Urgensi Peradaban Dunia Islam Modern
Hammis Syafaq*
Pendahuluan
Kajian tentang peradaban telah menjadi pusat perhatian banyak kalangan, di antaranya oleh
* Asisten Direktur Pesantren Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya. Direktut Ma’had Aly Pesantren Fadhlillah Waru Sidoarjo. Makalah ini disampaikan dalam acara Pelantikan dan Peringatan Tahun Baru Islam di Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan pada Hari Kamis, 5 Pebruari 2009.
[1] Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and Remaking of World Order (London: Simon and Schuster Ltd., 1996), 28.
[2]
Ada statemen dari Hamdi Zaqzuq, Guru Besar Filsafat Islam dari Universitas al-Azhar yang menjabat sebagai Menteri Perwakafan di Mesir, bahwa umat Islam telah ketinggalan kereta peradaban, berabad-abad umat Islam hanya menjadi penumpang yang ketinggalan, bagaikan potret kura-kura yang tengah berjalan atau merayap tidak jauh dari tempat peluncuran pesawat ulang-alik, padahal dulu ia pernah menjadi figur peradaban.[1]
Ungkapan serupa juga disampaikan oleh Henry Kissinger, bahwa Islam yang kekuatannya berpusat di dunia Arab memiliki posisi strategis karena sebagai pusat kilang minyak dunia, akan tetapi masyarakat muslim tidak mampu menjadi kekuatan peradaban, bahkan kini peradaban dunia dikuasai oleh lima kekuatan besar, yaitu Amerika, Eropa, China, Jepang dan Rusia.[2]
Orang Arab sendiri, Qasim Abduh, dalam artikelnya berjudul Arab Sanah 1000 wa Arab Sanah 2000, menyatakan bahwa peradaban yang mengusai dunia saat ini adalah peradaban Barat.[3]
Jika melihat negara-negara muslim di Arab, tentunya ungkapan-ungkapan negatif di atas akan dapat diterima, karena hampir peradaban Islam di masa lampau kini tinggal sejarah. Seorang jurnalis Amerika, David Lamb, ketika baru saja berkunjung ke Mesir mengatakan; “Loving Cairo is difficult, hatting it was impossible”[4] (mencintai kota Kairo itu sulit, tetapi membencinya juga tidak mungkin). Pernyataan ini bukan tanpa alasan, karena dalam sejarah peradaban umat manusia, Mesir tercatat sebagai pusat peradaban dunia (ummu al-hadhârah) –orang Mesir menyebutnya dengan istilah ummu al-dunya-, tempat kelahiran peradaban dunia (civilization’s birth place), tetapi kini ia berubah menjadi negeri yang penuh dengan ketertinggalan dalam segala bidang.
Lebih lanjut David Lamp mengatakan bahwa sulit menggambarkan tentang kota Kairo, apakah ia termasuk dalam kategori dunia pertama atau dunia ketiga. Bagaimana anda bisa menyebut negara yang menjadi tempat kelahiran peradaban dunia sebagai negara berkembang? Saya belum pernah melihat suatu tempat yang dulunya sangat maju dan tidak masuk akal, kini ia menjadi negara yang tidak teratur dan di masa depan tidak dapat dibayangkan. (it was never easy to know wether Cairo belonged to the first or third world. After all, how can you speak at civilizatiton’s birth place as being a developing nation?”, yet never have I seen a place where the past seemed so distant and irrelevant, the present so unmanageable, the future so unimaginable), bahkan dengan nada mengejek ia menyebutkan, “Egypt itself in danger of becoming a Bangladesh.”
Beberapa hal di atas menjadi bukti betapa pentingnya peradaban bagi eksistensi sebuah kelompok masyarakat. Begitu urgennya pembahasan tentang peradaban, Ibn Khaldun, sejarawan muslim abad ke-14, mencoba menghadirkan sebuah karya tentang peradaban manusia dari sisi historisnya yang ia konsep dalam bentuk teori bernama “al ‘umran al bashari” (human association). Menurutnya, peradaban selalu muncul bersamaan dengan perjalanan manusia, sebab manusia adalah pelaku peradaban.[5] Pemikirannya tersebut kemudian ia bukukan dalam sebuah karya monumental bernama “Kitab al ‘Ibar” dan diringkas dalam sebuah pendahuluan, yaitu “Muqaddimah” (Prolegomena).[6]
Maka tema yang dibicarakan pada saat ini, yaitu Urgensi Peradaban Islam Modern, merupakan salah satu tema penting sebagai upaya untuk menghadapi dunia yang semakin modern, karena agama Islam adalah salah satu unsur penting yang dapat mengikat secara emosional sekelompok manusia antara satu dengan lainnya untuk kepentingan tegaknya sebuah negara. Dalam sejarah tercatat bahwa Islam mampu menyatukan bangsa Arab dengan bangsa lainnya. Dengan Islam pula bagaimana ikatan emosional dapat terbangun antara rakyat Palestina dengan kita di Indonesia ketika Israel menyerbu Gaza . Hal serupa juga terlihat ketika Irak diserang oleh Amerika.
Modernisasi dan Tantangannya Bagi Dunia Islam
Sebagaimana yang diyakini oleh banyak pakar, bahwa dunia ini, tanpa terkecuali, sedang mengalami the grand process of modernization. Menurut ajaran Islam, perubahan seringkali disebut sebagai sunnatullâh, dan merupakan salah satu sifat asasi manusia dan alam raya secara keseluruhan. Maka suatu kewajaran, jika manusia, kelompok masyarakat dan lingkungan hidup mengalami perubahan. Hal ini senada dengan yang dinyatakan oleh Scott Gordon, tentang progress, di mana segala sesuatu itu mengalami evolusi, perpindahan atau perubahan. “All must change, to something new and to something strange.”[7]
Istilah modern secara bahasa berarti baru, kekinian, akhir, up-todate atau semacamnya. Modern bisa juga dikatakan sebagai kebalikan dari lama, kolot atau semacamnya.[8] Esensi modern, menurut sebagian ahli, adalah sejenis tatanan sosial modern atau yang sedang berada dalam proses menjadi modern. Esensi modern juga dapaat ditemukan dalam kepribadian individual. Istilah modern juga bisa berkaitan dengan karakteristik. Oleh karena itu, istilah modern ini bisa diterapkan untuk manusia dan juga untuk yang lainnya.[9]
Batasan-batasan modern seringkali hanya ditekankan pada aspek-aspek perubahan di bidang teknologi dan ekonomi. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan oleh Manfred Halpern, bahwa untuk menjadi modern harus melibatkan transformasi semua sistem yang berlaku sebelumnya dalam masyarakat, baik sistem politik, sosial, ekonomi, intelektual, keagamaan maupun psikologi.[10]
Sejarah modern, oleh Aziz al Azmeh, dikarakteristikkan dengan globalisasi kekuasaan Barat.[11] Globalisasi menunjukkan perkembangan yang cepat di bidang komunikasi, teknologi, transportasi dan informasi, yang menjadikan dunia semakin sempit karena segala sesuatu semakin mudah dicapai. Proses globalisasi juga terbentuk oleh pertukaran informasi dan budaya.[12]
Maka, dengan menjadi modern akan membentuk sebuah perubahan yang mendasar tentang tingkah laku dan keyakinan di bidang ekonomi, politik, organisasi sosial dan bentuk pemikiran.[13] Di bidang ekonomi, perubahan bisa dilihat dalam wujud industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi, munculnya kebutuhan-kebutuhan kapital dalam jumlah besar, pertumbuhan sains dan munculnya kelas-kelas baru dan mobilisasi sosial. Di bidang politik, ditandai oleh munculnya partai-partai politik, kesatuan-kesatuan dan kelompok-kelompok kepemudaan. Di bidang dimensi sosial, terjadinya perubahan hubungan antar lawan jenis, komunikasi masa dan urbanisasi.[14]
Perubahan itu tentunya akan memunculkan dampaknya, di antaranya adalah di bidang demografi, sistem stratifikasi, pemerintahan, pendidikan, sistem keluarga, dan nilai, sikap serta kepribadian. Di bidang demografi akan terjadi pertumbuhan penduduk dan perpindahan dari kawasan pedesaan ke kawasan perkotaan. Di bidang sistem stratifikasi, pembagian kerja menjadi semakin rumit, bersamaan dengan meningkatnya jumlah spesialisasi, status cenderung berdasarkan atas prestasi, sebagai pengganti status berdasarkan atas asal-usul (ascription), terjadinya pergeseran dalam peluang hidup di berbagai strata sosial, kecenderungan peningkatan status sosial wanita, perubahan di bidang pendidikan; baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Di sini pendidikan menjadi sangat penting dalam membentuk manusia modern. Di bidang kehidupan keluarga terjadi pergeseran dari keluarga besar menjadi keluarga kecil, ketegangan hubungan antara anggota keluarga.[15]
Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini budaya Eropa Barat sangat dominan[16] dan hal ini menimbulkan kecemasan bagi masyarakat muslim, termasuk di Indonesia, karena dampaknya pada kehidupan yang materialistis, unmoralis dan sekuler.[17] Peradaban Barat dengan budaya modernnya telah menjadi ancaman serius, terutama bagi kalangan muda muslim di Indonesia. Banyak sudah dari kalangan muda muslim Indonesia yang terbawa arus dan lupa diri, sehingga terjerumus ke dalam pergaulan bebas, kejahatan narkoba, dekadensi moral, menjadi konsumen bagi produk impor Barat, seperti Pizza Hut, Mc Donald’s, KFC, A&W, Wendy’s dan lain sebagainya.[18] Beberapa kalangan muda muslim pergi ke diskotik dan meminum minuman beralkohol, karena mereka memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang modern.[19] Kondisi ini pun tidak dapat dihindari, karena secara umum, masyarakat muslim sudah terjepit di tengah kekuatan Barat, baik secara politis, kultural maupun ekonomi. Artinya, umat Islam tidak boleh lari dari tantangan ini, tetapi harus dihadapi dengan menghidupkan kembali kejayaan peradaban Islam di masa lampau.[20] Untuk itu di bawah ini akan dijelaskan bagaimana peran peradaban Islam dari masa Nabi hingga sekarang dalam membangun masyarakat yang modern.
Peradaban Islam dari Masa ke Masa
Definisi peradaban sangat beragam. Ada yang mengatakan bahwa peradaban adalah sesuatu yang dihasilkan oleh sekelompok manusia yang berkumpul dan memiliki tujuan yang sama. Ada yang mengatakan bahwa peradaban adalah sesuatu yang diciptakan oleh manusia dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat materi maupun non-materi. Ada yang mengartikan dengan lebih luas lagi, bahwa peradaban adalah kumpulan ilmu pengetahuan, undang-undang, adat istiadat dan etika yang terlahir dari hasil sebuah pemikiran, perkembangan ekonomi, politik, budaya dan segala macam dinamika kehidupan lainnya dalam suatu masyarakat, baik yang terdiri atas satu maupun bermacam macam suku, golongan atau bangsa.
Secara etimologis, kata peradaban dalam bahasa Arab adalah al hadarah/al tamaddun, lawan dari al badawah (hidup mengembara). Al hadarah/al tamaddun itu memiliki arti al iqamah fi al hadar/fi al madinah (menetap/tinggal di kota). Dalam bahasa Inggris kata peradaban adalah civilization, lawan dari nomadism (hidup mengembara). Kata civilization diambil dari kata civies atau civil yang berarti menjadi seorang warganegara yang maju. Jadi masyarakat yang berperadaban adalah masyarakat yang sudah berkembang atau maju. Masyarakat yang memiliki peradaban disebut dengan civilized people/sedentary people, sementara masyarakat yang tidak memiliki peradaban disebut dengan nomadic people.[21]
Nomadism dan civilization selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat dan menjadi kelaziman bagi manusia selama hidup di dunia ini, karena manusia itu makhluk berpolitik (man is political by nature).[22] Artinya, manusia tidak bisa hidup menyendiri, karena untuk mencapai segala kebutuhannya ia membutuhkan sebuah kelompok, organisasi atau negara, sebagai tempat berkumpul bersama dengan yang lainnya untuk memenuhi segala kebutuhannya.[23] Ketika sekelompok orang membentuk organisasi sosial, negara berdiri dan peradaban akan muncul. Ketika organisasi sosial itu menjadi populous, peradaban yang lebih besar akan menjelma.
Merujuk makna etimologis di atas, maka organisasi sosial, sebagai langkah awal dari peradaban selalu berada di perkotaan (civitas).[24] Artinya, perkotaan merupakan cikal bakal dari berdirinya sebuah negara atau dinasti para penguasa (dawlah). Negara atau dinasti itu menjadikan kota sebagai pusat administrasi dan perdagangan. Kota-kota itu kemudian menawarkan para imigran dari desa berbagai lapangan pekerjaan, baik di pemerintahan, kemiliteran atau birokrasi lainnya.[25]
Kota menyediakan kesempatan usaha untuk mengejar keuntungan melalui kegiatan-kegiatan dagang. Kota juga menghimpun bermacam-macam usaha di bidang kerajinan, seperti perkayuan, barang pecah belah, arsitektur, tekstil, konfeksi dan lain-lainnya. Semakin besar kota dagang, semakin besar pula kesempatan lapangan pekerjaan yang diciptakan. Maka kota dagang menjadi titik vokal suatu negara atau kerajaan.[26] Ketika sebuah negara runtuh, maka kota dagang juga ikut runtuh bersama peradabannya.[27]
Teori tentang kota sebagai pusat peradaban di atas diperkuat oleh D.J. Dwyer, yang juga menyatakan bahwa kota menjadi pusat perubahan sosial dan modernisasi.[28] Kota disebut sebagai pusat perubahan dan modernisasi, karena adanya perpindahan masyarakat yang terus-menerus dari desa menuju kota (urbanisasi), yang didasarkan pada keinginan untuk mencapai perubahan hidup di bidang ekonomi, dan perubahan status sosial yang lebih baik.[29] Daniel Lerner, dalam teorinya, menyatakan bahwa urbanisasi merupakan prakondisi untuk menjadi modern atau membangun peradaban.[30]
Maka dalam sebuah masyarakat akan terjadi perpindahan dari gaya nomadic ke gaya sedentary, yaitu perpindahan (mutation) dari masyarakat primitif menjadi masyarakat berperadaban (civilized), dari kondisi yang statis menjadi kondisi yang dinamis.[31] dengan membentuk sebuah ikatan organisasi sosial (al umran al basyari).[32] Beberapa bangunan mewah mulai dibangun, gaya hidup mulai berubah, baik dalam bidang seni bangunan (arsitek), sandang maupun pangan, menjadi lebih modern dari sebelumnya. Dalam bahasa Roshental mereka ini disebut dengan istilah ‘sedentary people’.[33]
Di antara unsur penting dalam membangun sebuah peradaban adalah arsitektur, karena dengan keberadaannya akan dapat dibangun monumen-monumen besar.[34] Hal penting lainnya adalah keahlian-keahlian, seperti kebidanan, seni tulis, produksi buku, seni sastra, dan kedokteran. Ilmu kebidanan sangat penting karena bertanggung jawab atas hidupnya bayi-bayi yang baru lahir, sementara manusia adalah penggerak peradaban, begitu juga dengan ilmu kedokteran, karena ia mengawasi kesehatan manusia. Seni tulis juga menjadi penting karena dengan seni itu akan terbit buku-buku yang memelihara hal-hal yang diingat oleh manusia dan menjaganya dari lupa, buku-buku itu memungkinkan munculnya peradaban.[35]
Seni musik dan suara adalah juga merupakan manifestasi dari peradaban, karena menurutnya, jika sebuah peradaban muncul, maka musik juga akan muncul, jika peradaban mengalami kemunduran, musik juga akan menghilang.[36] Yang tidak kalah pentingnya adalah ilmu pengetahuan, seperti fisika, geometri, aritmetik, astronomi, aptik, dan seterusnya, karena ilmu-ilmu itu mengalami kemunduran di kota-kota yang peradabannya mulai runtuh, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan sangat bergantung kepada kemajuan peradaban dan negara.[37]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peradaban merupakan hasil yang telah dicapai atau diciptakan oleh sekelompok manusia atau organisasi sosial untuk meningkatkan gaya hidupnya, baik di bidang ekonomi, politik, industri, arsitektur, seni, budaya dan yang lainnya.[38]
Maka tidak ada suatu bangsa ataupun sekelompok manusia yang tidak memiliki peradaban, karena setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti berusaha untuk mencapai sebuah perkembangan, kemajuan demi tercapainya peningkatan hidup yang lebih baik atau ideal. Peradaban itu identik dengan perpindahan kaum nomadian ke kota (urbanisasi) untuk merubah gaya hidup menjadi lebih modern (civilized-life), yang dalam bahasa Arab biasa dibahasakan dengan al Madaniyyah.[39]
Tetapi yang perlu dicatat adalah bahwa peradaban itu mengalami tiga masa:[40] masa pembentukan sebuah organisasi (al ‘umran), masa peradaban (civilization), di mana kehidupan mulai stabil dan meningkat pesat. Beberapa bangunan mewah mulai dibangun, gaya hidup mulai berubah, baik dalam seni bangunan (arsitek) maupun dalam masalah sandang dan pangan menjadi lebih modern dari sebelumnya.[41] pemikirannya mulai terbuka (open-minded),[42] dan terakhir adalah masa kehancuran, di mana dengan gaya hidup yang semakin meningkat, masyarakat mulai terbawa oleh arus, ‘asabiyyah’ (group-feeling) mulai melemah. Faktor eksternal mulai beraksi, peradaban mereka sedikit demi sedikit mulai sirna dijajah oleh peradaban luar, bahkan mereka lebih bangga mengkonsumsi peradaban luar daripada lokal, dan tidak terasa bahwa mereka sedang dijajah, sehingga akhirnya masyarakat kehilangan jati dirinya dan kembali kepada kehidupan primitif seperti semula, kehilangan kendali dan akhirnya terlena dengan kesuksesannya.[43] Masyarakatnya mulai lalai, terlena dan malas, hidupnya mulai individual, tidak ada lagi rasa kebersamaan.[44]
Toynbee mengibaratkan bahwa peradaban itu seperti orang yang naik tebing, ketika ia mencapai puncak, ia terkadang lupa dan akhirnya terpeleset jatuh, kemudian mati.[45] Dalam teorinya, Ibn Khaldun juga menyimpulkan bahwa peradaban adalah seperti makhluk hidup lainnya (mortal).[46] Ia tumbuh, membesar lalu sirna ditelan oleh waktu, dan itu merupakan sunnatullah,[47] karena peradaban itu bersifat abstrak, dinamis,[48] memiliki batas umur tidak lebih dari tiga generasi atau sekitar 120 tahun.[49]
Jika merujuk beberapa konsep peradaban (sebagaimana dijelaskan di atas), maka dapat dikatakan bahwa cikal bakal kelahiran peradaban Islam adalah hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah ke Yatsrib, dengan membangun masjid Quba dalam perjalanan dan masjid Nabawi ketika tiba di Yatsrib. Pembangunan masjid ini disebut sebagai awal munculnya arsitektur dalam Islam. Sementara itu kelahiran peradaban Islam adalah sejak dibangunnya kota Madinah oleh Rasulullah saw, yaitu ketika menggantikan nama kota Yathrib menjadi ‘al Madinah al Munawwarah’ (kota yang dicerahkan), yang merupakan upaya untuk merubah masyarakat primitif (jahiliyah) menjadi masyarakat baru (al mutahaddir) dengan berlandaskan pada aturan syari’ah Islam (wahyu) dan masjid (masjid Nabawi) sebagai sentral kegiatannya.[50]
Emansipasi wanita juga menjadi perhatian Nabi Muhammad saw, karena al-Qur’an memberikan hak waris dan perceraian kepada wanita, mengizinkan poligami; suatu saat di mana kaum muslim terbunuh dalam peperangan melawan Mekkah dan kaum wanita ditinggalkan tanpa pelindung, para pria diizinkan memiliki hingga empat orang istri dengan ketentuan bahwa mereka memperlakukan para itu dengan keadilan mutlak dan tidak menunjukkan tanda-tanda lebih menyukai yang satu daripada yang lain. Para wanita di Madinah mengambil bagian penuh dalam kehidupan publiknya dan beberapa di antaranya berjuang di sisi pria dalam pertempuran.[51]
Robert N. Bellah, mengatakan bahwa peradaban Islam di Madinah yang dibangun oleh Rasulullah itu terlalu modern untuk zamannya, sehingga sulit bertahan lama, karena persyaratan infrastruktur yang menopangnya belum kokoh. Menurut Bellah, masyarakat Madinah saat itu sangat modern dalam hal tingginya komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang diharapkan dari segenap lapisan masyarakat. Mereka juga modern dalam hal keterbukaan posisi pimpinannya untuk dapat dinilai kemampuannya berdasarkan landasan yang universal dan transparan, tidak mengandalkan garis keturunan dan klan.[52] Jika merujuk pada pernyataan Robert N. Bellah tentang kemodernan sistem pemerintahan Islam di masa Rasulullah, maka berbicara tentang Islam modern, sebenarnya berbicara tentang Islam di masa Rasulullah saw.
Pada masa ini, mereka disebut sebagai “super suku”, karena dapat membangun komunitas modern yang tidak didasari oleh hubungan darah, tetapi oleh sebuah ideologi (agama Islam). Komunitas itu disebut dengan istilah ummah (komunitas religius politik).[53] Komunitas itu pun menjadi teladan, titik acuan dan model bagi semua masyarakat muslim ketika berbicara tentang konsep bernegara. Tetapi sayang, eksperimen Nabi Muhammad saw itu tidak mampu bertahan, di mana setelah beliau wafat, penyakit lama bangsa Arab yang mengagungkan suku muncul kembali sehingga kekuatan sultanisme dan dinastiisme masih bertahan hingga sekarang.[54] Hal itu dapat dimaklumi karena para penerus Muhammad saw bukanlah Nabi, sosok yang komprehensif, tetapi mereka hanya mengandalkan pengetahuan manusiawi mereka sendiri. Sementara itu, komunitas yang dipimpin semakin besar, bahkan jauh lebih besar dan kompleks dibanding komunitas kecil di Madinah.[55] Meskipun demikian, peradaban Islam tetap dapat mencapai puncaknya.
Di masa Umar bin al-Khattab, peradaban Islam tampak dalam bentuk perluasan wilayah kekuasaan sampai di Irak, Syria dan Mesir. Mereka juga dapat menaklukkan Persia, Palestina, Yerussalem, pesisir Afrika Utara. Beberapa kebijakan baru (ijtihad) yang belum pernah dilakukan pada masa Rasulullah dan bahkan berseberangan dengan ketetapan tekstual Nabi Muhammad saw juga dilakukan, tetapi dilakukan atas dasar kemaslahatan. Tidak heran jika masa ini disebut sebagai masa lahirnya ijtihad dalam sejarah Islam.
Pada masa ini mulai dibentuk departemen-departemen (diwan), mengadopsi model Persia. Tugasnya adalah menyampaikan pesan dari pusat ke daerah-daerah dan melaporkan perilaku dan tindakan yang dilakukan oleh penguasa daerah. Pada saat ini pula mulai diatur tentang pembayaran gaji dan pajak. Untuk muslim disebut zakat, sementara non muslim disebut karraj dan jizyah. Selain itu Umar juga membentuk jawatan kepolisian untuk keamanan dan ketertiban negara. Untuk mengelola keuangan negara dibangun bait al mal. Umar juga menempa mata uang sendiri untuk. Pada masa ini mulai dibuat kalenderisasi Islam yang diawali dengan hijrahnya Nabi Muhammad saw dari Makkah ke Madinah.[56] Umar juga membangun beberapa kota, seperti Basrah dan Kufah di Irak, Fustat di Mesir. Atas dasar perubahan yang telah dilakukan oleh Umar, ia dijuluki sebagai peletak dasar atau pembangun negara modern.
Pada masa Uthman, peradaban Islam tampak pada pembentukan angkatan laut dan membangun sebuah bendungan besar untuk melindungi masyarakat Madinah dari bahaya banjir dan mengatur persediaan air untuk kota itu. Ia juga membangun jalan, jembatan dan memperluas masjid Nabawi. Pada masa ini pula dibukukan mushaf al-Qur’an dengan menggunakan satu bentuk bacaan, yaitu dialek Quraysh. Mushaf itu kemudian disebut dengan mushaf uthmani, satu disimpan oleh khalifah Uthman yang disebut dengan mushaf al imam, sementara yang lain dikirimkan ke beberapa wilayah kekuasaan Islam.[57] Kekuasaannya membentang sampai Cyprus, Tripoli (sekarang Libya), Armenia, Kaukasus, Oxus di Iran, Herat di Afghanistan dan Sind di anak benua India.[58]
Pada masa Ali, perkembangan puisi dalam bentuk prosa berkembang pesat terutama di bidang khitabah, dan Ali bin Abi Talib adalah ahlinya, sehingga kumpulan pidatonya dibukukan menjadi kitab Nahjul Balaghah.
Di masa Dinasti Umayyah, kejayaan Islam tampak dengan digunakannya bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi internasional. Dijadikannya mata uang Islam yang dihiasi dengan kalimat-kalimat al-Qur’an sebagai alat transaksi ekonomi. Di Yerusalem dibangun Kuba Batu (the dome of the rock), monumen Islam yang menjadi kebanggaan di kota suci kecil itu, karena kuba itu meletakkan dasar-dasar gaya khas Islam artistik dan arsitektural yang unik. Kuba itu dihiasi ayat-ayat al-Qur’an. Terdapat lambang naiknya roh ke surga yang menjadi cita-cita semua orang beriman, sekaligus mencerminkan keseimbangan sempurna dan tauhid. Eksteriornya yang menjulang ke ketinggian langit yang tidak terbatasadalah sebuah replika yang sempurna. Ini menggambarkan cara di mana manusia dan Allah, dunia batin dan lahir saling melengkapi seperti dua belahan dari sesuatu yang utuh.[59]
Pada masa ini pula awal dibentuknya pasukan bertombak pengawal raja, balai-balai pendaftaran dan jawatan pos. Pada masa ini seni arsitektur tampak pada bangunan sipil berupa kota dan bangunan agama berupa masjid dengan gaya perpaduan Persia, Romawi dan Arab dengan dijiwai semangat Islam dan menjadikan kota Damaskus sebagai pusat peradaban. Di sini dibangun gedung indah yang bernilai seni, dilengkapi jalan dan taman rekreasi yang menakjubkan. Terdapat pula bangunan yang diberi nama istana hijau dan masjid Damaskus. Di masjid ini qubahnya berbentuk tapak besi kuda bulat. Pertemuan dari garis-garis ke titiknya dibayangkan oleh kaki tiang di atasnya. Di atas jalan beratap lengkung besar. Di sekelilingnya terdapat puncak-puncak barisan ambang pintu yang berbentuk setengah bundar. Di sekeliling masjid terdapat empat buah mercu yang merupakan bangunan peninggalan Yahudi, yang dijadikan sebagai menara tempat adzan. Ruangan dalam masjid dihiasi dengan ukiran-ukiran indah, marmer halus dan pintunya dipasang memakai kaca berwarna-warni.[60]
Mereka juga mampu membangun kembali dinastinya di Andalusia, Spanyol dan menjadikan Cordova sebagai pusat peradaban Islam di Barat. Di sini dibangun kisaran air dan benteng di sekeliling kota dan istana. Untuk mendapatkan air bersih, digali danau yang airnya didatangkan dari pegunungan. Air itu dialirkan melalui pipa ke istana dan rumah-rumah penduduk, melalui parit ke kolam-kolam dan lahan pertanian (persis PDAM sekarang). Di sini dibangun pula tempat pemandian umum dan kota satelit dengan bangunan megah.
Pada masa Dinasti Abbasiyyah, peradaban Islam tampak dalam bentuk kebangkitan sastra, filsafat, kedokteran dan astronomi. Masa ini dianggap sebagai masa kebangkitan gairah keilmuan, dengan dikenalnya gerakan Hellenisme dan pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan bait al hikmah. Di Baghdad, dibuka jasa penerjemahan. Bagi penerjemah buku-buku bahasa asing, akan dibayar dengan emas seberat buku yang diterjemahkan. Selain itu, di bait al hikmah terdapat 400 ribu judul buku. Dan konon, ada seorang pejabat yang tidak mau dipindah tugaskan gara-gara mempunyai banyak buku yang tidak bisa dibawa karena saking banyaknya. Pada masa ini pula madzhab-madzhab fikih berkembang, seperti madzhab Hanafi, Maliki dengan Kitab al Muwatta’, Syafi’i dengan Kitab al Risalah dan Hanbali dengan karyanya al Musnad.[61] Di masa itu umat Islam pernah mencapai kejayaannya, di mana mereka tidak ada yang kelaparan, semuanya hidup makmur karena income perkapita negara sangat tinggi dan semua penduduknya adalah muzakki (mengeluarkan zakat), tidak ada yang mustahiq (menerima zakat). Di sini terlihat bahwa peradaban Islam tidak hanya pada bangunan fisik, seperti candi atau yang lainnya, tetapi juga di bidang keilmuan dan buku.
Pada abad ke-10, di saat kerajaan Islam tidak mampu berfungsi secara efekstif sebagai sebuah kesatuan politik dan setiap kawasan memiliki ibu kota sendiri, umat Islam tetap mampu membangun peradabannya. Di antaranya adalah Kairo, yang menjadi sebuah kota seni, pendidikan dan filsafat. Di sini pula berdiri sebuah universitas Islam paling penting di dunia, al-Azhar. Kota lain yang dibangun adalah Samarkand, yang menjadi tempat kebangkitan kesusastraan Persia. Melahirkan filsuf Ibn Sina, yang di Barat dikenal dengan Avicenna. Selain itu, ada kota Cordova yang juga menjadi tempat kebangkitan peradaban Islam, yaitu dalam bentuk puisi. Di antara yang terkenal adalah Ibn Hazm. Lahir pula filsuf ternama, yaitu Ibn Rusyd, yang di Barat dikenal dengan Averroes.
Di masa tiga kerajaan besar Islam; Safawiyah di Persia. Moghul di India dan Uthmani di Turkey pada abad ke15 juga lahir peradaban Islam. Di Isfahan, ibu kota kerajaan Safawiyah, mengalami kebangkitan kebudayaan, layaknya renaissance di Italia. Isfahan menjadi kota taman, istana dan lapangan terbuka yang amat luas dan indah, dengan masjid dan madrasah yang mengagumkan. Di India, dibangun Taj Mahal. Di Turkey, dibangun masjid dengan gaya yang unik, di mana ruangannya luas, penuh dengan lampu, memiliki kubah rendah dan menara tinggi.[62]
Itu artinya, bahwa secara historis telah terbukti bahwa Islam telah mengantarkan masyarakat Islam menjadi masyarakat yang berperadaban. Dengan Islam, bangsa Arab Jahiliyah menjadi modern.[63] Sangat sulit digambarkan kehidupan bangsa Arab sebelum datangnya Islam. Dunia juga mengakui bahwa Islam telah berjasa dalam membantu bangsa Barat mencapai kemajuannya.[64] Jadi, peradaban Islam adalah peradaban tertinggi di dunia. Tidak ada yang mampu menandingi ketinggian dan kesempurnaanya. Peradaban Islam itu bersifat multidimensi, tidak parsial hanya pada aspek fisik saja, namun juga spiritual.
Muhammad Abduh, tokoh gerakan Islam modern dari Mesir, ketika kembali dari Perancis, mengatakan bahwa di Barat ia melihat Islam meskipun tidak ada orang Islam.[65] Padahal, Barat pada melinium pertama, merupakan bangsa yang terbelakang, sama seperti bangsa Arab sebelum datangnya Islam.[66]
Arkoun, seorang tokoh intelektual Muslim dari al-Jazair, juga mengatakan bahwa Islam adalah basis peradaban bagi masyarakat muslim, di bidang politik, sosial dan segala aspek kehidupan,[67] dan bangsa Arab menjadi bangsa yang maju adalah pada masa kejayaan Islam.
Pada abad ke-18/19, ketika modernisasi Barat mulai memasuki dunia Islam, yaitu ketika Napoleon Bonaparte melakukan ekspedisi ke Mesir (1789), untuk memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan membawa 167 ahli dalam berbagai cabang ilmu, membawa dua set alat percetakan huruf Latin, Arab dan Yunani, membentuk lembaga ilmiah yang disebut dengan Institut d’ Egypte yang mempunyai empat bidang kajian, yaitu ilmu pasti, ilmu alam, ilmu ekonomi dan politik, serta ilmu sastra dan seni, menerbitkan majalah ilmiah yang bernama Courier d’Egypte,[68] memperkenalkan ide-ide kenegaraan, di antaranya adalah sistem negara republik yang kepala negaranya dipilih untuk jangka waktu tertentu, persamaan (egalite) dan paham kebangsaan (nation), muncul beberapa respon, di antaranya dari Muhammad Ali (1805-1849) dengan membawa misi gerakan Islam modern. Ia membangun aparat militer modern yang diperkuat dengan bantuan teknologi dan pelatihan oleh perwira-perwira Perancis, memajukan pendidikan, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, seperti membangun waduk al qanatir al khayriyah di sungai nil. Dari langkah-langkahnya itu, Muhammad Ali disebut sebagai bapak Mesir Modern (the father of modern Egypt ).[69]
Untuk membantu mencapai kemajuan-kemajuan itu, Muhammad Ali mengirim kelompok-kelompok kerja untuk belajar di Perancis selama lima tahun di bawah pengawasan Rifa’ah al-Tahtawi.[70] Gerakan itu memberikan dampak yang sangat besar bagi perkembangan pemikiran keislaman di Mesir, di mana sekembalinya mereka di Mesir anggota kelompok studi ini membangun sekolah-sekolah model Barat. Sekolah-sekolah ini mengajarkan bahwa tidak ada kontradiksi antara nilai-nilai yang dipinjam dari Barat.
Di tengah gencarnya gerakan modern-Barat itu, muncul beberapa pemikir yang mencoba merespon dengan membangkitkan kembali semangat umat Islam untuk membangun peradabannya. Maka muncul Jamaluddin al-Afghani dengan gerakan Pan-Islamnya, yang bertujuan menyatukan masyarakat muslim untuk melawan kolonialisme. Perjuangan politiknya itu kemudian dilanjutkan oleh murid kesayangannya, Muhammad Abduh. Pemikirannya dituangkan dalam al Mannar yang disusun oleh muridnya, Rashid Rida. Jasa besar Abduh bagi Mesir adalah Universitas Darul Ulum, yang merupakan gerakan modernisasi Abduh di bidang pendidikan. Tujuannya adalah membebaskan pemikiran religius dari belenggu taklid dan membuka jalan bagi reformasi yang akan menguatkan spiritual Islam secara tepat bagi dunia modern. Menurut Abduh kondisi Mesir saat itu membutuhkan reformasi pemikiran di bidang pendidikan, sehingga perlu adanya modernisasi kurikulum pendidikan dan reformasi pengadilan Agama di Mesir. Maka sebagai pejabat hukum senior dan mufti Mesir ia mengeluarkan fatwa progresif tentang dibolehkannya busana Barat, bunga bank, pernikahan dan perceraian. Maksud kompromi ini adalah untuk menegakkan identitas Mesir dan pembebasan melalui reformasi Islam. Menurutnya, untuk melawan Barat harus dengan peniruan substansial.[71]
Perjuangan Abduh kemudian dilanjutkan oleh Rashid Rida (1865-1935), seorang revivalis dan reformis Islam. Ia berasal dari Tripoli , dari keluarga yang mengaku keturunan Nabi Muhammad saw. Ia memiliki pandangan bahwa jalan menuju kemajuan bangsa muslim adalah melalui sintesis antara pendidikan agama dan ilmu pengetahuan modern. Ia mengkaji karya al-Ghazali (w. 1111) dan Ibn Taymiyah (w. 1328) yang mengilhaminya untuk menyerukan perlunya reformasi kondisi umat Islam yang merosot serta pemurnian Islam dari praktik-praktik sufi yang merusak. Maka setelah melakukan kontak dengan Muhammad Abduh yang menyerukan gerakan Salafiyah pada akhir abad ke-19, ia menyerukan gagasan tentang kemerdekaan, kemandirian, kesatuan dan hak orang terjajah. Menurut Rida, sebab kemunduran umat Islam adalah karena stagnasi pemikiran dan kedzaliman penguasa serta dominasi Eropa.
Rida menanggapi tekanan westernisasi dengan cara berbeda dari Abduh, gurunya. Ia berkiblat ke Saudi sebagai inspirasinya. Ia semakin dekat dengan madzhab Hanbali dan Wahhabiyah. Alasanya, ia melihat bahwa Saudi dengan Wahabismenya belum pernah tunduk kepada kekuasaan kolonial. Pemikiran Rida inilah yang kemudian menghasilkan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh muridnya, guru sekolah, Hasan al-Banna. Meskipun sama dengan Abduh tetapi al-Banna lebih revolusioner dan lebih mendunia, karena gerakannya dibangun bukan bagi Mesir.
Dengan merosotnya ekonomi Mesir akibat ketergantungan pada Barat, gerakan Ikhwanul Muslimin menjadi harapan baru bagi bangsa Mesir, sehingga menyerap banyak pengikutnya. Akan tetapi al-Banna terlalu radikal sehingga memutuskan segala hubungan dengan Barat. Menurutnya, Barat telah merusak umat Islam dari Barat, maka ia mengembangkan Islam sosial, terutama di daerah perkotaan.
Gerakan Ikhwanul Muslimin ini awalnya adalah organisasi Jam’iyah al Akhlaq al Adabiyah yang dakwahnya berorientasi pada mencegah kemungkaran (man’ al muharramat), kemudian menjadi gerakan amar ma’ruf nahi munkar dan pada tahun 1929, gerakan ini berubah menjadi Ikhwanul Muslimin. Gagasannya adalah bahwa Islam itu sistem kehidupan yang komprehensif. Al-Qur’an adalah undang-undang dasar kehidupan manusia (dustur al ummah). Ia menolak segala bentuk sekularisasi. Terkait dengan jihad, ia tidak menyerukan teror, tetapi ia berpendapat bahwa perang melawan penjajah adalah wajib. Jihad adalah kewajiban individu bukan kolektif.
Gerakan Hasan al-Banna dilanjutkan oleh Sayyid Qutb (1906-1966), yang selama tiga tahun belajar metode pendidikan di Barat. Masa tinggal di Amerika membuat ia berminat dalam gerakan keagamaan, karena di sana ia melihat adanya rasisme, kebebasan seksual dan zionisme. Maka di Mesir ia menulis buku Ma’alim fi al Tariq yang menuduh masyarakat modern sebagai masyarakat Jahiliyah yang membuatnya dipenjara, dan di penjara ini ia menulis karya Fi Zilal al Qur’an.
Di luar Mesir, yaitu India , muncul Sayyid Ahmad Khan, yang mengadaptasikan Islam dengan liberalisme Barat modern. Ia membangun universitas di Aligarh pada tahun 1875 dengan nama Muhammedan Anglo Oriental College (MAOC). Tujuan pendirian lembaga ini adalah agar ilmu-ilmu Eropa kontemporer dapat diakses oleh publik di India , di mana masyarakat muslim dapat mempelajari ilmu pengetahuan dan bahasa Inggris.[72] Alasan pengadopsian itu adalah karena menurutnya, peradaban umat Islam di Timur telah hancur dan pada saat itu peradaban yang berkuasa adalah peradaban Barat. Ia terkesan dengan kehidupan orang Barat yang bersih, tepat waktu dan keteraturan hidupnya. Maka ia berharap agar orang Islam di India juga demikian dengan merubah dirinya sendiri. Untuk itulah ia berpandangan bahwa pendidikan yang benar adalah kunci semuanya.
Di Turkey, muncul tiga macam gerakan; golongan Barat, Islam dan nasionalis. Golongan Barat adalah golongan yang menginginkan peradaban Barat sebagai dasar pembangunan peradaban di Turkey , sehingga gerakannya disebut dengan Westernisasi. Tokohnya adalah Tevfik Fikret. Golongan Islam adalah golongan yang mengingkan Islam sebagai dasar pembangunan peradaban sehingga gerakannya disebut dengan Islamisasi dengan tokohnya Badiuz Zaman Sa’id Nursi. Golongan nasionalis adalah golongan yang menginginkan kebudayaan nasional Turki sebagai dasar pembangunan peradaban, bukan Barat atau Islam. Tokohnya adalah Ziya Gokalp.[73]
Yang dimaksud dengan kebudayaan nasional Turki adalah kebudayaan khas Turkey yang dijiwai Islam, bukan kebudayaan Islam atau kebudayaan Turki sebelum Islam atau kebudayaan Barat. Yang menjadi perhatian utama untuk membangun peradaban Turkey Islam, menurut kelompok ini, adalah dengan memisahkan antara agama yang terkait dengan keyakinan dengan agama yang terkait dengan urusan sosial. Artinya, hukum ibadat dan muamalat harus dipisahkan, sehingga hukum ibadah menjadi urusan kaum ulama’ dan hukum muamalat menjadi urusan negara.[74] Maka kekuasaan legislatif yang dimiliki oleh syaikh Islam harus dikembalikan kepada parlemen dan memindahkan mahkamat syariat dari yuridiksi syaikh Islam ke yuridis kementrian kehakiman serta memindahkan madrasah dari kekuasaan syaikh Islam kepada kekuasaan kementrian pendidikan. Wanita harus diberi kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi dan kesempatan untuk memiliki profesi tertentu dan hak yang sama dengan laki-laki di bidang pendidikan, perkawinan, perceraian dan kewarisan.
Tetapi gerakan ini kemudian dikalahkan oleh ide-ide kelompok sekuler yang dipelopori oleh Musthofa Kamal Atatruk. Ia menghapus poligami dan kerudung karena dianggap merendahkan status wanita. Motonya adalah “Buka al-Qur’an dan buka kerudung wanita”. Kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan merupakan syarat mutlak untuk kehidupan keluarga modern. Persamaan itu hanya bisa dicapai dengan memberikan pendidikan yang setara kepada keduanya. Ia mengatakan bahwa Turki hanya dapat maju hanya dengan meniru Barat secara keseluruhan. Ia menginginkan Turki sebagai negara bangsa (nation state) yang modern, sekuler seperti Barat. Pemerintahan harus dipisahkan dari urusan agama. Kedaulatan sepenuhnya ada di tangan rakyat.
Pada bulan Maret 1924 ia memutuskan untuk menghancurkan inti dari kekuasaan lama dengan menghapuskan sistem khilafah dan lembaga syaikh Islam serta kementrian syari’at dan wakaf. Pada undang-undang dibentuk dengan mengadopsi dari Barat, termasuk Swiss. Pendidikan madrasah dihapuskan yang kemudian diganti dengan sekolah yang membina khatib dan imam. Di universitas Istanbul didirikan fakultas Ilahiyat. Pendidikan agama ditiadakan di sekolah-sekolah. Pelajaran bahasa Arab dan Persia juga dihapuskan dari sekolah-sekolah diganti dengan bahasa Turki. Pakaian keagamaan juga dilarang diganti dengan pakaian Barat. Hari cuti resmi mingguan dirubah dari hari Jumat menjadi hari Minggu. Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Turki agar dapat dipahami oleh rakyat Turki. Adzan juga dirubah dari Arab menjadi bahasa Turki pada tahun 1931. Tempat-tempat yang dianggap suci ditutup. Aliran-aliran tarekat dibekukan. Para Imam dan muballigh hanya boleh memakai jubah ketika sedang berdakwah. Selain itu tidak diperbolehkan. Institusi agama tidak boleh menggunakan istilah-istilah yang berbau agama. Format masjid harus dipasang kursi dan disertai musik ketika salat dan mereka bersama-sama menyanyikan lagu-lagu Barat.
Konsep kelompok sekuler di atas ditentang oleh kelompok Islam. Mereka menyatakan bahwa dengan memberikan kebebasan semacam itu justru akan merendahkan status wanita. Ketinggalan martabat wanita hanya dapat diatasi dengan menjalankan syari’at, membuka kerudung dan pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan hanya akan membawa pada dekadensi moral dan akan melahirkan peradaban yang tidak benar.
Artinya, pada saat terjadi serangan modernisasi, umat Islam berusaha untuk mengharmonikan keyakinan agama dengan pemikiran modern,[75] menekankan pada kemajuan (progressive), ilmiah (scientific) dan rasionalitas.[76] Hanya saja ada dua model gerakan; antara yang menggunakan pendekatan sekuler dan pendekatan Islami,[77] meskipun ada juga yang mengambil jalan tengah, dengan cara hidup modern secara fisik dan fundamentalis secara spiritual.[78]
Urgensi Peradaban Dunia Islam Modern di Tengah Tantangan Dominasi Barat
Dengan demikian, untuk menghadapi tantangan dominasi Barat tersebut, peradaban Islam sangat urgen dalam membentengi jati diri umat Islam. Apapun model gerakan yang dibentuk, semuanya harus memiliki tujuan untuk membangun peradaban yang sesuai dengan ajaran Islam. Jika tawaran dari Barat tidak bertentangan dengan Islam, maka boleh diambil, tetapi jika sebaliknya, maka harus ditolak. Artinya, apa yang datang dari Barat tidak semuanya ditolak (negative), karena dunia saat ini dunia berada di bawah genggaman mereka, tetapi peradaban yang datang dari mereka juga harus difilter, diseleksi, agar masyarakat muslim di Indonesia tidak terkena virus Westernisasi. Sebab jika peradaban Barat diterima sepenuhnya, bisa berakibat pada munculnya masyarakat jahiliyah abad modern. Padahal bangsa Arab dan masyarakat Barat maju karena Islam. Untuk itu, gencarnya arus modernisasi Barat harus selalu dibentengi dengan ajaran Islam yang kuat.
Dengan menjadikan Barat sebagai acuhan dalam membangun peradaban, maka masyarakat Islam akan bergantung kepada Barat. Saat ini saja sudah dapat dilihat bagaimana hampir seluruh negara muslim bergantung kepada Barat, sehingga mereka tidak mampu menentukan sikap di saat harus berhadapan dengan kekuatan Barat. Bagaimana konflik di Palestina sebagai bukti lemahnya kekuatan politik negara-negara Islam, di mana umat Islam tidak mampu berbuat apa-apa, bahkan saling mendahulukan kepentingan negaranya untuk mencari dukungan diplomatis dari Barat.
Padahal, peradaban Barat yang kini terbentuk merupakan hasil yang dicuri dari peradaban Islam. Banyak pemikiran, penemuan dan buku-buku yang diplagiat atau diambil secara tidak jujur. Yang perlu dicatat lagi adalah bahwa kemajuan peradaban yang dialami Barat hanya sebatas tekhonologi, bukan spiritual.
Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh mengalami inferiority complex (rendah diri) melihat peradaban Barat yang semu. Apalagi banyak yang memprediksikan bahwa peradaban Islam abad 21 ini akan muncul di Asia Tenggara, di antaranya di Indonesia dan Malaysia . Bagaimana masjid, pesantren, lembaga pendidikan Islam, gerakan masa yang muncul dari umat Islam di Indonesia, bahkan semangat berpolitik pun sudah diwarnai oleh sentimen keagamaan yang tinggi. Maka perhatian dunia Barat kini pun tertuju kepada Indonesia dan Malaysia , dengan memberikan banyak suplai dana kepada lembaga-lembaga yang mampu melemahkan kelompok-kelompok Islam di Indonesia.
Dalam sejarahnya, ketika filsafat Romawi dan Yunani "mati" mereka tidak mampu menghidupkannya kembali. Lalu, oleh al-Kindi, filsuf Islam, pemikiran-pemikiran seperti Aristoteles dan Plato dimodifikasi dan diklasifikasikan. Dalam kajiannya, Plato mengatakan bahwa tuhan hanya "duduk manis", kemudian dirubah oleh al-Kindi tuhan adalah tuhan al-Khalik (pencipta). Begitu juga ketika Aristoteles mengatakan tuhan the first (yang pertama), al-Kindi merubahnya menjadi tuhan al-Haq (yang benar).
Masih banyak lagi bukti, bahwa peradaban dan tradisi ilmu Islam jauh lebih maju ketimbang eropa dan Barat ketika itu. Peradaban Islam itu dibangun dengan tradisi ilmu.
Maka Dengan demikian tugas umat Islam saat ini adalah membangun peradaban Islam, dengan cara sering memunculkan wacana dan konsep mengenai peradaban Islam. Jangan hanya rajin turun ke jalan tetapi tidak tahu bagimana konsep membangun peradaban. Peradaban Islam yang harus dibangun di dunia modern sekarang ini adalah peradaban Islam modern yang mandiri, yaitu peradaban yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat Islam modern, bukan kebudayaan pra-Islam atau kebudayaan asing yang merusak generasi muslim. Yaitu, peradaban yang berpijak pada teks al-Qur’an dan Hadits, karena masa kejayaan Islam di Masa Nabi, ketika al-Qur'an dan Hadits sebagaim pedomannya, hingga kini tidak dapat tertandingi. Hal itu penting karena asas dari sebuah peradaban adalah pemikiran. Pemikiran Islam harus bersumber dari al-Quran dan Hadits.
Jika di atas disebutkan bahwa peradaban Barat hanya dalam bentuk fisik, sementara peradaban Islam dibangun dalam bentuk fisik dan spiritual, maka dalam membangun peradaban Islam modern juga demikian, harus memperhatikan aspek spiritual. Dengan begitu, peradaban fisik tidak akan merusak generasi muslim dari sisi spiritualnya, tidak sebagaimana peradaban Barat, yang telah banyak merusak generasi muda.
Iqbal sendiri memberikan apresiasi yang tinggi terhadap peradaban fisik dan pemikiran yang dikembangkan oleh Barat. Tetapi, sikap mengabaikan pilar dzikr dinilainya sebagai sebuah sarang yang ditaruh di atas dahan yang rapuh dan tidak akan bertahan lama. Menurut Iqbal dalam membangun peradaban Islam yang modern, harus mengintegrasikan fisik dan spiritual secara baik. Dalam perspektif historis, ketika Nabi ingin membangun kota Madinah, yang beliau bangun pertama kali adalah masjid. Demikian pula dengan yang dilakukan oleh umat Islam pada periode kreatif dan dinamis, ketika dunia Islam menjadi pusat dari seluruh dunia beradab, yang pertama dilakukan ketika menaklukkan sebuah kota adalah mendirikan masjid dan sekolah.[79] Dua bangunan ini melambangkan betapa generasi awal itu telah berpikir jauh ke dunia abstrak yang diwujudkan dalam bentuk bangunan konkret: masjid adalah simbol dari dzikr, sedangkan sekolah adalah lambang dari aktivitas fikr. Tidak satu umat dalam perjalanan sejarah manusia yang begitu jelas merumuskan eksistensinya di permukaan bumi. Dzikr dan fikr adalah dua pilar peradaban yang kokoh. Wallahu A’lam.
[1] M. Hamdi Zaqzuq, al Hadarah al Islamiyah al Faridah (Kairo: The Contemporary Muslim, 1992), 63.
[2] Huntington , The Clash of Civilizations, 28.
[3] Qasim Abduh, “Arab Sanah 1000 wa Arab Sanah 2000”, al ‘Arabi, Vol. 498, Mei, 2000, 24.
[4] David Lamb, The Arabs Journey Beyond (New York: Random House, 1987), 26.
[5] Sulayman al Khatib, Usus Mafhum al Hadarah fi al Islam (Kairo: al Zahra, 1986), 7.
[6] Lih. Andi Faisal Bakti, The Polotical Thought and Communication of Ibn Khaldun, dalam The Dynamics of Islamic Civilization (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), 233-250., Fuad Ba’ali and Ali Wardi, Ibn Khaldun and Islamic Thought Style (Boston: Massechusetis, 81), 1.
[7] Scott Gordon, The History and Philosophy of Social Science (New York: Routledge, 1991), 148-154.
[8] A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, 5.
[9] Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial (terj.) Alimandan SU (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 414.
[10] Manfred Halpen, “Toward Further Modernization of the Study of New Nations” dalam World Politics, 17 (Oktober 1996), 173.
[11] Aziz al-Azmeh, Islam and Modernities (London: Veerso, 1993), 39.
[12] Akbar S. Ahmed, Islam, Globalization and Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1994), 1.
[13] Akbar S. Ahmed, Islam, Globalization, 6.
[14] Ibid.
[15] Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan,83.
[16] Ibid., 25.
[17] Dapat dilihat dalam william McCord, The Springtime of Freedom (New York: Oxford university press, 1965), 3-18.
[18] Ronald Alan Lukens Bull, A Peaceful Jihad: Javanese Islamic Education and Religious identity Construction (A Dessertation for the Degree Doctor of Philosophy in Arizona State University, 1997), 7.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Hammis Syafaq, al Hadarah al Islamiyah al Gontoriyah (Kairo: La Tansa, 1999).
[22] Franz Roshental, Ibn Khaldun, The Muqaddimah, An Introduction to History (Princeton: Princeton University Press, 1989), hlm.45.
[23] Abdullah Sharif, al Fikr al Akhlaqi ‘Inda Ibn Khaldun (al Jazair: al Muassasah al Wataniyyah, 1984), hlm.187.
[24] Roshental, The Muqaddimah, hlm.53.
[25] Ibid., hlm.91., Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm.96.
[26] Lih. M. A. Jabbar Beg, Towards Concept of Islamic Civilization, The Muslim World League Journal, Nov-Dec, 1983, hlm.38-42.
[27] Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm.270.
[28] D.J. Dwyer, “The City as a Centre of Change in Asia ,” dalam Hans-Dieter Evers, Sosiologi Perkotaan (Jakarta: LP3ES, 1986), 7.
[29] Ibid., 7.
[30] Daniel Lerner, The Passing of Traditional Society: Modernizing the Middle East (New York: The Press, 1958), 61.
[31] Toynbee, Astudy of History, 50.
[32] Ibid., 122.
[33] Roshental, Ibn Khaldun, The Muqaddimah, x.
[34] Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm.319-324.
[35] Ibid., hlm.324-340.
[36] Roshental, Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm.318-332.
[37] Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 344.
[38] Roshental, Ibn Khaldun, 45.
[39] Lih. Sulayman al Khatib, Usus Mafhum al Hadarah, 24. Roshental, Ibn Khaldun, 91.
[40] Saleh Faghir Zadeh, Sociology of Sociology; In Search of Ibn Khaldun’s Sociology Then and Now (Teheran: The Sorouch Press, 1982), 55-57.
[41] Roshental, Ibn Khaldun, The Muqaddimah, hlm.x.
[42] Ba’ali and Wardi, Ibn Khaldun and Islamic, hlm.131.
[43] Ibid., 260.
[44] Ibid., 138., Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: Macmilton Press, 1974), 280.
[45] Toynbee, A Study of History, 190.
[46] Hal senada juga dikatakan oleh Huntington. Bahwa peradaban itu bersifat mortal, ia tumbuh, kemudian berkembang, tapi selanjutnya menghilang. (lih. Huntington, The Clash, 44).
[47] Faisal, The Political Thought, 235.
[48] Ibid., 42.
[49] Toynbee, A Study of History, 173.
[50] M. Hamdi Zaqzuq, al Hadarah al Faridah, 63.
[51] Karen Amstrong, Islam. Sejarah Singkat, 19.
[52] Robert N. Bellah, Beyond Belief.
[53] Karen Amstrong, Islam. Sejarah Singkat, ter. Fungky KusnaendyTimur (Yogyakarta: Jendela, 2003), 16.
[54] Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit dan Wahyu di Bumi (Jakarta: Paramadina, 2003), 19.
[55] Karen Amstrong, Islam. Sejarah Singkat, 30.
[56] Siti Maryam (ed.), Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Masa Modern (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2003), 56-57.
[57] Ibid., 70-71.
[58] Karen Amstrong, Islam. Sejarah Singkat,39.
[59] Ibid., 52.
[60] Siti Maryam (ed.), Sejarah Peradaban Islam, 89.
[61] Ibid., 127-128.
[62] Karen Amstrong, Islam. Sejarah Singkat, 136-161.
[63] Di antara bukti riilnya adalah bahwa pada masa Daulah Abbadiyah, kota Baghdad pernah mencapai zaman keemasan, di mana Baghdad pada saat itu telah mampu menjadi pusat peradaban Islam, tempat berkumpulnya para ulama dan pusat orang mengkaji ilmu-ilmu keislaman sehingga ia mendapatkan julukan madinat al salam. Hammis Syafaq, al Hadarah al Islamiyah al Gontoriyah.
[64] Qasim Abduh, “Arab Sanah 1000 wa Arab Sanah 2000”, al ‘Arabi, Vol. 498, Mei, 2000, 26. peradaban itu mereka capai setelah mereka mengenal Islam, ketika Islam menguasai Andalusia, bahkan untuk beberapa masa , orang Barat menggunakan mata uang Arab (koin emas) untuk dijadikan sebagai transaksi perdagangannya.
[65] Hammis Syafaq, Pemikiran Modern dalam Islam (Surabaya: Diktat Perkuliahan, 2008).
[66] Qasim Abduh, “Arab Sanah 1000 wa Arab Sanah 2000”, al ‘Arabi, Vol. 498, Mei, 2000, 26.
[67] M. Arkoun, Rethingking Islam Today (DC, Center for contemporary Arab studies; Georgetown university, 1987), 13.
[68] Hammis Syafaq, Pengantar Studi Islam (Surabaya: Diktat Perkuliahan, 2004).
[69] Derek Hopwood, Egypt , Politics and Society 1945-1984 (London: Billing&Sons, 1985).
[70] Afaf Luthfi Sayyid Al-Marsot, A Short History of Modern Egypt (Cambridge: Cambridge University Press, 1990).
[71] John L. Esposito, Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World.
[72] Hammis Syafaq, PMDI.
[73] Taha Parla, The Social and Political Thought of Ziya Gokalp 1876-1924 (Leiden: E.J. Brill, 1987).
[74] Niyazi Berkes, The Development of Secularism in Turkey (Montreal: Mc Gill University Press, 1964).
[75] Akbar S. Ahmed, Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), 31.
[76] Ibid., 7.
[77] Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accomodation of Social Change (Oxford: Westview Press, 1991), 8.
[78] Clifford Geertz, Islam Observed, Religious Development in Morocco and Indonesia (New Haven: Yale University Press, 1968), 3.
[79] Gustave Le Bon, The World of Islamic Civilization.
0 Comments:
Post a Comment