Melestarikan Alam yang Sakral: Etika Islam tentang Kosmos


Melestarikan Alam yang Sakral:

Etika Islam tentang Kosmos

Abdul Kadir Riyadi

Keindahan alam adalah cerminan bagi Yang Maha Benar

(Plato).

Pendahuluan

Sebagian besar –jika tidak keseluruhan- ilmu-ilmu ke-Islaman dimaksudkan untuk mengenal Tuhan lebih dekat. Tidak ketinggalan adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan alam, baik yang disebut dengan ilmu alam sendiri, astronomi, ekologi maupun kosmologi. Kerangka pijak ilmu pengetahuan dalam Islam adalah Tauhid; sebuah ilmu yang diciptakan dalam kerangka Islam selalu terkait dengan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Secara sederhana dapat kita katakan bahwa tidak ada dalam Islam sebuah disiplin ilmu yang terpisah dari misi besar Islam untuk menghadirkan Tuhan dalam kehidupan manusia sehari-hari.


Islam memandang setiap ilmu –baik ilmu agama maupun umum- sebagai ilmu yang suci, dan bertujuan untuk mengenal Yang Suci. Biasanya landasan epistemologis yang dianut oleh sebuah ilmu yang muncul dalam kerangka Islam tidak berhenti pada apa yang bisa kita sebut sebagai fenomena, tapi mengajak kita untuk menembus dunia fisik itu kepada dunia metafisik, atau noumena, sehingga akan tercipta sebuah kepercayaan kepada Sang Pencipta yang berada di balik semua ciptaan yang ada di jagad raya ini.

Dalam berbagai ayat al-Qur’an diisyaratkan bahwa melihat dan merenungi tanda-tanda kekuasaan Tuhan yang ada di alam raya ini dapat mendekatkan diri kita kepada Tuhan. Ini artinya bahwa alam raya adalah “kitab suci” yang terletak di dalamnya karya Tuhan yang artistik dan penuh makna; di mana Tuhan –meminjam istilah Jalaluddin Rumi- tidak pernah berhenti melukis karyanya yang maha indah.

Kesucian alam sudah sering ditegaskan oleh al-Qur’an. Larangan untuk membunuh (Q 6/151) dan melakukan kerusakan di muka bumi (Q 7/56) adalah penegasan atas kesucian alam itu. Dalam pandangan Abdul Karim al-Jilli[1] seorang pemikir Sufi, alam ini suci karena ia diciptakan oleh Tuhan melalui proses yang suci pula (ikhtirā’ ilāhi). Bahkan –masih menurut al-Jilli- alam ini di samping suci juga merupakan pancaran atau jelmaan dari Tuhan Yang Maha Suci. Mengingat bahwa alam diciptakan dengan kodrat-Nya yang qadīm, dan bahwa proses penciptaan alam itu tidak pernah lepas dari penampilan Tuhan secara terus menerus, maka alam itu dalam dirinya mengandung unsur yang ilahi, atau suci.[2]

Al-Jilli juga melihat adanya keterkaitan dan hubungan yang permanen, lekat dan saling lebur antara Tuhan dengan alam. Bahwa Tuhan adalah yang menciptakan alam, menjadikan hubungan antara Sang Pencipta dan yang diciptakan sebagai sesuatu yang lumrah bahkan niscaya. Dalam pandangannya, hubungan antara Tuhan dan alam adalah seperti air dan es. Tuhan adalah air dan alam adalah es. Nama es sebenarnya tidak ada, karena pada dasarnya es adalah air. Kata es hanya ada ketika –dan hanya ketika- air menjadi dingin dan menggumpal. Selama air tidak menjadi dingin dan menggumpal, maka es tidak akan pernah menjadi es dan hanya menjadi air. Artinya, secara hakiki es adalah air dan kata es itu hanya dipinjamkan kepadanya oleh air selama ia dalam kondisi dingin dan menggumpal.[3] Dalam ungkapan yang lebih sederhana, al-Jilli melihat alam –yang tidak lain adalah dunia fenomena- sebagai bagian integral dari dunia noumena; alam manusia adalah kepanjangan tangan dari alam Tuhan; kota manusia adalah titisan dari pada kota Tuhan.

Rumusan Masalah

Apa yang kita katakan di atas mengandung arti bahwa bagi Islam segala sesuatu termasuk alam dan berbagai keanegaramanan genetiknya membentuk satu nilai yang harus dijaga dan dirawat; sebuah nilai yang bersifat nasuti tapi amat terkait dengan sebuah nilai yang lebih besifat lahuti. Untuk itulah Islam ingin mempertahankan nilai yang insani ini karena ada sambung sinambungnya dengan yang lahuti. Tidak aneh, jika apa yang dikumandangkan oleh Islam mengenai kewajiban menjaga alam adalah bersifat mengikat dan final, karena bagi Islam alam adalah suci dan sakral dan merepresentasikan diri sebagai Logos.[4]

Kesakralan alam itu bahkan penting artinya bagi kelangsungan eksistensi agama apalagi jika kita lihat dari sudut pandang sosiologis di mana agama –baik Islam maupun yang lain- membutuhkan sesuatu yang nampak yang bersifat sakral yang berfungsi mewakili agama itu pada tataran yang tidak nampak. Artinya, sisi agama yang bersifat ghaibi atau noumena harus dicerminkan atau diwujudkan oleh agama melalui sesuatu yang bersifat nampak dan nyata agar manusia yang hidup di alam nyata ini dapat dengan mudah menangkap pesan-pesan agama. Dari perspektif sosiologis ini, agama Kristen yang menjadikan Yesus sebagai Logos telah menempuh jalan yang benar walau secara teologis –paling tidak menurut Islam- jalan yang ditempuh itu salah. Tapi menariknya, Islam pun menempuh jalan yang hampir sama dengan Kristen ketika Islam menjadikan Ka’bah sebagai “personifikasi” dari pada Tuhan di atas bumi. Hanya saja, Islam tidak menuhankan benda seperti Ka’bah atau yang lainnya termasuk manusia sebagai Tuhan.

Posisi penting yang ditempati oleh alam dalam keseluruhan struktur agama –terutama Islam- semakin jelas ketika kita melihat bahwa dalam Islam Kitab Suci, alam dan manusia membentuk suatu kesatuan yang bisa kita pandang sebagai piramida keberadaan. Kitab Suci mewakili kerajaan langit, alam mewakili kerajaan bumi, dan manusia mewakili dunia kecil atau apa yang oleh Ibn ‘Arabi disebut sebagai al-ālam al-shaghīr.

Dalam tradisi pemikiran Islam, keterkaitan antara Kitab Suci (wahyu) dan alam amat erat, di mana yang pertama sering disebut sebagai al-Qur’an al-Tadwini (Qur’an yang tertulis) dan yang kedua dipandang sebagai al-Qur’an al-Takwini (Qur’an alam). Walau sebutannya beda, tapi keduanya memiliki fungsi yang sama, yaitu sama-sama sebagai Logos yang mencerminkan tanda-tanda kekuasaan Tuhan dan kebesaran-Nya. Di sini manusia adalah Nomos yang berperan sebagai yang membaca, yang menafsirkan, dan memahami serta menemukan tanda-tanda kebesaran Tuhan itu. Perbedaan antara Kitab Suci dan alam yang keduanya merupakan media untuk mengetahui “Kerajaan Tuhan” amatlah tipis karena keduanya adalah ayat, yang berarti secara epistemologis wahana untuk mengetahui Yang Maha Suci. Ayat itu sendiri adalah kalimat suci yang meliputi Kitab Suci, dunia makrokosmik atau alam dan dunia mikrokosmik atau manusia.[5] Artinya ayat tidak saja ada pada al-Qur’an al-Tadwini tapi juga pada pada al-Qur’an al-Takwini dan manusia. Itulah sebabnya dalam al-Qur’an surat 41/53 Tuhan berfirman “akan Kami tunjukkan kepada mereka ayat-ayat Kami (yaitu tanda-tanda kebesaran Kami) di dalam alam raya (afaq) dan dalam diri kamu sendiri (anfus)”.

Di dalam beberapa agama seperti Hindu, Buddha dan Zoroastrianisme, bahkan ada kecenderungan untuk tidak saja melihat alam –atau bagian dari alam seperti binatang, tumbuhan dan api- sebagai Logos, tapi sebagai Tuhan itu sendiri. Ini memang tidak sesuai dengan pandangan teologis Islam. Tapi permasalahan yang patut kita angkat adalah bahwa alam ternyata memiliki tempat tersendiri dalam keseluruhan kehidupan beragama baik dalam Islam maupun agama-agama lain.[6] Dengan tingkatan yang berbeda, hampir semua agama memandang alam sebagai bagian integral –bukan saja bagi kelangsungan hidup manusia- tapi juga bagi kelanggengan sistem teologis dan filosofis agama-agama itu. Ibn Sina, menulis buku berjudul Kitab al-Tabi’iyyat (Buku Alam). Buku ini tidak hanya membahas mengenai alam dan berbagai fenomena yang terkait dengannya tapi juga berupaya menunjukkan bahwa ada keterikatan erat antara Tuhan dan alam yang diciptakan-Nya.

Dari sudut pandang ini, ilmu-ilmu ke-Islaman amat berbeda secara amat tajam dengan beberapa ilmu-ilmu yang muncul di Barat terutama filsafat Positivisme yang tidak hanya menolak adanya hubungan piramidal antara alam, manusia dan Tuhan tapi juga sekaligus menolak ghaibiyyāt itu sendiri. Saya kira kita sedikit banyak sudah memahami cara dan corak pandang filsafat Positivisme berikut implikasi yang muncul karenanya, dan dengan demikian nampaknya tidak perlu untuk terlalu mendalami masalah ini di sini.[7] Sedikit saja kita singgung bahwa filsafat positivistik yang mengusung proyek rasionalisme murni telah gagal karena telah membuang apa yang telah lama menjadi dasar esential bagi kehidupan manusia pada tataran normal, etika dan yang lebih penting lagi metafisika.

Pandangan metafisik menuntun kita patuh pada sebuah imperatif religi yang pada gilirannya mengarahkan kita pada adanya sistem yang mapan, stabil dan pasti. Ini berarti bahwa pada tingkat praktis tehnis, metafisika merupakan mekanisme untuk mewujudkan sebuah lingkungan sosial yang aman dan nyaman. Petualangan filsafat positivistik yang menolak metafisika tidak hanya gagal tapi juga berujung pada penolakan terhadap Tuhan sebagai Yang Ada, dan –implikasinya- pada segala sesuatu yang nyata termasuk alam dan manusia. Walau secara “sampul” filsafat ini menerima yang ada sebagai sesuatu yang nyata, namun secara maknawi tidak demikian. Secara maknawi, filsafat positivistik melupakan dan menolak pandangan teleologis tentang alam dan manusia; bahwa hidup ini memiliki tujuan pada dirinya. Padahal tujuan merupakan esensi dari wujud yang karenanya keberadaan ini memiliki makna. Penolakan aspek teleologis adalah penafian secara langsung terhadap esensi dan sekaligus makna wujud itu. Karena esensi dari wujud ini adalah tujuannya, maka penolakan terhadap aspek teleologis wujud merupakan penolakan secara langsung terhadap keberadaannya secara maknawi.

Selanjutnya, penolakan terhadap aspek teleologis ini telah melahirkan mentalitas dan belenggu-belenggu otoritarianisme yang pada gilirannya akan –bahkan telah- mengekplorasi alam secara ganas. Alam tidak lagi dipandang sebagai yang bernilai dan bertujuan.

Dalam kerangka inilah penilitian tentang etika ekologi Islam ini dilakukan.

Tinjauan Pustaka

Berbeda dengan pandangan Barat tentang dunia dan wujud, Islam terutama yang diwakili oleh Tasawuf tidak saja menghargai dan menempatkan alam pada posisi penting secara ontologis maupun agama, namun juga melihatnya sebagai ciptaan Tuhan yang memancarkan dan mencerminkan sifat dan nama-Nya. Untuk itu menghormati dan menghargai hak moral alam adalah –bagi Islam- imperatif religi yang harus ditegakkan.

Alam dengan berbagai keanekaragaman genetiknya membentuk sebuah nilai dalam dirinya sehingga pelestariannya pun mengandung unsur nilai. Seperti manusia, alam dengan kehidupan organisnya juga memiliki rasa yang jika dilukai akan sakit.[8]

Dalam Tasawuf, alam adalah theophany. Ibn Arabi dan Rumi adalah dua dari sekian banyak orang Sufi yang bicara bahkan menyerukan pandangan yang mempercayai bahwa alam raya ini –termasuk di dalamnya manusia- adalah “jelmaan” dari Tuhan.[9] Ibn Arabi terkenal dengan konsep al-Insān al-Kāmil (manusia utama) yang tidak lain adalah sosok manusia yang memiliki sifat-sifat ketuhanan, walau memang tidak –dan tidak mungkin- persis seperti Tuhan. Rumi juga terkenal dengan konsepnya yang ia sebut al-Aql al-Kulli (akal universal) yang intinya adalah bahwa jika akal telah mencapai tingkat aktualisasi, maka manusia sebagai pemilik akal tersebut akan menjadi “cermin yang cerah yang dapat memancarkan manifestasi Tuhan secara jelas dan nyata”.[10]

Konsep kedua tokoh Tasawuf itu sebetulnya merupakan dua sisi dari satu koin. Akal universal merupakan akal milik manusia utama, dan sebaliknya manusia utama adalah dia yang telah mewujudkan akalnya menjadi akal universal. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapa sebenarnya manusia utama itu dan apa ciri-ciri yang dimilikinya?

Bagi kaum Sufi, manusia utama adalah Nabi Muhammad SAW yang tidak lain adalah kulminasi dari segala kesempurnaan yang pernah dimiliki oleh bani Adam dalam keseluruhan sejarah eksistensinya. Pandangan ini tentu benar adanya. Namun dalam kontek permasalahan yang sedang kita kaji ini, nampaknya kita dituntut untuk tidak berhenti pada jawaban itu dan bersedia menerima pandangan bahwa siapa saja bisa menjadi manusia utama.

Jika kita menggunakan kerangka berpikir Rumi, maka penjelasan mengenai manusia utama itu bisa kita mulai dengan berpijak pada pembagian akal manusia menjadi dua bagian, yaitu akal partial (al-‘aql al-juz’i) dan akal universal (al-‘aql al-kulli). Pembagian ini berdasarkan fungsi dan kegunaannya. Jenis akal pertama bersifat faktual, maksudnya apa adanya, dan jenis kedua adalah akal aktual, artinya telah mencapai pada tingkatan tertentu dan mewujudkan tujuan hakikinya. Manusia dengan jenis akal pertama adalah manusia partial, sedang manusia dengan jenis akal kedua adalah manusia universal, yaitu manusia utama.

Manusia utama dengan akal universalnya dalam pandangan Rumi adalah yang telah mencapai pada suatu tingkatan di mana yang penting baginya adalah keutamaan. Manusia menjadi utama jika ia memiliki keutamaan. Dan keutamaan itu ditentukan oleh kondisi akalnya, apakah partial atau universal.

Bagi kaum Sufi seperti Ibn ‘Arabi dan Rumi, Tasawuf merupakan media dan mekanisme untuk menuju kepada keutamaan. Seseorang harus secara terus menerus melakukan perjalanan spiritual melalui Tasawuf guna meng-aktualkan akalnya dan men-transform dirinya menjadi manusia utama.

Pada tingkatan tertentu, Ibn ‘Arabi dan Rumi berkeyakinan bahwa manusia utama adalah jelmaan sempurna dari Sang Pencipta yang dapat memerankan peran di atas panggung gembira kehidupan sesuai dengan kehendak suci-Nya. Secara ekologis, patokan ini berarti bahwa manusia utama adalah dia yang mengerti dengan baik tata cara kehidupan sehingga alam di sekitarnya tidak terluka dan tetap terjaga.

Penjelasan lebih lanjut mengenai konsep manusia utama pernah diberikan oleh al-Jilli yang pemikirannya mengenai kesucian alam sudah kita singgung sedikit di atas. Al-Jilli –seperti Ibn ‘Arabi dan Rumi- memandang manusia utama sebagai penampilan diri (tajalli) Tuhan yang paripurna atau bahkan jelmaan (nuskhoh) dari pada-Nya. Sebagai makhluk yang sengaja diciptakan oleh Tuhan sebagai role model bagi semua orang, manusia utama mengumpulkan dalam dirinya sifat-sifat yang ber-aspek ganda, aspek agama dan aspek sosial. Baginya, manusia utama adalah rantai penghubung antara Tuhan, manusia dan alam. Ia sempurna dari segi wujud dan esensi karena mampu memanifestasikan dalam dirinya citra Tuhan dan mencerminkan sifat dan nama-Nya dengan sempurna pula.[11]

Untuk itulah, pada tataran agama manusia utama memiliki keutamaan tersendiri sebagaimana dalam tatanan sosial praktis ia juga memilki tugas dan fungsi yang istemewa. Menurut al-Jilli, di samping sebagai “penyambung lidah” Tuhan, manusia utama adalah “penyebab kelestarian alam dan eksistensinya, serta pusat kesadaran manusia terhadap semesta”.

Apa yang kita jelaskan di atas sampai titik ini adalah dasar dan landasan etika Islam tentang ekologi. Secara sederhana, dapat kita katakan bahwa etika Islam tentang ekologi berpedoman pada rasa hormat terhadap alam sebagai wujud yang memiliki nilai pada dirinya. Etika itu juga berpijak pada rasa tanggung jawab terhadap kelestarian dan keseimbangan alam. Baik secara langsung maupun tidak, Islam selalu menegaskan bahwa manusia memiliki kewajiban moral untuk menjaga kelestarian alam dan keutuhannya. Islam sadar bahwa secara ekologis manusia adalah bagian dari alam. Penggerusan terhadap alam adalah malapetaka bagi manusia.

Dari sudut pandang ini, pandangan dunia Islam lagi-lagi berbeda secara tajam dari perspektif dan pemikiran Barat moderen yang tidak terlalu peduli pada alam dan nasibnya. Pemikiran Barat moderen seperti yang diwakili oleh Immanuel Kant, Kierkegaard, Diderot, Hume dan Smith hanya concern pada nasib manusia dalam jangka pendek. Ini akan kita jelaskan lebih lanjut dalam penelitian ini nanti.

Bagi Islam, alam dan keseimbangannya harus dijaga dan dilestarikan. Ajaran Islam mengenai hal ini amatlah tegas. Al-Qur’an dalam surat al-Rahman/7 bicara soal mizan (keseimbangan) di mana Allah berfirman “Dan Dia mengangkat langit lalu membuat keseimbangan baginya”. Secara legal formal kata mizan dapat berarti timbangan. Dalam surat yang sama ayat 9, kata mizan itu dapat diartikan sebagai “dan janganlah kamu sekalian mengurangi timbangan”, yaitu timbangan yang digunakan dalam proses jual beli. Namun secara keseluruhan kata mizan dalam surat al-Rahman tersebut lebih tepat diartikan sebagai keseimbangan alam, apalagi jika kita perhatikan secara lebih seksama surat itu banyak bicara tentang alam beserta isinya termasuk manusia, matahari, bulan, bintang, pepohonon, langit, bumi, buah-buahan, binatang dan lain sebagainya. Maka dapat dipahami bahwa kata mizan itu –sekali lagi- lebih bermakna keseimbangan alam; bahwa tujuan dari Tuhan menciptakan matahari, bulan dan seterusnya itu adalah untuk menciptakan adanya keseimbangan dalam jagad raya. Secara tersirat ayat itu juga berarti bahwa ciptaan Tuhan itu secara keseluruhan membentuk satu kesatuan di mana jika salah satu dari keseluruhan itu terganggu maka stabilitas alam secara umum pun akan terganggu. Saya yakin secara scientifik ini sudah terbukti apalagi dalam beberapa temuan kajian ekologi didapatkan bahwa gundulnya hutan di beberapa belahan dunia telah mengakibatkan semakin naiknya suhu udara di atas bumi. Kemudian semakin naiknya suhu udara di bumi itu mengakibatkan pula mencairnya beberapa pulau es di kutub utara sehingga pada akhirnya berujung pada semakin naiknya permukaan laut di seluruh belahan bumi. Ini adalah contoh kecil di mana satu isi alam raya ini terkait satu sama lain secara sangat intricate dan intimate.

Apa yang kita lihat sekarang ini adalah kerusakan tanpa batas di mana kesuburan berubah menjadi kegersangan, kerimbunan menjadi ketandusan dan bahkan air menjadi api.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Secara konseptual menggali dari timbunan khazanah Islam sebuah gagasan yang kiranya dapat menumbuhkan kesadaran, kebijakasanaan, dan rasa hormat kita kepada alam. Dan dengan demikian, penelitian ini bertujuan merumuskan secara sederhana etika ekologi Islam.

2. Menunjukkan komitmen Islam akan pentingnya melestarikan alam dan menjaga keseimbangannya.

3. Mencari imperatif agama yang cocok bukan saja bagi masyarakat yang telah rusak ekosistem-nya tapi juga bagi masyarakat pada umumnya yang ingin hidup dalam lindungan alam yang aman dan nyaman. Kerangka besar imperatif ini adalah bahwa –sesuai dengan al-Qur’an- perbuatan baik yang menguntungkan alam harus didukung dan yang tidak harus diperangi.

Kegunaan Penelitian

  1. Karena masalah etika ekologi Islam adalah masalah baru dalam khazanah pemikiran kita, maka penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai landasan untuk mengembangkan pemahaman kita tentang alam, dan pada gilirannya untuk mengembangkan sebuah gagasan epistemologis yang benar dan bersahabat pada alam.
  2. Secara lebih ril, penelitian ini diharapkan berguna untuk mengubah pandangan kita tentang alam. Etika ekologi yang dalam penelitian ini didasarkan pada prinsip-prinsip universal Islam dimaksudkan untuk memicu kita ke arah kerangka pikir di mana seluruh gambaran kita tentang alam mengacu pada diri kita sendiri sebagai faktor kausal. Artinya, apa yang dapat kita harapkan dari penelitian ini adalah adanya perubahan pada kesadaran kita untuk menjaga dan melestarikan alam.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kajian literatur. Pertama-tama yang akan dikaji adalah al-Qur’an yang sudah memuat banyak referensi tentang alam dan pelestariannya. Di samping itu kita juga akan mengkaji al-Hadith dan buku-buku karya para pemikir Muslim terutama kaum Sufi seperti Ibn ‘Arabi, Jalaluddin Rumi dan Abdul Karim al-Jilli. Dari text-text agama yang ada, berikut pendapat para pemikir Muslim yang kita temukan, akan ditarik sebuah kesimpulan bahwa tanggung jawab manusia kepada alam bersifat religi, moral dan sosial. Lalu kita kembangkan premis ini dengan mengatakan bahwa tanggung jawab agama, moral dan sosial manusia itu tidak semata-mata terbatas pada kewajiban menjalankan aturan-aturan agama dan norma-norma sosial saja, tapi juga mencakup kepedulian mereka terhadap lingkungan dan alam di sekitarnya. Kita cenderung meyakini bahwa rasa tanggung jawab yang ingin ditanamkan al-Qur’an dalam diri manusia bersifat universal. Artinya, tidak terbatas pada pelaksanaan kewajiban agama saja, tapi juga meluas pada kewajiban antara sesama dan juga lingkungan.

Dengan demikian, penelitian ini berangkat dari satu tesis bahwa etika ekologi Islam berlandaskan pada penanaman rasa tanggung jawab kepada sesama manusia dan alam sekitar kita.

Penelitian ini juga akan menelusuri pandangan para tokoh pemikir Barat terkemuka sebagai perbandingan atas pandangan para tokoh pemikir Muslim tentang etika ekologi.

Karena etika berkaitan secara langsung dengan tindakan, maka penelitian ini akan pula mengkaji pandangan Islam dan Barat tentang tindakan. Berbeda dengan filsafat atau bahkan teologi, etika mendasari diri pada problematika nyata dan betujuan menawarkan resep yang dapat diaplikasikan secara nyata pula. Itulah sebabnya, penelitian ini juga bertujuan menanamkan rasa kesadaran pada diri kita untuk menjaga kelestarian alam, yang jika tujuan itu tercapai maka dampak dari penelitian ini sudah terlihat secara nyata.

Bibliography

Anwar, Rosihan. Ilmu Tasawuf. (Bandung: Pustaka Setia), 2000

Chittick, William. Dunia Imajinal Ibnu Arabi dan Kreatifitas Imajinasi. Terjemah

Indonesia oleh al-Asyihid. (Surabaya: Risalah Gusti), 2000

Goodenough, Ursula. The Sacred Depths of Nature. (New York: Oxford University

Press), 1998

Jilli, Abdul Karim. Al-Insān al-Kāmil. (Kairo: Tanpa Penerbit), 1340/1921-22

MacIntyre, Alasdair. After Virtue: A Study in Moral Theory. (London: Duckworth), 1981

Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Sacred. (USA: SUNY), 1989

Qur’an, terjemah Bahasa Indonesia. (Kerajaan Arab Saudi) 1418 H

Russell, Collin A. The Earth, Humanity and God: The Templeton Lectures. (London:

UCL Press), 1994

Riyadi, Abdul Kadir. Show Me Things As They Are: Study on the Religious Thought of

Jalaluddin Rumi. Disertasi PhD diajukan ke University of Cape Town, 2004

Tucker, Mary Evelyn and John A Grim (editors). Worldviews and Ecology. (Lewisburg:

Bucknell University Press), 1993

Willoughby, William Charles. Nature, Worship and Taboo: Further Studies in “The

Soul of the Bantu”. (Hartford: Hartford Seminary Press), 1932

JADWAL KEGIATAN

NO

NAMA KEGIATAN

TAHUN 2007

AGUST

SEPT

OKT

NOP

DES

1

Penyempurnaan proposal

x

x

2

Diskusi informal proposal

x

3

Pelaksanaan penelitian I

x

x

4

Diskusi informal hasil I

x

5

Pelaksanaan penelitian II

x

x

x

6

Diskusi informal hasil II

x

7

Pelaksanaan penelitian III

x

x

x

8

Diskusi informal hasil III

x

9

Telaah hasil I, II, III

x

x

x

10

Pengetikan hasil penelitian

x

11

Pembahasan hasil penelitian dalam kelompok studi

x

12

Perbaikan dan pengetikan

x

x

13

Penggandaan hasil penelitian

x

PERINCIAN PENGGUNAAN BIAYA PENELITIAN

NO

JENIS KEBUTUHAN

BIAYA

(Rp.)

1

Pembuatan dan penggandaan proposal

300.000.-

2

Seminar informal proposal

300.000.-

3

Proses pengumpulan data tahap I, II, dan III

400.000.-

4

Pembelian dan fotokopi bahan penelitian termasuk transportasi dan konsumsi.

5.000.000.-

5

Diskusi tiga kali: hasil data tahap I, II, dan III

1.000.000.-

6

Honor pembantu tehnis:

Fotokopi 1 orang : Rp. 200.000.-

Pengetikan 1 orang : Rp. 300.000.-

Editing 1 orang : Rp. 300.000.-

Anggota 1 orang : Rp. 400.000.-

1.200.000.-

7

Alat tulis, tinta cartridge, dan kertas

200.000.-

8

Pembuatan laporan

a. Pengetikan 50 halaman @ Rp. 1500 : Rp. 75.000.-

b. Copi hasil penelitian 50x100.-x30 : Rp. 150.000.-

c. Penjilidan 10 eks. @ Rp. 10.000.- : Rp. 100.000.-

325.000.-

JUMLAH

8.725.000.-

(Delapan juta tujuh ratus dua puluh lima Rupiah)



[1] Tahun kematian al-Jilli tidak diketahui dengan pasti. Namun dapat dikatakan bahwa ia wafat antara tahun 1408 - 1417

[2] Abdul Karim al-Jilli, al-Insān al-Kāmil, Volume I, (Kairo: Tanpa Penerbit), 1340/1921-22, 104

[3] Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia), 2000, 111-28

[4] Mengenai alam sebagai Logos berikut elaborasinya, lihat Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (USA: SUNY), 1989, 189-220

[5] Ibid

[6] Masalah ini telah diulas oleh beberapa ahli kajian agama. Lihat umpama, Ursula Goodenough, The Sacred Depths of Nature, (New York: Oxford University Press), 1988. Collin A Russel, The Earth, Humanity and God: The Templeton Lectures, (London: UCL Press), 1994. Mary Evelyn Tucker dan John A Grim (editor), Worldviews and Ecology, (Lewisburg: Bucknell University Press), 1993. William Charles Willoughby, Nature-worship and Taboo: Further Studies in “The Soul of the Bantu” (Hartford: Hartford Seminary Press), 1932

[7] Untuk kajian kritis terhadap beberapa kecenderungan filsafat Barat dan implikasinya, lihat umpamanya Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (London: Duckworth), 1981

[8] Dalam Surat al-Baqarah/74 disebutkan bahwa batu bisa runtuh karena takut pada Allah. Ini adalah bukti kuat bahwa sebuah benda yang dalam ilmu fisika dianggap sebagai benda mati, ternyata memiliki daya responsif terhadap peristiwa-peristiwa di sekitarnya, apalagi flora dan fauna.

[9] Elaborasi yang mendalam dan kritis terhadap konsep al-Insān al-Kāmil dalam pemikiran Ibn ‘Arabi ini telah dilakukan dengan baik oleh William Chittick dalam bukunya Dunia Imajinal Ibnu Arabi dan Kreatifitas Imajinasi, terjemah oleh al-Asyihid (Surabaya: Risalah Gusti), 2000

[10] Mengenai konsep ini dan implikasi epistemologis dan ontologisnya dapat dilihat Abdul Kadir Riyadi, Show Me Things As They Are: Study on the Religious Thought of Jalaluddin Rumi. Disertasi PhD diajukan ke University of Cape Town, 2004

[11] Anwar, op cit, 118




1 Comment:

Anonim said...

The best 10 slots on a casino site - Lucky Club
From the top 10 slots, and best live dealer luckyclub.live tables, to live dealer tables, Lucky Club has the biggest and hottest games, with more games,