorang akan terombang-ambing tidak terarah. Dan elemen syari’ah ini sangat esensial dalam teori politiknya, karena menurutnya, penerapan syari’ah sebagai ‘absolut power’ dalam pemerintahan, ‘al Umran al Bashari’ (human association) akan mampu bertahan dari serangan anarki, destruksi-pribadi.[91]

Pemikirannya itu sangat dipengaruhi oleh kondisi keagamaan di Afrika Utara yang sangat kuat pengaruhnya disaat itu, serta pengalaman sejarah Islam, dan dari beberapa bacaan yang ia pelajari, serta dari hasil kontemplasinya selama di pengasingan (seclusion).[92] Iapun mengatakan bahwa salah satu diantara sebab runtuhnya sebuah peradaban adalah ketidak adilan, dengan menyalah gunakan kekuasaan, penyelewengan kekuasaan dan penindasan kaum buruh.[93]

Daftar Pustaka

‘Asi, Huseyn. Ibn Khaldun Muarrikhan. (Beirut: Dar el Kutub al ‘Ilmiyyah, 1991).

Al Khashab, Samiyah Mustafa. ‘Ilm al Ijtima’ al Islami. Kairo: Dar el Ma’arif, 1980.

Al Khatib, Sulayman. Usus Mafhum al Hadarah Fi al Islam. (Kairo: al Zahra’, 1986).

Al Khatib. Falsafah al Tarikh. (Kairo: Dar el Ma’arif, 1954).

Al Sa’ati, Hasan. ‘Ilm al Ijtima’ al Khalduni. (Kairo: Dar el Ma’arif, 1978).

Ba’ali, Fuad and Wardi, Ali. Ibn Khaldun and Islamic Thought-Style. (Boston: Massechustis, 1981).

Ba’ali, Fuad. Society, State and Urbanisme, Ibn Khaldun’s Sociological Thought. (New York: State University of New York Press, 1988).

Bakti, Andi Faisal. The Political Thought and Communication. (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998).

Clark, Sir Geroge. The Cambridge Modern History. (Cambridge: Cambridge University Press, 1907).

Crose, B. History of The History of Liberty. (t.t.: English, 1941).

Dewey, J. Human Nature and Conduct, (New York: Modern Library, 1930).

Enan, M.A. Ibn Khaldun, His Life and Work. (Lahore: Ashraf Press, 1969).

Gibb, A.R. Hamilton. Studies on The Civilization of Islam. (Princeton University Press, 1982).

Hallet, Edward Carr. What is History. (New York: St. Martin’s, 1961).

Hitti, Philip, K. History of The Arabs, (London: Macmilton Press, 1974).

______. Makers of Arab History. (London: Horpers Raws, 1971).

Huntington, Samuel P. The Clash of Civilizations and Remaking of World Order. (London: Simon and Schuster Ltd, 1996).

Ibn Khaldun. Muqaddimah. (Lebanon: Dar el Kutub al ‘Ilmiyyah, 1993).

Jabbar Beg, M. A. Towards Concept of Islamic Civilization. The Muslim World League Journal, Nov-Dec, 1983.

Lawrence, Bruce B. Ibn Khaldun and Islamic Ideology. (Leiden: E.J. Brill, 1984).

Mahdi, M. Ibn Khaldun’s Philospy of History. (London: t.p., 1957).

Mannheim, Karl. Ideology and Utopia. (New York: Har court, Brace, 1936).

Mead, G.H. Mind, Self and Society. (Chicago: University of Chicago Press, 1939).

Nicholson, R.A. A Literary History of The Arabs. (Cambridge: Cambridge University Press, 1952).

Oekeshott, M. Experience And Its Modes. (Cambridge: Cambridge University Press, 1952).

Rabi’, M.A. The Political Theory of Ibn Khaldun. (Leiden: E.J. Brill, 1967).

Roshental, Franz. Ibn Khaldun, The Muqaddimah, An Introduction to History. (Princeton: Princeton University Press, 1989).

Sharif, ‘Abdullah. Al Fikr al Akhlaqi ‘Inda Ibn Khaldun. (Al Jazair: Muassasah Risalah, 1984).

Sorokin, P.P. Social and Cultural Dynamics. (New York: American Book Co, 1941).

Subhi, Ahmad Mahmud. Falsafah al Tarikh. (Alexandria: Muassasah Risalah, t.t).

Toynbee, Arnold J. A Study of History. (New York: Oxford University Press, 1947).

Watt, W. Montgomery. Islamic Political Thought. (Edinbrugh: Edinbrugh University Press, 1987).

Zadeh, Saleh Faghir. Sociology of Sociology; In Search of Ibn Khaldun’s Sociology, Then and Now, (Teheran: The Sorouch Press, 1982).

Zaqzuq, M. Hamdi. Al Hadarah al Islamiyyah al Faridah. (Kairo: The Contemporary Muslim, 1992).

[1] Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and Remaking of Worl Order (London: Simon and Schuster Ltd, 1996), hlm.28.

[2] Arnold J. Toynbee, A Study of History (New York: Oxford University Press, 1947), hlm.245.

[3] M. Hamdi Zaqzuz, al Hadarah al Islamiyyah al Faridah (Kairo: The Contemporary Muslim, 1992), hlm.63.

[4] Huntington, The Clash, hlm.28.

[5] Sulayman al Khatib, Usus Mafhum al Hadarah fi al Islam (Kairo: al Zahra, 1986), hlm.7.

[6] Lih. Andi Faisal Bakti, The Polotical Thought and Communication of Ibn Khaldun, dalam The Dynamics of Islamic Civilization (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm.233-250., Fuad Ba’ali and Ali Wardi, Ibn Khaldun and Islamic Thought Style (Boston: Massechusetis, 81), hlm.1.

[7] J. Dewey, Human Nature and Conduct (New York: Modern Library, 1930), hlm.3.

[8] G.H. Mead, Mind, Self and Society (Chicago: University of Chicago Press, 1939), hlm.152.

[9] Samiyah Mustafa al Khashab, ‘Ilm al Ijtima’ al Islami (Kairo: Dar el Ma’arif, 1980), hlm.98.

[10] Namanya ‘Abd al Rahman Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Khaldun al Hadrami (Andi Faisal, The Political Thought, hlm.233., Huseyn ‘Asi, Ibn Khaldun Muarrikhan (Beirut: Dar el Kutub al ‘Ilmiyyah, 1991), hlm.7.

[11] Ibn Khaldun, Muqaddimah (Lebanon: Dar el Kutub al ‘Ilmiyyah, 1993), hlm.3.

[12] R.A. Nicholson, a Literary History of The Arabs (Cambridge: Cambridge University Press, 1974), hlm.437., Philip K. Hitti, Makers of Arab History (London: Horpers Raws, 1971), hlm.241.

[13] Fu’ad Ba’ali and Ali Wardi, Ibn Khaldun and Islamic, I., Philip K Hitti, History of The Arabs, (London: Macmilton Press, 1971), hlm.568.

[14] Toynbee, A Study, hlm.218.

[15] Ba’ali and Wardi, Ibn Khaldun and Islamic, 1.

[16] Toynbee, A Study, 218.

[17] Huseyn Asi, Ibn Khaldun Muarrikhan (Beirut: Dar el Kutub al ‘Ilmiyyah, 1991), hlm.17.

[18] Ba’ali and Wardi, Ibn Khaldun and Islamic, hlm.1.

[19] Philip K. Hitti, Makers of Arab History, hlm.242.

[20] M.A. Enan, Ibni Khaldun, His life and work (Lahore: Ashraf Press 1969), hlm.38.

[21] Al Khashab, ‘Ilm al Ijtima’, hlm.42.

[22] Ba’ali and Wardi, Ibn Khaldun and Islamic, hlm.3.

[23] Ibid.

[24] Lih. Hamilton A.R. Gibb, Studies on The Civilization of Islam (Princeton: Princeton University Press, 1928), hlm.166-171.

[25] Al Khashab, ‘Ilm al Ijtima’, hlm.167.

[26] Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm.7.

[27] Ahmad Mahmud Subhi, Falsafah al Tarikh (Alexandria: Muassasah Risalah, t.t.), hlm.130.

[28] Enan, Ibn Khaldun, His Life, hlm.65.

[29] Ahmad Mahmud Subhi, Falsafah at Tarikh (Alexandria: Muassasah Risalah, t.t), hlm.130.

[30] Lih. Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm.8.

[31] Lih. Sir George Clark, The Cambridge Modern History (Cambridge: Cambridge University Press, 1907), hlm.10-12.

[32] P. Scott, dalam Edward Hallet Carr, What is History (New York: St. Martin’s, 1961), hlm.42-43.

[33] Ibid., hlm.45.

[34] B. Cross, History of The History of Liberty (t.t.: English, 1941), hlm.19.

[35] M. Oekeshott, Experience and Its Modes (Cambridge: Cambridge University Press, 1952), hlm.46.

[36] Edward Hallet Carr, What is History (New York: St. Martin’s 1961), hlm.5.

[37] Fuad Ba’ali and Ali wardi, Ibn Khaldun and Islamic, hlm.11.

[38] M. Mahdi, Ibn Khaldun’s Philospy of History (London: t.p., 1957), hlm.36., Philip K. Hitti, Makers, hlm.253.

[39] W. Montgomery watt, Islamic Political Thought (Edinbrugh: Edinbrugh University Press, 1987), 107

[40] Franz Roshental, Ibn Khaldun, The Muqaddimah, An Introduction to History (Princeton: Princeton University Press, 1989), hlm.45.

[41] Abdullah Sharif, al Fikr al Akhlaqi ‘Inda Ibn Khaldun (al Jazair: al Muassasah al Wataniyyah, 1984), hlm.187.

[42] Roshental, The Muqaddimah, hlm.53.

[43] Ibid., hlm.91., Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm.96.

[44] Lih. M. A. Jabbar Beg, Towards Concept of Islamic Civilization, The Muslim World League Journal, Nov-Dec, 1983, hlm.38-42.

[45] Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm.270.

[46] Faisal, The Political, hlm.239.

[47] Edward, What is History, hlm. 25

[48] Fuad Ba’ali, Society, state and Urbanism, Ibn Khaldun’s Sociological Thought (New York: State University of New York Press, 1988), hlm.43.

[49] M.M. Rabi’, The Political Theory of Ibn Khaldun (Leiden: E.J. Brill, 1967), hlm.48.

[50] Ibid., hlm.13.

[51] Ibid., hlm.49.

[52] Ba’ali, Society, hlm.55.

[53] Ba’ali and Wardi, Ibn Khaldun and Islamic, hlm.26.

[54] Ibid., hlm.18-23.

[55] Faisal, The Political, hlm.239.

[56] Ba’ali and Wardi, Ibn Khaldun and Islamic, hlm.13.

[57] Toynbee, A History, hlm.50.

[58] Saleh Faghir Zadeh, Sociology of Sociology; In Search of Ibn Khaldun’s Sociology Then and Now (Teheran: The Sorouch Press, 1982), hlm.55-57.

[59] Hasan al Sa’ati, ‘Ilm al Ijtima’ al Khalduni (Kairo: Dar el Ma’arif, 1978), hlm.145.

[60] Huntington, the Clash, 39., Edward, What is, hlm.26.

[61] Philip K. Hitti, Makers of Arab, hlm.253.

[62] Ba’ali and Wardi, Ibn Khaldun and Islamic, hlm.17.

[63] P.A. Sorokin, Social and Cultural Dynamics (New York: American Book Co, 1941), hlm.183

[64] Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm.98-102.

[65] Ibid., hlm.122.

[66] Roshental, Ibn Khaldun, The Muqaddimah, hlm.x.

[67] Ba’ali and Wardi, Ibn Khaldun and Islamic, hlm.131.

[68] Karl Mannheim, Ideology and Utopia (New York: har court, Brace, 1936), hlm.253.

[69] Ibid., 138., Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: Macmilton Press, 1974), hlm.280.

[70] Toynbee, A Study, hlm.190.

[71] Ibid., hlm.260.

[72] Hal senada juga dikatakan oleh Huntington. Bahwa peradaban itu bersifat mortal, ia tumbuh, kemudian berkembang, tapi selanjutnya menghilang. (lih. Huntington, The Clash, 44).

[73] Faisal, The Political Thought, hlm.235.

[74] Ibid., hlm.42.

[75] Toynbee, A Study, hlm.173.

[76] M.M. Rabi’, The Political Theory of Ibn Khaldun (Leiden: E.J. Brill, 1967), hlm.39.

[77] Ibid., hlm.30.

[78] Lih. Sulayman al Khatib, Usus Mafhum al Hadarah, hlm.24.

[79] Roshental, Ibn Khaldun, hlm.91.

[80] M. Hamdi Zaqzuq, al Hadarah al Faridah, hlm.63.

[81] Roshental, Ibn Khaldun, hlm.45.

[82] Ibid., hlm.xi.

[83] Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm.319-324.

[84] Ibid., hlm.324-340.

[85] Roshental, Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm.318-332.

[86] Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 344.

[87] Ba’ali and Wardi, Ibn Khaldun and Islamic, hlm.11.

[88] Al-Khatib, Falsafah al Tarikh (Kairo: dar el Ma’arif, 1954), hlm.12.

[89] Toynbee, A Study of History, hlm.217-218.

[90] M.A. Gibb, Studies, hlm.171.

[91] Bruce B. Lawrence, Ibn Khaldun and Islamic Ideology I (Leiden: E.J. Brill, 1984), hlm.125.

[92] M. Enan, Ibn Khaldun, hlm.23-24.

[93] Ibid., hlm.25.

§ Dosen tetap pada fakultas Ushuluddin IAIN Surabaya dan kandidat doctor pada perguruan tinggi yang sama.




0 Comments: